Posted on / by / in Opini

Buruh dan Partai Politik

Hari Buruh telah berlalu. Tetapi spirit dari berbagai peringatan dan momentum refleksi hari buruh serta suara tuntutan hak yang disampaikan buruh setiap tahunnya, hampir selalu sama. Kritik terhadap pengusaha dan pemerintah, mesti menjadi isu yang wajib disuarakan!

Tak hanya di Indonesia, di belahan bumi lainnya ribuan buruh juga melakukan hal yang sama. Namun, jika buruh menyuarakan ketikdakpuasan terhadap regulasi dan kebijakan yang diketok palu oleh pemerintah, yang dianggap belum memikirkan kesejahteraan buruh sepenuhnya, maka tentu ada hal lain di balik ini.

Berbicara kebijakan tentu kita berbicara proses dan mekanisme pengambilan kebijakan, tempat pengambilan kebijakan, beserta aktor dan aksesnya. Dan sudah barang tentu kita harus berbicara tentang ranah politik sebagai saluran formal untuk semua itu. Sejauh mana organisasi buruh dapat mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah, ketika organisasi buruh di Indonesia masih bergerak di luar sistem politik dan pemerintahan, yang sejauh ini baru sebatas pressure group?

Jika kita tengok politik AS dan perpolitikan buruh, atau negara-negara Eropa Barat yang memiliki partai buruh sebagai partai peserta pemilu, maka kita dapat melihat akses buruh pada ruang pengambilan kebijakan sudah memasuki ruang politik formal. Afiliasi dan asosiasi organisasi buruh kepada salah satu partai, seperti The American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations (AFL–CIO) kepada Partai Demokrat AS, berikut sumbangan organisasi kampanye partai beserta komite untuk pendidikan politik bagi anggota organisasi adalah contohnya.

Mary Goddard Zon (1962) yakin bahwa setiap warga negara, termasuk buruh tentunya, mendapatkan manfaat dari pilihan politik aktif yang bertanggung jawab. Hak politik sudah dilaksanakan, hak untuk bersuara di setiap demonstrasi sudah pula didapatkan. Maka selayaknya sekarang kita mempertanyakan manfaat dari setiap suara yang diberikan oleh buruh di setiap ajang pemilu. Apakah suara-suara dari buruh telah disuarakan oleh wakil rakyat yang dipilihnya? Jika ya, mengapa masih saja setiap demonstrasi, melulu kebijakan yang disepakati itu yang dipersoalkan oleh buruh?

Pendidikan politik bagi buruh adalah sebuah agenda yang mampu menjawab lingkaran setan kebuntuan kebijakan pro buruh di Indonesia. Toh seharusnya pendidikan politik memang sebuah hak yang harus diterima oleh setiap warga negara dan wajib diberikan oleh partai politik. Undang-undang menjamin itu. Tapi tak berhenti sampai di situ, keterwakilan dari kaum buruh sendiri yang harus diperjuangan. Jika pergerakan buruh masih bermuara pada organisasi dan serikat buruh, yang dalam konstelasi politik Indonesia masih berada di luar sistem politik, maka tuntutan kebijakan di atas masih akan diulang kembali di tahun-tahun muka.

Jika tuntutan buruh, secara organisasi dan perserikatan masih terpaku pada kesadaran sosial ekonomi semata, maka yang kita lakukan hari ini adalah apa yang telah dilakukan satu setengah abad lalu oleh buruh di Chicago. Tuntutan perlakuan yang manusiawi, pembatasan jam kerja, kurun tahun-tahun yang panjang, seluruh buruh di dunia juga menyuarakan kesejahteraan ekonominya. Kesadaran sosial ekonomi tentang kesejahteraan buruh memang masih aktual hingga kini, namun jika kita mau berkaca dari kemajuan pergerakan buruh di beberapa negara, maka kesadaran sosial politik adalah tingkat kesadaran yang juga harus dicapai. Karena tuntutan buruh, tidak jauh berbeda dari tuntutan rakyat pada umumnya, dan berbicara mengenai hak-hak rakyat, maka kita berbicara mengenai konstitusi secara utuh, bukan parsial. Dan ketika buruh telah berbicara mengenai kesadaran politik, maka buruh telah menempatkan dirinya sebagai warga negara, bukan lagi terkotak pada apa profesinya dan bagaimana ia mencari penghidupan.

Oleh karena itu, buruh haruslah melek politik, berpolitik, dan masuk partai politik. Indonesia pernah mengenal beberapa partai buruh di beberapa kali pemilu, tapi toh geliat politik buruh di Indonesia masih belum mampu berbuat banyak memperjuangkan kepentingan buruh di parlemen dan pemerintahan. Dalam beberapa kali pemilu Indonesia, partai buruh tak mampu bertaji, bahkan untuk mendulang suara sebagai tiket ke parlemen.

Di depan mata, kita memandang tahun 2014 sebagai pertarungan politik terdekat dan tak ada nama partai buruh yang lolos sebagai parpol peserta pemilu. Namun, kesempatan untuk afiliasi masih terbuka lebar. Afiliasi organisasi buruh dengan partai politik atau kesadaran personal buruh untuk masuk ke ranah politik adalah pilihan yang terbuka, jalan lapang yang disediakan konstitusi. Kedepannya, perwakilan buruh dapat menjadi pembuat dan pengambil kebijakan, bukan lagi hanya sebagai penerima kebijakan.

Parpol Sadar Buruh

Posisi tawar organisasi dan serikat buruh sebagai pressure group seharusnya menjadi sorotan bagi parpol. Jeritan buruh setiap kali mogok kerja, penutupan jalan, aksi turun ke jalan lainnya, pada akhirnya justru memunculkan antipasti dari masyarakat yang merasa terganggu haknya sebagai sesama warga negara. Hal ini tentu saja kontraproduktif, karena selain membuat kelompok buruh menjadi entitas eksklusif juga mengurangi potensi dukungan publik.

Ini tak sepatutnya terjadi apabila buruh memiliki telinga yang mampu mendengar suara dari megaphone mereka. Jika partai politik merangkul para pengusaha, pemuda-pemudi, pekerja profesi, hingga mahasiswa, lalu mengapa tidak dengan buruh? Sebagai rumah penampung aspirasi rakyat, parpol seharusnya tidak hanya datang sekali lima tahun saja, namun juga mampu membangun basis di tengah-tengah buruh dan membangun pola kaderisasi bagi buruh. Dengan demikian buruh akan mampu memiliki kapasitas politik sebagai anggota legislatif atau eksekutif.

Buruh menunggu affirmative action dari partai politik, karena tanpanya partai politik akan semakin jauh dari tugas yang diamanatkan undang-undang kepadanya. Ruang-ruang politik Indonesia yang sesak dengan tuntutan di luar sistem menjadi evaluasi bagi gagalnya partai politik membahasakan gagasan rakyat di ruang parlemen dan program pemerintah. Selain itu fakta menunjukkan bahwa kandidat independen belum sanggup memenangi kontestasi kekuasaan sebagai jalur alternative (nonpartai). Adalah partai politik, yang masih menjadi satu-satunya jalur kekuasaan untuk menggolkan kebijakan.

Hingga saat ini hubungan antara partai politik dengan organisasi serta serikat buruh baru sebatas tukar-menukar kepentingan, belum menyentuh ranah kesepahaman gagasan apalagi ideologi. Padahal sejatinya organisasi adalah tempat berkumpulnya gagasan, sementara komunikasi dalam atau antar organisasi adalah komunikasi gagasan dan konsep. Jika perpolitikan kita berjalan hanya karena pertukaran kepentingan, maka benarlah istilah demokrasi nihil gagasan atau negara tanpa konsep itu. Partisipasi politik bukan hanya soal angka yang didapat dari hitungan per kepala, namun juga soal ide yang dibawa di dalamnya.

Maka, kesadaran dan partisipasi politik haruslah datang dari keduanya: buruh dan partai politik. Buruh harus disadarkan akan hak-hak politiknya, sedangkan partai politik harus sadar bahwa memberikan ruang partisipasi bagi buruh di dalam tubuh kepartaian adalah salah satu tugas mereka. Dukungan politik dari buruh adalah cara partai politik menyelesaikan tersendatnya komunikasi antara buruh dan pengusaha. Dengan komunikasi di jalur politik formal, maka ketidakpuasan buruh akan tersampaikan dalam ruang pengambilan kebijakan, bukan lagi di ruas-ruas jalan.

3 Mei 2013

Tinggalkan Balasan