Profil : Kumuliakan Hidupku dengan Ilmu dan Perjuangan
Hidup adalah perjuangan mewujudkan kata
dalam tindakan. Perilaku adalah ekspresi
dari kata yang terucap maupun tersirat,
entah itu sebangun atau saling berlawanan!
Memiliki tatapan tajam, ekspresif ketika berbicara, tegas dalam mengambil keputusan, piawai dalam berdebat, cakap dalam membangun argumentasi, dan hangat dalam bertegur sapa, membuat banyak orang akan cepat mengingat sosoknya. Siapa sangka, dibalik semua ciri khasnya itu, Willy merupakan sosok yang puitis dan sangat mahir merangkai kata.
Willy Aditya dilahirkan di Kampung Jawa, Kota Solok, pada 12 April 1978. Menurutnya, dinamakan Kampung Jawa karena di kampung tersebut banyak orang-orang Jawa yang bermigrasi dari Sawah Lunto, daerah pertambangan yang berjarak 45 km dari Kota Solok. Tak seperti kebanyakan penduduk lainnya, keluarga Willy tidak memiliki rumah Gadang yang menjadi ciri khas orang Minang.
Menurutnya, hal tersebut karena keluarganya bukan murni Minang. Ada campuran darah Jawa dan Batak yang mengalir dalam tubuhnya. “Kalau saya itu darahnya sudah campuran. Ayah saya Mandailing, sedang ibu ada darah Jawanya. Makanya di sana (Solok) saya tidak memiliki rumah Gadang. Jadi masalah etnisitas sudah kabur dan sudah berbaur menjadi Indonesia Raya,” terang putra pertama dari pasangan Syamsuddin Lubis dan Asna Hasan ini.
Sama seperti anak-anak lain seusianya, sepak bola adalah olahraga wajib bagi seorang Willy Aditya. Meskipun lihai memainkan olahraga tersebut, tak terbersit sekalipun di benaknya untuk bercita-cita menjadi pemain bola.
“Keluarga saya penyuka olahraga. Saya juga seorang yang gila bola; bukan lagi hanya nonton bola. Tapi citacita waktu kecil saya, jadi pengamat sepak bola. Kenapa? Karena waktu itu saya nonton ada yang namanya Eddy Sofyan. Kok, enak sekali menjadi komentator. Bahkan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dulu, pernah jadi komentator waktu Piala Eropa
tahun 1988 di TVRI,” tuturnya.
Willy, yang kerap memperkuat kontingen sekolahnya dalam ajang Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) ini, mengakui bahwa dirinya sangat “maniak” pada tayangan olahraga. Banyak pengalaman lucu yang tak pernah terlupakan. Salah satunya, saat masa ujian sekolah tiba. Karena memaksa diri untuk nonton final Piala Champion malam harinya, dia tertidur saat ujian.
“Juga kalau sudah Mike Tyson bertinju, itu saya pasti cabut dari sekolah,” kenangnya dengan gelak tawa.
“Meskipun sering dicap sebagai ‘tukang kelahi’, prestasi akademik Willy sangat membanggakan bagi sekolahnya. Di SD dan SMP, nilai ujiannya selalu menjadi yang tertinggi di antara teman-temannya. “Saya tukang berantem. Kerjaan saya lebih banyak berantem, bisa dibilang. Meski begitu, saya tetap bisa berprestasi. Waktu SMP, saya pernah mewakili Sekolah untuk mengikuti lomba Matematika. SMA juga sama. Bahkan waktu SMA, saya selalu mewakili untuk ikut pada olimpiade Matematika, Fisika, dan Kimia,” ujar pemilik nilai 9,98 pada ujian nasional tingkat SMP ini.
MENEMUKAN EKSISTENSI DI KAYUTANAM
Selepas SMP, Willy melanjutkan pendidikan di IndonesischNederlandsche School (INS) Kayutanam. Diakuinya, INS Kayutanam awalnya bukanlah sekolah yang diidamkannya. Dia sebenarnya sangat ingin masuk ke SMA Taruna Nusantara.
Namun karena suatu musibah, impian itu tidak tercapai. Saat akan tes di sekolah tersebut, Willy ditabrak orang yang sedang mabuk. Kenyataan ini tentu menjadi pukulan berat bagi kedua
orang tuanya.
“Awalnya, saya menganggap itu sekolah biasa-biasa saja. Saya adalah salah satu siswa berprestasi, orang-orang berekspektasi tinggi terhadap saya dan mendoakan agar saya lulus di SMA Taruna Nusantara,” ungkapnya.
Awal masa sekolah dilalui Willy dengan suasana yang membosankan. Satu bulan pertama di INS, dia belum mendapat pelajaran sekolah. Selama waktu tersebut dilalui dengan kegiatan orientasi sekolah. Berat badannya pun sempat turun 10 kg. Ia merasa tertekan karena harus bangun pukul 4.30 pagi dan diwajibkan tidur sebelum pukul 10.00 malam.
Setahun pertama, di sekolah yang didirikan 31 Oktober 1926 ini, para siswa kelas satu diwajibkan untuk belajar anyaman, keramik, ukir, dan musik.
“Ternyata, itu adalah pelajaran empirik. Jadi ketika belajar anyaman, siswa itu harus benarbenar melakukannya dengan sabar. Tak jarang tangan pun sampai luka. Dimulai dari bagaimana merendam bambu, memotong bambu, yang semuanya harus dilakukan dengan detail,” tuturnya.
INS Kayutanam yang saat itu diasuh oleh novelis AA. Navis, merupakan sekolah karakter dan menjadi salah satu sekolah percontohan di Sumatera Barat. Dan siapa sangka, di situlah akhirnya Willy menemukan eksistensinya, terutama dalam hal kegilaannya pada membaca buku.
“Saya sebelumnya memang suka membaca. Di sana saya lebih gila lagi dalam membaca. Satu buku dilahap selama satu hari. Di sana, buku yang pertama saya baca adalah buku Pengantar Eksistensialisme karangan Fuad Hasan. Biografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adam. Kemudian, mulai membaca yang lain seperti Pramoedya Ananta Toer, lalu Iwan Simatupang, dan yang lainnya,” papar Willy.
Di INS jualah Willy mulai memahami kedisiplinan dan tahu pentingnya menghargai perbedaan. Meskipun sering mendapatkan juara kelas, namun di sekolah itu ia mulai menyadari bahwa ada beberapa hal yang tida bisa ia lakukan. salah satunya adalah ia seorang yang buta nada.
Dari sekolah yang didirikan oleh Engku Muhammad Sjafei itu, Willy kemudian berubah menjadi sosok yang mampu menjadi pembicara, bahkan di level kampus. Ia juga pernah diundang ke perkemahan para sastrawan se-Sumatera Barat. Bahkan di tingkat nasional, Willy pernah diundang untuk membacakan puisi.
BERJUANG DI YOGYAKARTA
“AA Navis memberikan pembelajaran yang berharga kepada saya. Waktu beliau sekolah di Kayutanam, tempat tinggalnya di Padang Panjang. Sementara oleh orang tuanya, dia hanya dibekali Rp50 sehari. Dari Rp50 itu, ia mengatakan, kalau digunakan untuk transportasi, berarti uang itu akan habis, karena Rp25 untuk transportasi dan Rp25 untuk makan. Nah, oleh AA Navis, ia kemudian naik kereta (sepeda) dari Kayutanam-Padang Panjang. Jadi sisa Rp25 itu dia gunakan untuk membeli buku. Hal ini pulalah yang saya terapkan ketika kuliah di Yogyakarta,” cerita Willy tentang masa-masa awal kehidupannya saat kuliah di UGM.
Sebulan pertama saat kuliah di jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Willy dikirim Rp100 ribu per bulan oleh orang tuanya. Sama seperti mentornya di INS Kayutanam, ia melakukan pengencangan ikat pinggang demi bisa membeli buku. Rp50 ribu digunakannya untuk membeli buku, dan selebihnya untuk bertahan hidup.
“Bagaimana caranya saya bisa bertahan hidup dengan Rp50 ribu? Saya jadi marbot di masjid. Saya azan, dan banyak yang saya lakukan di masjid. Jadi, ibu-ibu yang rumahnya berdekatan dengan masjid menjadi senang. Dan saya pun sering diberi makan oleh orang-orang di sekitar masjid. Bahkan saat bulan puasa, saya full tinggal di masjid,” kenang Willy.
Di bulan kedua di Kota Gudeg itu, Willy kemudian memberanikan diri membeli sebuah buku yang baginya itu sangat luar biasa. Buku itu berjudul Di Bawah Bendera Revolusi; sebuah buku yang ditulis oleh salah pendiri bangsa, proklamator kemerdekaan, Bung Karno.
Buku tersebut awalnya ditawarkan kepada Willy dengan harga Rp150 ribu. Setelah tawar menawar, akhirnya buku tersebut dibelinya dengan harga Rp90 ribu. Padahal uang saku bulanannya hanya ada Rp100 ribu saja. Sadar uang sakunya tinggal Rp10 ribu lagi, Willy membayar konsekuensinya dengan berjalan kaki saat pergi kuliah, setiap harinya. Bagaimana dengan sisa uang Rp10 ribu dia bertahan hidup selama satu bulan? Tidak kurang akal, Willy pun rutin menghadiri berbagai seminar yang ada di UGM. Dari seminar tersebut, Willy menulis dan mengirimkannya ke berbagai media cetak.
“Selain dapat makan siang gratis, kalau tulisan saya dimuat, saya pun jadi punya uang saku tambahan. Dari situlah saya bertahan hidup dengan uang yang tinggal 10 ribu lagi,” kenangnya.
Di Yogyakarta, Willy juga rutin bersilaturahmi dan mendatangi banyak tokoh yang selama ini hanya dikenalnya melalui tulisan dan pemberitaan media saja. Ada nama Damardjati Supadjar, Romo Mangun Wijaya, Revrisond Baswir, Umar Kayam, Rendra dan banyak tokoh lainnya yang bisa dia temui langsung di sana. Hal ini dilakukannya untuk menambah wawasan dengan mengetahui jalan dan cara berpikir mereka. Inilah momen di mana dirinya kemudian tertarik dengan dunia gerakan mahasiswa di masamasa berikutnya selama di UGM.
IPK NOL KOMA
Pendidikan yang ditempuh bapak dari bapak dua putra dan satu putri ini, tidaklah selalu mulus. Empat semester di Jurusan Manajemen Hutan dilalui Willy dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) “nol koma”. Dunia aktivis dan aksi-aksi demonstrasi yang diadakannya, menjadi penyebabnya. Hal ini jualah yang membuat Willy dipecat dari Fakultas Kehutanan, langsung oleh Rektor UGM kala itu. Padahal, yang memecatnya cukup selevel dekan fakultas saja.
Ada cerita menarik yang melatarbelakangi mengapa Dekan Fakultas Kehutanan tidak berani memecatnya. Pihak fakultas merasa berutang jasa kepada Willy yang telah membangkitkan gairah Fakultas Kehutanan yang di antaranya dengan kembali menghidupkan pers kampus yang telah lama mati di fakultas tersebut.
“Lumut namanya. Ketika pertama masuk, saya menggerakkan angkatan saya untuk iuran Rp100 per kepala, kemudian Lumut kami cetak stensil. Hal tersebut sudah membuat senang PD III (Pembantu Dekan III). Saya juga bersama kakak-kakak tingkat saya untuk membentuk kelompok studi bernama Selendang Biru. Jadi dengan begitu, PD III senang. Itu juga membuat para dosen senang,” tutur Willy.
Setelah dipecat dari Fakultas Kehutanan, Willy kembali berkuliah dengan mengambil jurusan Filsafat. Di sana, Willy seperti menemukan eksistensinya kembali. Saking semangatnya, IPK Willy di jurusan ini mencapai 3,8. Meskipun begitu, ia masih sering memimpin aksi demonstrasi. Wajahnya pun wara-wiri menjadi headline media massa kala itu.
MENIKAHI TEMAN SMP
“Yang mendorong saya tamat kuliah adalah istri saya. Kalau dia tidak kuliah di Yogyakarta, mungkin saya tidak akan tamat kuliah,” tegas Willy.
Peran Yemmi Livenda, sang istri, sangat berarti dalam mendorongnya untuk menyelesaikan kuliah. Teman sekelas saat SMP di Kota Solok ini jualah yang dinikahi Willy pada tahun 2006 di Palembang, Sumatera Selatan, dan sekarang menjadi ibu dari dari ketiga anaknya.
“Istri saya adalah teman sekelas saya waktu di SMP di Solok. Bapaknya adalah seorang polisi yang pindah pindah. Dulu SMP teman-temanan, surat-suratan, cinta-cinta monyet. Waktu SMA saya di INS Kayutanam, dia di Kota Padang. Setelah itu pindah ke Palembang dan sempat lost contact,” kenang Willy.
Willy dan Yemmi kembali bertemu di Yogyakarta. Beberapa kali, Yemmi pun diajak untuk ikut demonstrasi olehnya. Bahkan Yemmi pernah dipukul oleh salah satu organisasi massa dalam satu momen aksi demonstrasi. Dia juga didorong oleh Willy untuk ikut aktif di organisasi Anak Rakyat (ARA), yang kala itu mengadvokasi masyarakat Kali Winangu.
“Mertua saya pernah bilang, kalau aku yang menghadapi kamu demo, saya tembak kamu. Untungnya dia tidak pernah bertugas di Yogyakarta,” ucap Willy.
Di balik kegarangannya yang identik dengan sosok demonstran, Willy merupakan sosok ayah yang sangat dekat dengan ketiga buah hatinya: Alif Camilo Adiwijaya, Dara Wita Anastasia, dan Nanta Delano Cokroaminoto. Willy selalu memberi kado unik di setiap momen peringatan hari kelahiran putraputrinya. Salah satunya berupa tulisan yang kini dipajang di dinding rumahnya yang berisikan makna dan “asbabun nuzul” nama putra putrinya.
Kepada ketiganya, Willy tidak pernah mengarahkan untuk mengikuti jejaknya menjadi politisi. Ia berharap kelak anak-anaknya dapat menjadi apa yang mereka cita-citakan.
“Saya tidak akan mengarahkan anak ke dunia politik. Anakmu hanya akan jadi anakmu ketika mereka masih kecil. Ketika sudah besar, mereka akan jadi “anak zaman”. Terserah mereka saja. Saya menyalurkan mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Sama seperti orang tua saya dulu kepada saya,” tandasnya.
GERAKAN PERUBAHAN RESTORASI INDONESIA
Tak banyak yang tahu jika slogan “Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia” yang identik dengan Partai NasDem adalah sumbangsih pikiran Willy. Ia menggabungkan konsep Restorasi Nasional yang dicetuskan oleh Surya Paloh dengan
Restorasi Indonesia yang digaungkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X ketika berkehendak menjadi calon presiden RI.
“Jadinya Gerakan Perubahan Restorasi Indonesia. Saya yang mempertegas istilah itu,” ungkap sosok yang sangat mengagumi sosok Soekarno ini.
Banyak silang pendapat dan tidak sedikit yang mempertanyakan tentang konsep “restorasi”.
“Saya jawab, memang kau dulu kenal reformasi? Amien Rais teriak ‘reformasi’, orang teriaknya ‘repotnasi’. Tapi setelah itu, ketika dia (Reformasi) mampu menjadi sebuah spirit dan menjadi gelombang besar, diterimalah konsep reformasi dengan amanah. Restorasi juga akan begitu, ia akan menjadi sebuah spirit,” terangnya, saat seorang rekannya mempertanyakan konsep tersebut.
Kedekatannya dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, diabadikan Willy ke dalam tulisan. Tiga buah buku dengan judul Mari Bung Rebut Kembali, Indonesia Di Jalan Restorasi, dan Moralitas Republikan menjadi bukti bahwa eksistensi Willy dalam menulis tidak pernah berhenti di tengah kesibukannya.
Lahir dan besar di Sumatera Barat, melanjutkan kuliah di Yogyakarta, kemudian lanjut di Kota Kembang Bandung, kemudian aktif mengadvokasi buruh di Jabodetabek; tak pernah terbersit sedikit pun di benaknya untuk menjadi anggota DPR RI. Selama ini, ia hanya bekerja untuk partai yang menaunginya untuk terus melanjutkan semangat pergerakannya.
“Bisa disebut karena saya banyak ‘mengurus orang’. Alhamduillah, Gusti ora sare. Ada saja orang yang mengurus kita sebagai balasannya,” pungkas Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini.
Sebagaimana diketahui, Willy Aditya, melalui Partai NasDem, baru saja menginjakkan kakinya di Senayan pada Oktober 2019 lalu. Lewat daerah pemilihan (Dapil) Jatim XI, Willy mampu masuk di arena perjuangan baru dalam kehidupan politiknya. Salah satu Eksponen ’98 ini sebelumnya telah malang melintang dalam dunia aktivis dan politik. Di mulai dari “Kampus Biru” UGM, Yogyakarta, sejak tahun 1997 lalu, Willy terus mendedikasikan hidupnya dalam dunia pergerakan hingga saat ini.
Sumber : Majalah Parlementaria Edisi 186.Tahun 2020