Willy Aditya
Willy Aditya adalah Ketua DPP Partai NasDem. Saat ini Willy Aditya merupakan Anggota DPR RI periode 2019-2024, ditempatkan di Komisi XI. Selain itu, Willy Aditya juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI dan Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI.
Kiprahnya di partai besutan Surya Paloh ini dimulai saat politisi sekaligus pengusaha media itu mendirikan Ormas Nasional Demokrat pada Februari tahun 2010 lalu.
Gagasan Restorasi Indonesia yang diusung oleh ormas tersebut berasal dari usulan Willy saat Nasional Demokrat hendak dideklarasikan. Gagasan tersebut kemudian menjadi visi dari gerakan perubahan yang ingin dilakukan oleh Surya Paloh dkk.
Pengalaman Organisasi
- Ketua Dema UGM – 1999
- Ketua Front Mahasiswa Nasional – 2003
- Sekjen Perhimpunan Rakyat Pekerja – 2005 – 2006
- Pendiri Ormas Nasional Demokrat (2011)
- Ketua DPP Partai NasDem (2013 – Sekarang)
Nasional Demokrat kemudian mendirikan Partai NasDem sebagai manifestasi aksi gerakan perubahannya di ranah politik. Meski terkesan bombastis namun gerakan perubahan itu nyata dilakukan oleh Partai NasDem. Dimulai dari pemecatan anggota meski baru berstatus TSK, dukungan tanpa syarat kepada capres, hingga politik tanpa mahar di pilkada. Semua cara baru tersebut tidak lepas dari pengaruh Willy di partai tersebut. Bisa dibilang, platform NasDem yang menyatakan diri sebagai partai gagasan adalah determinasi Willy dalam partai tersebut.
Sejak menjadi aktivis mahasiswa di UGM pada 1997 yang lampau, sosoknya memang menonjol dibanding yang lain. Selain dikenal berani dan punya leadership yang kuat, pemikirannya juga orisinil. Dia tidak kolot dan tidak terjebak pada doktrin-doktrin kaku meski itu disebut revolusioner. Kearifannya memandang situasi dan kenyataan yang terjadi membuat dia lentur dalam aksi namun kuat dalam prinsip. Tidak heran jika dalam berbagai wadah, kelompok, dan aksi, dia hampir selalu menjadi pimpinan. Salah satu monumen aksi heroiknya adalah saat menolak kedatangan PM Australia John Howard ke Kampus UGM pada tahun 2003. Aksi ini tidak hanya berakhir dengan kerusuhan akan tetapi korban luka-luka dan korban ancaman DO, utamanya terhadap Willy. Namanya bahkan disebut langsung oleh Ichlasul Amal, Rektor UGM kala itu, saat mengomentari demonstrasi yang mengatasnamakan Keluarga Mahasiswa UGM itu.
Sebagai aktivis, Willy bisa dibilang sebagai sosok yang komplit: sebagai ideolog, dia mumpuni; sebagai petugas politik, dia handal dan piawai; sebagai organisatoris, dia cakap dan militan; dan sebagai pemimpin, dia otentik. Inilah yang kemudian membuat dia didapuk sebagai Ketua Front Mahasiswa Nasional (FMN) yang pertama – sebuah organ mahasiswa yang menyatukan berbagai organ gerakan di berbagai wilayah di Nusantara dan menyatakan diri independen dan progresif di zamannya. Sebelumnya, dia didapuk sebagai Ketua Dema UGM pada 1999. Dari sanalah dia mendapat kepercayaan untuk membangun sebuah organ gerakan mahasiswa nasional. Berbagai kunjungan dan pertemuan di berbagai daerah dia inisiasi bertahun lamanya hingga lahirlah FMN pada tahun 2003.
Tidak hanya dalam dunia gerakan mahasiswa, Willy juga aktif terlibat dalam berbagai bentuk perlawanan rakyat. Dia pernah terlibat gerakan penolakan pestisida bersama Romo Mangunwijaya dan 1.500 petani se-Jateng & Yogyakarta. Dia juga terlibat dalam aksi bersama Serikat Petani Pasundan, Konsorsium Pembaruan Agraria, Bina Desa dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria.
Di sektor perburuhan, putra kelahiran Solok 39 yang lalu ini pernah tergabung dalam Perhimpunan Rakyat Pekerja. Lagi-lagi dia dipercaya memimpin PRP dengan menjadi sekjen pertamanya. Selama setahun (2005-2006) dia pernah “magang” bersama buruh-buruh di Tangerang. Di sana dia pernah terlibat dalam Aliansi Buruh Menggugat dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia. Advokasi dan aksi menjadi makanan sehari-hari Willy bersama para buruh dan elemen gerakan akar rumput lainnya.
Selanjutnya, dialektika pemikiran dan aksi sosial-politiknya termanifestasikan dalam pendirian Sekolah Demokrasi Tangerang pada tahun 2007. SD Tangerang adalah wadah pendidikan demokrasi yang ditujukan bagi kalangan praktisi politik, mahasiswa, hingga pegawai negeri agar bisa berperan dalam proses demokrasi di Indonesia, dan mampu mengawasi pemerintah dalam hal kebijakan dan anggaran. Di sana, bersama para koleganya, Willy mencurahkan pembangunan kesadaran politik di kalangan menengah.
Tahun 2009 dia terlibat dalam Merti Nusantara, sebuah kelompok yang mendukung pencalonan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai calon Presiden RI. Namun karena kurangnya dukungan politik, pencalonan tersebut kandas di tengah jalan. Namun momen itulah yang kemudian menjadi patahan sejarah dalam karir politiknya hingga kemudian tergabung dalam Nasional Demokrat dan Partai NasDem seperti saat ini.
Lahir sebagai pemimpin
Aku punya moral obligation terhadap nasib teman-temanku
Willy lahir di Solok, Sumatera Barat, pada 12 April 1978, dari pasangan Syamsudin Lubis dan Asna Hasan. Sedari kecil bakat kepemimpinannya sudah menonjol. Ibunya pernah bercerita bagaimana Willy kecil selalu menjadi dominan di antara teman-temannya yang lain diiringi dengan solidaritasnya juga tinggi. Meski dikenal nakal namun dia pintar dan gemar membaca. Ayahnya bercerita, Willy selalu menjadi pembaca pertama koran langganannya di rumah. Kegemarannya ini mengantarkannya mengenal lebih dalam sang Proklamator Soekarno, panglima besar revolusi, pencetus Pancasila – sosok yang kemudian menjadi salah satu idolanya.
Karakter kepemimpinannya tidak hanya dalam ruang formal-organisasional. Secara informal maupun kultural, dia memang selalu menjadi pemimpin. Willy selalu gelisah saat kawan atau pun anak buahnya kesusahan, membuat dia selalu berusaha mencari jalan keluar bagi masalah yang ada. Empatinya juga tinggi, membuat siapa yang dekat dengannya merasa dipedulikan. Tidak hanya masalah kerja organisasi, masalah pribadi anak buah pun dia perhatikan. Dia juga sosok pengayom. Saat menjabat Ketua FMN, Willy paling sering memasak makanan bagi semua anak buahnya. Tidak berlebihan jika disebut, dia adalah sosok pemimpin yang otentik. Karakteristik sosok pemimpin seolah menjadi cara berpikir dan bertindaknya yang menjadi bawaannya secara alami.
Kedermawanannya juga tidak diragukan lagi. Tanyalah tetangga, kerabat, sahabat, teman, dan orang-orang yang mengenalnya. Tak terhitung harta benda yang sudah dia berikan; baik kepada kerabat, kawan, tetangga, orang-orang yang pernah membantu di rumah tangganya, satpam kantor, orang yang tak mampu, para peminta-minta, bahkan orang yang tidak dikenalnya. Hatinya begitu pemurah hingga rezeki seolah begitu segan jika tak berlimpah ruah mengelilinginya.
Yang lebih tinggi dari itu semua, Willy tidak hanya memberikan harta dan benda akan tetapi “kehidupan” kepada yang lain. Entah sudah berapa rekan dan sejawatnya yang dibukakan jalan olehnya hingga mereka memiliki penghidupan yang layak dan mampu menghidupi anak istri. “Keadilan itu bukan sama jumlah, tapi proporsionalitas berdasar kebutuhan seseorang,” begitu kurang lebih dia pernah berkata.
Dia juga sering berkata, “Aku punya moral obligation terhadap nasib teman-temanku.” Statemen inilah yang membuat dia selalu gelisah jika dia merasa mengabaikan orang-orang di sekelilingnya. Bisa dibilang, dia selalu ingin menolong orang lain. Tidak tenteram hatinya jika ada yang dikenalnya, susah. Dia juga gampang memaafkan kesalahan orang lain meski berkali-kali si orang itu berbuat kesalahan yang sama. Lebih dari itu, dia juga sosok yang pandai meminta maaf kepada teman, kolega, sejawat, meski dia tidak bersalah betul kepada mereka. Baginya, pertemanan tidak boleh pudar hanya karena permasalahan jamak yang kerap terjadi dalam hubungan antar manusia.
Ayah tiga anak ini pun adalah sosok yang pandai bersyukur. Tidak hanya kepada Tuhan, tetapi juga (bahkan) kepada anak buah. Jika hendak merepotkan anak buahnya di luar tanggung jawab pekerjaan, terlebih dahulu dia akan meminta kesediaan mereka. Padahal, tanpa meminta pun, Willy sebenarnya punya hak untuk mendapatkan bantuan itu. Dan setelah semua itu tunai dikerjakan, selalu saja ada “tanda terima kasih” yang dia berikan.
Teguh dalam sikap, luwes dalam bertindak
Bersyukur & jangan lupa dengan sejarah
Dua hal tersebut sudah menjadi karakter dari Willy. Dia selalu punya prinsip hidup namun luwes dalam bertindak. Sifat ini menjadikannya tidak kolot dan kaku namun juga tidak mudah terbawa arus. Entah itu dalam bersosialisasi, berorganisasi, berpolitik, berideologi, atau beragama sekalipun, karakater itu begitu tampak dalam dirinya.
Saat Partai NasDem mengalami goncangan besar untuk pertama kalinya, yakni saat Hari Tanoesoedibjo (HT) keluar dari Partai NasDem, beberapa kolega Willy ikut terseret HT. Orang yang dia ajak masuk ke NasDem bahkan terbawa keluar oleh HT. Namun Willy tidak. Dia istiqomah di bawah pimpinan Surya Paloh (SP). Dia tidak ikut-ikutan dengan beberapa koleganya yang memilih keluar bersama HT. Bos MNC Group itu sebenarnya pendatang baru di NasDem. Kehadirannya di Partai NasDem memang sempat memberikan angin positif. Elektabilitas melonjak tinggi, animo publik pun luar biasa besar. Namun sering berjalannya waktu, ternyata kehadirannya membuat suasana partai menjadi tidak sehat. Dus, terjadilah turbulensi itu.
Willy menyatakan, dia bukan manusia yang tidak tahu bersyukur dan lupa begitu saja dengan sejarahnya.