Hukuman Dalam RUU TPKS Bukan untuk Balas Dendam
Jakarta: Sanksi dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tidak bertujuan sebagai bentuk balas dendam. Bbakal beleid tersebut tidak mengakomodasi hukuman mati.
“Harus kita dudukan persoalan hukuman bagi pelaku tindak pidana bukan sebagai hukuman balas dendam,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya saat dihubungi, Sabtu, 15 Januari 2022.
Ketua Panja Penyusunan Draf RUU TPKS itu menyampaikan bakal beleid tersebut hanya menghukum perilaku pelaku kekerasan seksual. Maka, ketentuan yang didesain berupaya menghilangkan perilaku pelaku kekerasan seksual selain sanksi pidana.
“Bukan mencabut hak hidupnya,” tegas dia.
Selain itu, pembahasan RUU TPKS memandang kekerasan seksual yang terjadi karena pengalaman buruk pelaku. Menurut dia, tak jarang pelanggaran tersebut dilakukan karena pelaku sebagai korban di masa lalunya.
“Untuk itu maka yang terpenting adalah bagaimana merehabilitasi pelaku agar menghargai kemanusiaan dan tidak melakukan lagi perbuatan yang sama dan meneruskan kekelaman kekerasan seksual di masa depannya,” kata dia.
Dia menyampaikan seluruh pihak diminta mengambil pengalaman dari praktik hukuman mati yang lalu. Hukuman maksimal tersebut dinilai tidak serta merta sama sekali menyelesaikan persoalan.
Di samping itu, hukuman mati dinilai hanya memberi efek jera sementara. Sedangkan, akar persoalannya justru tidak selesai.
“Karena itulah merehabilitasi pelaku pidana agar memperbaiki hidupnya jauh lebih penting bagi negara ketimbang menghilangkan hak hidup warganya,” ujar dia.
Selain itu, dia menjelaskan bentuk pengaturan menghilangkan perilaku kekerasan seksual dalam RUU TPKS termaktub dalam Pasal 12. Yakni, merehabilitasi pelaku.
Bentuk rehabilitasi pelaku kekerasan seksual, yaitu medis dan sosial. Sedangkan penerapan dan pengawasan dilakukan lembaga yang membidangi hukum, sosial, dan kesehatan.
Sumber: medcom.id