Anggota DPR Surati Jokowi Karena Nadiem Tak Kunjung Serahkan DIM RUU Pendidikan Kedokteran
JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran (RUU Dikdok) Willy Aditya menyurati Presiden Joko Widodo karena Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim tidak kunjung mengirimkan daftar inventarisasi masalah RUU itu ke DPR.
Willy mengatakan, pemerintah telah menyerahkan surat presiden (surpres) mengenai RUU Dikdok sejak 2 Desember 2021. Namun, RUU ini tak kunjung dibahas karena Nadiem belum menyerahkan DIM ke DPR.
“Bagi kami, hal ini merupakan pengabaian atas amanat/perintah UU sekaligus merupakan bentuk pelecehan kelembagaan, baik terhadap lembaga DPR maupun Lembaga Kepresidenan,” kata Willy dalam siaran pers, Selasa (27/9/2022).
Politikus Partai NasDem itu menjelaskan, dalam surpres yang dikirim ke DPR, Presiden Joko Widodo menugaskan Nadiem dan sejumlah menteri lainnnya untuk mewakili pemerintah membahas RUU Dikdok.
Willy menuturkan, Badan Legislasi DPR pun sudah mengadakan rapat kerja dengan Nadiem dan menteri lain pada 14 Februari 2022, di mana Nadiem diminta untuk segera menyerahkan DIM RUU Dikdok.
Sebab, berdasarkan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DIM harus diserahkan paling lama 60 hari sejak surpres diterima pimpinan DPR.
“Namun demikian, setelah lebih dari 60 hari sejak Surpres diterima DPR, dan saat rapat kerja tanggal 14 Februari 2022, DIM tersebut belum juga diterima, bahkan ketika ‘usia’ surpres sudah lebih dari sembilan bulan,” ujar Willy.
Padahal, menurut Wakil ketua Badan Legislasi tersebut, RUU Dikdok sesuai dengan semangat Nawacita Jokowi yakni membangun paradigma kesehatan yang terakses, terjangkau, dan memanusiakan manusia.
Ia menjelaskan, terakses berarti pendidikan kedokteran mudah didapatkan meski di daerah-daerah terpinggir di wilayah Indonesia.
“Terjangkau artinya kesehatan menjadi sesuatu yang bisa diraih oleh siapapun tanpa memandang dia berduit atau tidak,” ujar Willy.
Sedangkan, memanusiakan manusia berarti sistem kesehatan harus memperlakukan manusia sebagai semestinya, bukan sebagai komoditas.
Peliput: Kompas.com