Posted on / by Willy Aditya / in Catatan

Empat Belas Tahun Partai NasDem

EMPAT belas tahun sudah Partai NasDem berdiri. Di usia yang penuh makna ini, seperti pesan Ketua Umum Surya Paloh, kita harus berani mengakui bahwa kita masih punya pekerjaan rumah. PR kita masih sama: PR ke dalam membangun eksistensi partai dan PR ke luar menyumbangkan pikiran bagi tugas dan kewajiban negara dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia, serta menunjukkan jati diri bangsa di pentas global.

Dalam menjaga eksistensi partai, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan bersama. Pertama, fokus pada dua agenda besar: agenda kebangsaan untuk merestorasi semangat nation state menuju 100 tahun Indonesia merdeka; serta pekerjaan party building sebagai lokomotif gerakan perubahan. Inilah saat di mana kita harus mulai meredifinisi eksistensi kita sebagai sebuah kelompok politik. Lewat narasi yang kita bangun, kita bangun pula imajinasi akan Indonesia 20 ke depan: akan seperti apa kira-kira wajah partai dan kehidupan politik kita mendatang.

Untuk itu, kita membutuhkan 3C: common dreams, common learn, dan common works. Common dreams kita rumuskan lewat dialektika bersama di medan perjuangan politik kita. Common learn kita dapatkan dari kerja-kerja politik kita, baik sebagai kelompok maupun sebagai makhluk yang berkebudayaan. Common works akan kita rasakan ketika ada rumusan atau cita-cita, atau mimpi yang memandu kita sebagai sebuah kelompok.

Kedua, party building dimulai dari sebuah diktum bahwa tidak ada negara demokrasi tanpa adanya partai politik. Partai adalah alat perjuangan, mesin perjuangan bersama, instrumen publik untuk mewujudkan apa yang disebut public goods. NasDem lahir sebagai partai publik yang terbuka, baik dalam kandidasi maupun di level kepengurusan.

Jika kita becermin dari tiga pemilu yang sudah dilalui maka kita akan menyadari bahwa pengalaman adalah guru yang paling berharga. Tugas kita kini ialah menjadikan setiap patahan sejarah sebagai pijakan, sebagai rambu-rambu agar NasDem mampu lebih baik dan mampu berbicara banyak dari waktu ke waktu.

Ketiga, modern dalam manajemen: bertindak langsung dalam kerja-kerja perwakilan. Hal ini terkait dengan bagaimana perjuangan politik kita lakukan melalui instrumen pembahasan undang-undang (UU) yang dekat dengan kepentingan publik. Kita memiliki milestone sejauh ini: RUU Masyarakat Hukum Adat, UU TPKS, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Pendidikan Kedokteran, serta UU Ketenagakerjaan dalam Cipta Kerja, dan sebagainya. Kini kita juga tengah memperjuangkan RUU Perbukuan, RUU LPSK, dan sebagainya.

NasDem telah menahbiskan diri sebagai lokomotif perubahan, di mana perjuangan hak-hak dasar dalam konstitusi harus kita realisasikan, harus dijaga, dan dimenangkan. Kita bersyukur dengan naiknya perolehan kursi Partai NasDem dari waktu ke waktu. Kita berharap kenyataan ini berbanding lurus dengan kualitas kemenangan publik atas hak-hak mereka melalui apa yang kita perjuangkan. Hal ini agar harapan publik kepada partai ini bisa terus tegak berdiri.

MEMBANGUN NARASI

Dalam hal sumbangsih kepada bangsa dan negara, kita mesti mengingat bahwa esensi penjajahan adalah terjadinya diskriminasi, eksploitasi, dan ketidakadilan dalam sebuah konteks kehidupan bersama. Sebaliknya, isi dan materi alam kemerdekaan ialah adanya keadilan, penghormatan atas harkat dan martabat manusia, serta terjaminnya hak untuk menentukan nasib sendiri. Iniah spirit utama dari apa yang disebut kemerdekaan.

Para pendahulu kita telah menunaikan tugasnya dengan menuntut hal tersebut atas penjajah. Tugas kita kini ialah terus berikhtiar membangun kehidupan politik yang berkeadilan dan penuh adab. Inilah benang merah antara kita dan para pendahulu bangsa.

Meski demikian, setelah 80 tahun merdeka, sebagai bangsa kita masih kehilangan sesuatu yang begitu esensial: narasi. Narasi tentang letaknya di dalam kosmos kehidupan ini. Tentang identitas, eksistensi, dan arti keberadaannya di tengah-tengah tata pergaulan dunia sekarang ini. Tentang posisinya dalam pertanyaan: jika Indonesia hilang hari ini, adakah dunia akan merasa kehilangan?

Sejak dulu kita merasa istimewa dan besar. Baik letak geografisnya, luas wilayah, maupun kekayaan alam. Meski demikian, kebesaran tanpa narasi hanyalah pepesan kosong yang kerap menjadi bahan tertawaan orang. Amerika mungkin bukan adikuasa benar, tetapi narasinya tentang the great nation senantiasa mereka kobarkan lewat berbagai rupa instrumen dan cerita. Demikian juga Tiongkok dengan penetrasi segala jenis produknya di pasar dunia; Rusia dengan diplomasi harga dirinya; atau India yang terus menunjukkan diri sebagai bangsa yang dikenal produsen SDM dengan kualitas CEO dunia.

Adakah kita pusat dunia kini? Adakah kita disebut negara demokrasi terbesar? Muslim world paling berpengaruh di dunia? Laboratorium kebebasan? Atau pusat kebudayaan Bhinneka Tunggal Ika, mungkin?

Apakah narasi itu? Sebuah cerita kebesaran atau cita utopia yang senantiasa didengungkan baik oleh pendengung maupun pendongeng; baik oleh penyair hingga tukang sisir. Narasi adalah imaji pemandu sekaligus identitas tentang siapa kita dan arti pentingnya dalam hidup ini. Pendeknya, narasi merupakan penjaga eksistensi meski jika sebuah diri sudah tiada lagi. Mereka lestari dalam babad-babad, syair, tambo, dan hikayat-hikayat yang hidup di tengah kehidupan bermasyarakat; sebagaimana cerita Sriwijaya, Majapahit, hingga kebesaran cita-cita seorang Sukarno dulu. Itulah narasi.

Sebagai bangsa, kita punya semuanya; kecuali cerita tentang arti, nilai, dan tujuan keberadaannya di dalam hidup ini. Kita punya cita-cita tentang negara yang adil dan makmur. Namun, dalam narasi seperti apa cita-cita itu kita bawakan? Kita punya segala kekayaan yang negara lain tak miliki. Namun, dalam cerita seperti apa segala anugerah itu akan kita tunjukkan kepada dunia?

Adakah kita hanya akan menjadi bangsa yang asyik masyuk sebagai bangsa penghasil bahan-bahan mentah belaka? Adakah kita hanya terobsesi akan berbondong-bondongnya investasi yang datang sambil kita tak pernah mampu menciptakan iklim usaha yang nyaman bagi segenap investor? Adakah kita ingin dikenal sebagai bangsa yang begitu ramah dan penuh toleransi tapi di saat bersamaan sejumlah peristiwa kekerasan terus-menerus terjadi?

Adakah kita bangga disebut negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara sambil diam-diam tak pernah paham apa demokrasi itu sesungguhnya? Atau adakah kita begitu tersanjung karena dikenal sebagai negara muslim terbesar sambil kerap gagal menunjukkan kesadaran mental dan spiritual yang luhur lagi beradab?

Di dalam narasi, terkandung selalu adanya harapan. Di dalam harapan, tersimpan selalu semangat untuk menjalani hidup. Itulah mengapa setiap ideologi senantiasa memiliki utopianya masing-masing. Utopia adalah energi yang membawa daya hidup dan imaji pada setiap penganutnya. Dan tidak ada yang paling ampuh dalam membawakan sebuah utopia selain narasi. Mengapa ajaran-ajaran agama mampu bertahan hingga bermilenium lamanya? Karena, pertama-tama ia dibawakan lewat narasi; lewat cerita-cerita. Kitab suci bahkan didominasi dengan kisah-kisah di dalamnya.

Di mana posisi NasDem dalam kesadaran membangun narasi itu? Tidak ada pilihan lain kecuali kita mesti mulai menyusun kembali cerita kebesaran bangsa ini, baik di masa lalu dan terutama bagi masa depan kita. Kita bangun narasi-narasi itu lewat politik kebijakan dan kerja-kerja kebudayaan.

Narasi yang lemah akan melahirkan bangsa yang lemah pula. Narasi yang lemah menunjukkan bahwa kita tidak paham akan sejarah, nilai, dan identitas diri kita. Sebagaimana cerita pada umumnya, narasi memiliki tiga elemen penting: adanya para lakon, adanya alur atau plot cerita, serta pesan moral atau nilai yang ingin disampaikan. Kini, cerita seperti apa yang akan kita mainkan dan lakon seperti apa yang akan kita perankan? Adakah kita akan benar-benar menjadi bangsa dengan kualitas garuda atau bangsa garuda dengan kualitas burung emprit belaka?

Selamat ulang tahun ke-14 Partai NasDem. Mari kita bangun partai ini demi terbangunnya bangsa dan negara ini. Jayalah Partai NasDem, jayalah Republik Indonesia!

Tinggalkan Balasan