Reforma Ruang Udara Indonesia
Perjalanan keliling Tanah Air adalah momen yang menyenangkan bagi saya. Untuk menikmati betapa kaya dan beragamnya keindahan negeri ini, juga untuk menyerap energi perubahan yang terhampar di sepanjang perjalanan.
Ditemani aneka jenis kopi, sering kali saya mencoba memahami bagaimana masyarakat memanfaatkan waktunya. Di beberapa tempat, saya dapati warga tengah menikmati tayangan televisi walaupun kualitas gambar dan suaranya sangat kontras dengan kemegahan stasiun televisi yang biasa saya lihat di Jakarta. Di tempat lainnya, saya temui orang-orang tengah bersusah payah mencari spot yang lain ideal untuk mendapatkan sinyal, demi gawai yang mereka genggam. Terkadang, itu termasuk diri saya sendiri.
Di beberapa kasus lain, sejumlah pegiat radio komunitas di berbagai daerah saya dapati tengah berkutat dengan berbagai problem yang menyertainya. Mulai dari perizinan yang panjang dan melelahkan, hingga jalur frekuensi yang sulit mereka dapatkan. Padahal, keberadaannya menjadi menifestasi dari demokratisasi penyiaran di Tanah Air.
Semua kenyataan ini menyadarkan saya betapa degilnya kita sebagai bangsa. Padahal, peta jalan digitalisasi penyiaran Indonesia telah dirintis sejak era kepemimpinan SBY. Namun keangkuhan dan sikap egois sebagian kita telah menghambatnya hingga hampir dua dekade ini.
Rencana ASO yang selalu gagal
Telah banyak pendapat yang menjelaskan betapa ruginya suatu bangsa yang masih saja berkutat dengan sistem analog saat ini. Berbagai keterbatasan sistem analog yang menutup kesempatan perkembangan suatu bangsa telah banyak juga dibahas. Hampir mayoritas negara di dunia, kini sudah berada pada sistem siaran digital. Bahkan ada yang sudah benar-benar meninggalkan sistem analog. Ada yang sedang mengupayakan pergantian, simulcast, sebelum masuk ke ranah digital sepenuhnya. Namun tidak dengan Indonesia. Peta jalan yang telah dibuat sejak 2005-2007 itu, terkatung-katung karena problem regulasi yang tidak kunjung jelas. Wacananya bahkan telah ada sejak 2001 silam, seiring pembahasan UU Penyiaran kala itu.
Padahal perpindahan pemanfaatan frekuensi dari sistem analog ke digital secara prinsipil akan mengubah lansekap pemanfaatan ruang udara Indonesia. Penguasaan frekuensi 328Mhz oleh stasiun televisi nasional saat ini, akan benar-benar berubah jika saja digitalisasi berjalan. Frekuensi 700Mhz yang dikatakan sebagai frekuensi emas di mana siaran televisi, radio, dan internet dapat berkembang di dalamnya, akan memberikan kesempatan 112 Mhz digital deviden yang mayoritasnya (90 Mhz) dapat membuka kesempatan bagi pengelola baru.
Akan banyak kesempatan ekonomis yang bisa dimanfaatkan publik dengan beralihnya sistem analog ke digital. Namun lagi-lagi, perangkat regulasi yang semula sudah disiapkan harus kembali mangkrak karena ada pihak yang terganggu kepentingannya.
Belasan tahun imajinasi tentang demokratisasi penyiaran, nyatanya belum juga dapat diwujudkan. Banyak wilayah yang masih berkutat dengan kualitas siaran yang seadanya. Bahkan di era penetrasi internet yang kian besar dan cepat sekalipun seperti saat ini, nyatanya problem sinyal masih menjadi kendala. Bayangkan jika hari ini kita sudah memanfaatkan frekuensi 700Mhz, publik tentu akan memiliki pilihan layanan siaran yang lebih variatif dengan kualitas yang jauh lebih baik.
Ironisnya, di saat industri televisi terus memproduksi TV digital untuk pemirsanya, siaran yang dapat dinikmati hanya berkualitas analog. Merujuk data Nielsen, 69% masyarakat Indonesia masih menonton televisi lewat sistem terestrial (free-to-air) dengan teknologi analog. Ada pihak yang terus memaksakan kebohongan bahwa kita belum siap untuk digitalisasi siaran. Padahal kebutuhan hardware sudah disiapkan. Masyarakat pun telah terbiasa dengan siaran digital lewat saluran internet di gawainya.
Seorang jurnalis senior mengatakan, Indonesia saat ini bukan hanya tertinggal dalam digitalisasi siaran. Dia bahkan mengistilahkannya dengan “terbelakang” karena tidak kunjung berlangsungnya switch off analog di Indonesia.
Seperti kita ketahui, dua kali rencana analog switch off (ASO) selalu gagal. Padahal, dibutuhkan setidaknya waktu 1-2 tahun untuk masa peralihan saat kita benar-benar switch off nanti. Sementara itu, negeri-negeri tetangga telah benar-benar menjalankan peralihan. Ini artinya, WNI di wilayah perbatasan akan lebih mudah menikmati siaran digital yang berkualitas. Namun sayangnya bukan dari bangsanya sendiri. Ironis.
Reformasi frekuensi
Belum adanya payung hukum terkait siaran digital ini membuat transformasi siaran dari analog ke digital terus terhambat. Sementara itu kita terus dikejar waktu untuk bersaing dengan negara-negara sekitar. Kedaulatan negara akan benar-benar sangat dipertaruhkan karena lambatnya kita memasuki era siaran digital.
Presiden Joko Widodo, dalam pidatonya di sidang tahunan 14 Agustus 2020 kemarin, kembali menekankan pentingnya percepatan transformasi digital Indonesia. Presiden sangat sadar bahwa saat ini dunia tengah berlomba dalam dunia digital. Seluruh pemangku kepentingan pun sama menyadarinya. Publik yang semakin terdisrupsi di era internet saat ini demikian halnya. Tidak ada jalan lain, reformasi frekuensi harus diwujudkan.
Jika di darat ada agrarian reform maka di ruang udara ada air reform. Kalau reforma agraria berangkat dari gugatan atas ketimpangan penguasaan lahan, maka reforma ruang udara berangkat dari gugatan atas ketimpangan penguasaan frekuensi. Dan keduanya berkehendak untuk membangun tata kelola sumber daya demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam konteks demikian, masuknya ASO dalam RUU Cipta Kerja (Pasal 79) merupakan terobosan di saat tersendatnya revisi RUU Penyiaran yang tak kunjung jelas juntrungannya. Demokratisasi siaran yang telah menjadi kehendak zaman harus terus diupayakan perwujudannya. Perluasan kesempatan warga untuk mengembangkan diri di dalam ekosistem digital harus didorong dengan kepastian hukum. Inilah sebenarnya esensi dari masuknya ASO di dalam RUU Cipta Kerja.
Hadirnya payung hukum ini akan menjadi awal bagi penataan ulang ruang frekuensi yang ditujukan bagi terwujudnya demokratisasi penyiaran. Tidak banyak yang akan diatur terkait digitalisasi penyiaran dalam RUU Cipta Kerja. Namun pengaturan ini akan menjadi awal yang baik bagi penataan frekuensi dan upaya reforma ruang udara ke depan.
Peraturan pendahulu yang mewajibkan langkah afirmasi dari penyelenggara siaran digital untuk memberi kemudahan bagi masyarakat, pengaturan tentang model bisnis, pengaturan pendapatan negara, kepemilikan, dan lainnya, akan diatur setelah ruang digital itu tersedia. Yang paling dibutuhkan saat ini adalah sikap fokus untuk memenangkan satu persatu perjuangan demokrasi bersama.
Sebagaimana ruang agraria, sudah waktunya ruang udara menjadi obyek reformasi agar kesempatan berpartisipasi dalam proses distribusi kesejahteraan semakin dekat realisasinya. Reforma ruang udara ini bukan hanya soal siaran televisi digital semata melainkan perihal keadilan akses dan pemanfaatan atas apa-apa yang ada di dalamnya. Inilah saatnya kita mengatur kedaulatan ruang udara kita lewat UU Cipta Kerja.
Untuk rakyatnya, negara tidak boleh kalah oleh kepentingan yang ingin menghambat keniscayaan perubahan dan kemajuan zaman ini.
*Wakil Ketua Panja RUU Cipta Kerja, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem
Tulisan ini pernah dimuat di Media Indonesia Cetak, Jumat 4 September 2020