Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Willy Aditya Soroti Kasus Intoleransi Beragama, Negara Harus Lindungi Hak Beribadah

Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menyoroti maraknya kasus intoleransi beragama yang terjadi di sejumlah daerah, termasuk perusakan tempat retret keagamaan di Sukabumi dan penolakan pembangunan gereja di Depok. Ia menegaskan, hak beribadah merupakan hak konstitusional yang wajib dilindungi oleh negara.

“Beribadah adalah hak konstitusional setiap warga negara dan wajib dilindungi oleh negara. Tidak ada alasan apapun membenarkan pembubaran aktivitas ibadah. Apalagi jika pembubaran diiringi dengan intimidasi dan persekusi,” kata Willy Aditya kepada wartawan, Selasa (8/7).

Kasus intoleransi terbaru terjadi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah rumah yang dijadikan tempat retret pelajar Kristen dirusak sekelompok orang. Dalam video yang beredar luas di media sosial, terlihat massa menurunkan kayu salib sambil berteriak-teriak.

Polisi telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam kasus tersebut dan menjerat mereka dengan Pasal 170 dan Pasal 406 KUHP tentang perusakan.

Insiden intoleransi juga terjadi di Depok, Jawa Barat. Warga Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilodong, memprotes pembangunan gereja di wilayah mereka dengan alasan tidak ada sosialisasi. Video aksi penolakan tersebut pun viral dan menuai berbagai reaksi publik.

Willy mengajak seluruh masyarakat untuk memperkuat semangat persaudaraan antarumat beragama. Ia menekankan pentingnya dialog sebagai fondasi bangsa.

“Kita ini bangsa yang dibangun dengan dialog, karena itu jangan mudah marah. Semua punya hak yang sama untuk beribadah, semua punya kewajiban yang sama untuk menjamin berlangsungnya peribadahan dengan baik dan lancar. Jadi berdialoglah, temukan persamaan untuk saling mendukung,” ujarnya.

Willy mengingatkan hak beribadah dijamin oleh konstitusi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya masing-masing.

“Dalam hukum kita, tidak ada ruang bagi tekanan kelompok untuk mengatasi prosedur negara. Jika ini dibiarkan, maka yang dilanggar bukan hanya hukum, tetapi juga prinsip kebinekaan itu sendiri,” tegasnya.

Ia juga menegaskan, penegakan hukum tidak boleh tunduk pada tekanan mayoritas.

“Founding parents kita dengan sadar mendirikan negara berdasarkan hukum. Maka hukum harus menjadi garda terdepan dalam menjaga kehidupan bersama. Selama hak warga dijamin oleh konstitusi, maka kewajiban negara adalah memastikan pemenuhannya,” urainya.

Willy menyampaikan, kerukunan umat beragama baru akan terwujud ketika umat minoritas merasa aman menjalankan ibadah mereka di tengah lingkungan yang beragam. Toleransi harus terwujud dalam tindakan nyata, bukan sekadar retorika.

“Kerukunan itu ada ketika semua umat saling menjaga satu sama lain. Bukan saling membatasi. Kalau kita benar-benar menghayati Pancasila, maka bersinergi di dalam perbedaan adalah bagian dari jati diri kita sebagai bangsa Indonesia,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya fungsi forum-forum dialog seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang menurutnya seharusnya menjadi ruang diskusi yang jujur dan setara, bukan alat justifikasi mayoritas.

“Forum seperti FKUB atau lainnya jangan jadi stempel mayoritas. Dia harus jadi ruang dialog yang jujur dan setara. Jangan ada warga negara yang merasa didiskriminasi dalam menjalankan keyakinannya,” tegas Willy.

Lebih lanjut, Willy meminta aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap setiap tindakan intoleransi.

“Penegakan hukum yang tebang pilih justru memperbesar ruang intoleransi. Negara harus hadir dengan keadilan, bukan keberpihakan. Kami di DPR RI akan terus mengawal hal ini dengan serius,” pungkasnya.

*sumber : jawapos

Tinggalkan Balasan