RUU PKS, setitik harapan untuk keadilan bagi korban kekerasan seksual
Sulit untuk menghadapi risiko serangan balik setelah melakukan pengungkapan kasus kekerasan seksual. Setidaknya, hal tersebut yang dirasakan oleh GH ketika mengungkapkan kasus pelecehan yang ia alami.
Beberapa pihak, baik yang terlibat dengan pelaku maupun tidak, bahkan menunjukkan sikap yang menyetujui tindakan pelaku dan menyemangati hal tersebut.
Sayangnya, peristiwa itu tidak hanya dihadapi oleh GH. Ribuan korban kekerasan seksual menghadapi risiko serangan balik bila mereka melaporkan atau menuntut pelaku kekerasan.
Serangan balik yang diarahkan kepada korban pun beragam, seperti penyangkalan, menyalahkan korban, dan bahkan pelaku dapat balas menuntut korban.
Menurut Komnas Perempuan, hal ini diakibatkan oleh berbagai faktor, dan salah satunya adalah payung hukum yang belum memenuhi kebutuhan korban kekerasan. Baik kebutuhan korban untuk menuntut keadilan, maupun perlindungan.
Sebagai wujud dari komitmen Komnas Perempuan dalam melindungi hak korban kekerasan seksual, instansi tersebut memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sejak tahun 2012. Namun, RUU PKS tak kunjung memperoleh persetujuan oleh DPR untuk disahkan.
Kegagalan tersebut diakibatkan oleh perdebatan yang terjadi di dalam forum legislatif, yang mana seluruh pihak merasa mereka telah memperjuangkan kebenaran.
Terdapat pihak yang menekan agar RUU PKS segera disahkan demi memberi angin segar kepada para korban kekerasan seksual.
Darurat Kekerasan Seksual
Pada tahun 2014, tepat dua tahun sejak RUU PKS mulai diperjuangkan, Komnas Perempuan menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia berada dalam tahap darurat kekerasan seksual. Mirisnya, hingga saat ini, status darurat kekerasan seksual masih berlaku di Indonesia.
Ketua Komnas Perempuan Maria Ulfah mengatakan, jika mengacu pada data Komnas Perempuan sepanjang tahun 2011-2019, tercatat ada 46.698 kasus kekerasan yang terjadi di ranah personal maupun publik.
Jumlah laporan tersebut tidak menunjukkan seluruh kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Ia meyakini bahwa saat ini terjadi fenomena gunung es, di mana para korban kekerasan seksual memilih untuk menyembunyikan kekerasan yang mereka terima dibandingkan melaporkannya kepada Komnas Perempuan.
Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya fenomena gunung es adalah kurangnya kemampuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam mengatur perlindungan untuk korban kekerasan seksual. KUHP terlalu fokus pada pelaku kekerasan seksual dan mengabaikan hak-hak perlindungan dan pemulihan yang seharusnya diperoleh korban.
Komisioner Komnas Perempuan tersebut juga menyatakan, masih terdapat beberapa bentuk kekerasan seksual yang belum diatur di dalam KUHP. Hal ini menyebabkan KUHP dianggap tidak efektif untuk menjadi acuan dalam menindaklanjuti kasus kekerasan seksual.
KUHP hanya mengenali istilah perkosaan, pencabulan, dan persetubuhan. Sedangkan, mengacu pada pengaduan korban kekerasan seksual, terdapat bentuk kekerasan lain seperti pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Berdasarkan pada hal tersebut, Maria Ulfah menekankan pentingnya mengesahkan RUU PKS sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan akses kepada korban kekerasan seksual untuk menuntut keadilan dan melindungi hak-hak konstitusional mereka.
Harapan Baru
Setelah menuai kegagalan pada periode sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) mengusulkan agar RUU PKS menjadi agenda prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Adapun tiga fraksi pengusul ialah Partai Nasdem, PDI Perjuangan, dan PKB.
RUU PKS berhasil masuk ke dalam daftar prolegnas prioritas 2021 setelah memperoleh dukungan dari seluruh partai. Menurut Maria Ulfah, hal tersebut menunjukkan komitmen pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS.
Baleg lantas membentuk Panitia Kerja (Panja) yang bertanggung jawab terhadap RUU PKS dan diketuai oleh anggota fraksi Partai Nasdem DPR RI Willy Aditya.
Ketua Panja RUU PKS Willy Aditya kepada ANTARA menyatakan optimistis RUU PKS tersebut dapat disahkan 2021 ini.
Kurangnya dialog, menurut Willy menjadi salah satu sebab RUU PKS terbengkalai selama delapan tahun. Untuk itu, dialog, diskusi dan memberikan pengertian pentingnya RUU tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukannya.
Willy juga membangun dialog untuk memberikan pengertian bahwa RUU PKS bukan pintu masuk untuk seks bebas maupun LGBT. Sebab, pemahaman yang salah bahwa RUU PKS sebagai pintu masuk seks bebas dan LGBT juga telah menjadi salah satu penyebab alotnya RUU tersebut dibahas.
Hingga saat ini, Panja RUU telah melakukan empat kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti kelompok yang setuju dengan RUU PKS, kelompok kontra, pakar hukum, pakar gender, psikolog, dan pakar agama.
Terdapat tiga isu yang menjadi sorotan dalam RDPU yang diselenggarakan oleh Baleg. Ketiga isu tersebut adalah sexual consent atau persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, yang mana dianggap sebagai ‘pintu masuk seks bebas’, isu kedua adalah kontrol sosial, dan isu ketiga adalah batasan ruang pribadi dan ruang publik.
Penyelenggaraan dialog yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat membantu tim penyusun naskah RUU PKS untuk menciptakan aturan-aturan yang tidak mengundang multitafsir dan dapat menjawab ketiga isu yang bergulir dalam RDPU.
UU PKS akan menjadi harapan baru bagi para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan.
Sumber : antaranews.com