Dialektika Rantau
Saluang dan bansi meraung dalam ruang dengar siang itu, memecah sunyinya Menteng di langit Jakarta. ”Ondeh Mandeh,” sebentar terhenyak di bangku kerjaku ketika seorang sahabat dari ruang sebelah bertanya: “Sudah nonton film Merantau belum? Kau harus nonton film itu! Action-nya keren, bagus, ga malu-maluin. Ini soal orang Minang”. ”Merantau” dan ”Minang”. Dua kata yang memang tidak bisa dipisahkan, seiya-sekata.
Sudah dua Idul Fitri saya tak pernah berlebaran di kampung halaman. Setelah menikah, baru sekali saja saya ”menampakan” diri di kampung kelahiran. Itupun sekadar bersilahturahmi pertanda saya sudah ber-induak bareh (beristri) pada handai taulan dan sanak saudara. Bila Bapak saya ke Lapau, Balai atau ke Surau, kerap kali tanya datang kepadanya dari para kerabat dan tetangga. ”Mana anak-kemenakan kita Uda? Kabarnya dia sudah jadi urang di Jakarta sana?” Ada perasaan tersendiri saat mendengar cerita itu.
Perasaan yang membawa diri pada relik-relik ranah Minang yang sejak dua belas tahun yang lalu saya tinggalkan.
Merantau dalam Dimensi Sosiologis dan Antropologis
W. Arthur Lewis dalam Economic Development With Unlimited Supply of Labour, merantau sering dipahami sebagai ’unequel development impact’ (dampak dari ketidakmerataan pembangunan) – situasi dimana sentra-sentra ekonomi yang tumbuh hanya terkonsentrasi di kawasan industri seperti di pulau Jawa saja. Ini yang menyebabkan masyarakat dari Minangkabau, Batak, Madura atau Bugis serta yang lainnya ”terpaksa” mengadu peruntungan untuk ke luar dari kampung halamannya.
Merantau tentu tidak bisa diklaim sebagai model tunggal dari satu peradaban tertentu, sebab secara spesifik merantau dalam tradisi masing-masing daerah memiliki segi-segi kekhususan secara sosio-budaya dan sosio historis. Teori Volutantaristic Action memberikan petunjuk bahwa terjadi keragaman bagi argumentasi-argumentasi yang mendorong proses pengambilan keputusan dalam merantau (migrasi secara individu) yang bersumber dari paradigma demografi, geografi, ekonomi, psikologi sosial (De Jong and Gadner).
Dalam tradisi Minangkabau, merantau merupakan suatu kompleksitas hidup yang dipotret sebagai dimensi transformatif secara psikologi sosial, mobilitas ekonomi, hegemoni budaya sekaligus artikulasi politik. Dalam beragam dimensi di atas, transformasi karakter kosmopolitan seseorang akan terbentuk karena terjadinya dialektika antara ranah kampung dengan tanah rantau. Petuah tentang ’dimana bumi dipijak disana langit dijunjung’ merupakan suatu penegasan terhadap proses transformasi yang menjadi keharusan sebagai orang rantau. Sementara proses dialektika yang terjadi di tanah rantau diteguhkan dalam sebuah keniscayaan akan perubahan sebagaimana petuah, ’sekali air gadang, sekali tepian berubah.’ Disinilah seseorang akan mulai memasuki fase ”menemukan” untuk kemudian masuk pada tahapan ”menjadi” saat mereka ada di tanah rantau. Di sini terjadi proses transformasi seorang perantau dalam kondisi kebaruannya.
Merantau sangat berbeda dengan hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah atau proses diasporanya kaum Yahudi ke berbagai penjuru bumi karena terusir dari tanah Yerussalem. ”Merantau” lahir sebagai ekspresi eksistensialis yang dalam narasi-narasi budaya Minangkabau didendangkan dalam sastra lisan dan dikhutbahkan di surau-surau tempat para bujang dibesarkan. Bila hijrah berpretensi politis karena situasi yang tidak kondusif dan represif untuk berkembangnya suatu situasi baru, maka merantau lahir justru dari rahim konstruksi antropologis, dimana pencapaian empiris seseorang dalam masyarakatnya harus mewujud dalam situasi ”luar” yang akan membawa peradaban lain ke ”dalam”.
Korespondensi situasi ”luar” ke ”dalam” terpaparkan dalam prilaku masyarakat dalam mengapresiasi kaba-kaba (informasi) dari situasi ”luar”. Bagaimana pencapaian seseorang yang datang dari ranah rantau ia akan berposisi sebagai trendsetter, terlepas dari kualitas kaba yang didendangkan. Situasi ”dalam” yang kosmopolitan inilah yang menjadikan lalulintas kaba-kaba dari ”luar” selalu eksis.
Dialektika Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan
Idiom ”merantau” lebih bertendensi pada masalah hegemoni budaya oleh elemen-elemen tradisional lainnya. Sementara idiom ”hijrah” lebih dekat dengan proses kekalahan atau kegagalan dalam war of position. Dimensi ini membuktikan bahwa merantau tidak memiliki tendensi war lord atau penaklukan secara politik. Ini adalah unsur pembeda antara merantau dan hijrah. Hijrah memiliki tendensi penguasaan ruang karena ketergusuran dari kampung halaman.
Namun ada perbedaan antara merantau model Minangkabau dengan merantau Cina. Merantau Cina lahir sebagai respon esktrim terhadap gejala sosiologis dan demografis mereka. Tendensi yang lahir kemudian adalah penegasian (pemutusan) ranah kampung halaman terhadap tanah rantau. Jenis rantau semacam ini adalah jenis merantau yang tak kembali pulang. Dalam perjalanannya, ekspresi totalitas semacam ini melahirkan suatu spirit penaklukan namun berbeda dengan ekspresi kolonialisme. Dalam kenyataannya hari ini, ”penaklukan” yang dilakukan oleh para perantau Cina adalah penaklukan ekonomi. Dimanapun mereka berada, mereka selalu menempati posisi penting dalam kehidupan ekonomi suatu negara (baca: tanah rantau).
Sementara merantau ala Minangkabau adalah merantau yang secara sosio-historis memberikan pembuktian sebagai pemecah kemapanan dari situasi yang dipandang konvensional di kampung halamannya. Setelah mereka merantau, mereka mendapatkan ”nilai” baru yang kemudian mereka ekstrak di tempat mereka tinggal. Ini adalah hukum dialektika yang berlaku dalam kehidupan merantau Minang.
Contoh dari dialektika ini terbaca jelas dalam Gerakan Paderi. Gerakan tersebut diinisiasi oleh para perantau yang pulang dari Saudi Arabia pada tahun 1802 seperti Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Abdur Rahman dari Piabang dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik. Mereka membawa gagasan pembaharuan syariat Islam. Tradisi-tradisi seperti menyabung ayam, meminta syafaat kepada wali dan syeikh dan sebagainya, dimurnikan karena hal tersebut tidak sesuai dengan syariat dan berbau kemusyrikan. Mereka juga mengajarkan adab Islam tentang hidup sederhana dengan meninggalkan beragam kemewahan. Gerakan Paderi menjadi élan vital perubahan khasanah keislaman di ranah Minangkabau. Walaupun tak sedikit pertentangan bahkan perperangan yang lahir dari dialektika tersebut.
Dialektika tanah rantau dan kampung halaman ini kemudian dilanjutkan dalam patahan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ini diperlihatkan oleh mahasiswa-mahasiswa asal Minang yang merantau ke Belanda dengan membangun Perhimpoenan Indonesia (PI) sebagai bentuk pergulatan menuju Indonesia merdeka. Orang-orang seperti Tan Malaka, Muhammad Hatta, dan Sutan Syahrir, adalah para perantau yang membawa pembaharuan tentang bentuk Indonesia merdeka sebagai Republik. Republik dengan sistem ekonomi yang tidak eksploitatif namun tidak menghilangkan hak individu; dan yang pasti, sistem politik Indonesia dengan demokrasi yang dinamis dan partisipatif.
Dialektika itu terputus dalam ruang dan waktu kekinian. Kini dialektika antara tanah rantau dan kampung halaman hanya hadir dengan ekspresi besarnya jumlah uang yang dikirim ke kampung halaman. Atau jika tidak, hanya sekadar pesan singkat di telepon genggam, atau bahkan gosip-gosip murahan di televisi. Teknologi sepertinya telah menghadirkan makna yang berbeda diantara tanah rantau dan kampung halaman. Merantau, yang semula penuh tendensi voluntaristik dan eksistensialis seperti Sabda Zarathustra. Akhirnya menjadi model migrasi pedagang pasar malam, dimana mainstream ekonomisme dan represifitas hidup adalah suatu keniscayaan alamiah.
Disinilah, merantau kehilangan makna substansialnya. Merantau sebagai ekspresi eksistensialis sebagai kehendak perubahan sepertinya telah pupus ditelah oleh dialektikanya sendiri. Sebagai perantau saya tak mau sesumbar untuk membangkitkan batang yang terendam lama. Tetapi setiap bulan beberapa buku murah dari pameran di buku dan penjaja buku di Kramat Sentiong, saya kirim ke surau di kampung halaman untuk dibaca bapak dan beberapa handai taulan yang datang ke sana.