Catatan Willy Aditya: Alun Takilek, Alah Takalam
PAK SURYA tiba-tiba meminta saya untuk menelepon Mas Anies yang sedang berada di Sumatera Barat. Kala itu, beliau tengah bersilaturahmi sekaligus memberikan bantuan kepada korban banjir di daerah Padang Pariaman. Kunjungannya tersebut bertujuan untuk meringankan beban derita sekaligus saling menguatkan satu sama lain. Dua hari kemudian, 18 Maret sore tepatnya, kami sudah berbincang bersama sembari menunggu waktu berbuka puasa di NasDem Tower. Di sana kami bertukar pikir tentang bagaimana menyikapi hasil Pemilu 2024. Secara khusus, Pak Surya bertanya tentang pandangan Mas Anies terhadap pleno penetapan hasil Pemilu 2024 oleh KPU pada 20 Maret nanti. Yang ditanya pun memberikan pandangannya secara leluasa.
Begitulah roman seorang Surya Paloh yang demokratis dalam menentukan sikap dan egaliter dalam berdiskusi; tidak ada subordinasi satu dan lainnya. Itu yang membuat seorang Anies Baswedan “jatuh cinta” pada beliau. Tidak hanya tiket pencapresan yang gratis (politik tanpa mahar) namun juga pengorbanan untuk memperjuangkan Anies maju sebagai calon yang sah, semua dilakukan secara tulus dan penuh kesungguhan olehnya. Bahkan, beliau di usia 73 tahun bersedia untuk berkampanye keliling negeri yang beberapa di antaranya harus ditempuh dengan berjalan kaki menuju ke lokasi. Dalam pada itu, teror dan intimidasi juga tidak pernah berhenti menerpa beliau dan NasDem, tanpa pernah dikeluhkannya sedikit pun.
Tulisan ini saya sampaikan untuk menunjukkan bagaimana keputusan pada 20 Maret 2024 malam adalah hasil tukar pikir dan pandangan tentang sikap terbaik yang mesti diambil. Sebagai salah satu kontestan dalam Pemilu 2024, tentu tidak ada keinginan NasDem untuk kalah (play to win). Totalitas dalam menyongsong kontestasi lima tahunan ini ditunjukkan oleh NasDem dengan begitu serius. Salah satunya adalah mengusung Anies sebagai capres dengan segera. Namun begitu, sikap ksatria juga harus tetap ditunjukkan karena dalam setiap kompetisi tentu akan ada yang menang dan yang kalah. Adalah mudah menjawab ketika kita menang. Namun ketika kita kalah, sikap seperti apakah yang kiranya tepat untuk ditunjukkan, itulah yang tidak mudah untuk ditentukan.
Inilah yang sejatinya ingin ditunjukkan oleh Partai NasDem lewat respon cepatnya atas keputusan KPU. Inilah keutamaan sikap (virtue) yang hendak ditunjukkan oleh salah satu elit politik nasional di Tanah Air. NasDem ingin menunjukkan sebuah democratic culture yang tidak menari-nari di atas emosi publik atau iklim populisme yang tengah trending. NasDem menghindari sebuah respon yang justru akan mengakselerasi rasa kecewa dengan membuatnya menjadi semakin buruk. NasDem, khususnya Surya Paloh, dalam hal ini kembali menjadi pelopor –kalau tidak dibilang memartirkan diri– dengan menunjukan sebuah sikap untuk memberikan selamat kepada pemenang dan mengakui hasil kontestasi.
Sebab menyatakan selamat tentu jauh berbeda dengan posisi politik. Antara adab berkontestasi (democratic culture) dengan posisi politik (potilical position) adalah dua hal yang berbeda. NasDem menyatakan selamat itu untuk menunjukan diri bahwa NasDem bukanlah kelompok politik yang mengidap apa yang disebut dengan infantil disorder atau sikap yang kekanak-kanakan. Sebaliknya, dengan laku tersebut NasDem ingin menunjukkan sikap dewasa dan dalam kehidupan bernegara. Toh, sikap ini adalah hasil diskusi matang bahkan dengan Sang Capres sendiri. Dengan sikap yang diambil, posisi politik NasDem tetap dalam ranah gerakan perubahan untuk merestorasi indonesia. Karena itulah dalam pernyataan yang disampaikan langsung oleh Ketua Umum, Nasdem menyadari bahwa apa yang tengah kita perjuangan belumlah mencapai hasil yang diharapkan. Namun, ini bukan berarti bahwa NasDem berpaling atau meninggalkan segala prinsip dan garis perjuangan yang selama ini dipegang.
Satu hal yang patut diingat, politik adalah sebuah seni membangun kebijakan atau mengambil keputusan yang di dalamnya ada langkah-langkah taktis dan strategis. Banyak pihak yang merasa kecewa karena memandang NasDem “berbuka” duluan, padahal masih ada ruang lanjutan. Di sinilah yang membedakan virtue seorang pemimpin sejati dengan pemimpin imitasi. Dia tidak mau bermain-main untuk suatu hal yang prinsipil walau dengan konsekuensi dihujat atau dimaki. Dengan kesadaran untuk menjaga kepentingan yang lebih besar, yakni bangunan republik ini dan atmosfir berdemokrasi yang jauh lebih cerah, sikap itu diambil. Di sinilah kata diuji. Di sinilah kematangan dituntut. Dan jam terbang akan menuntun bagaimana ombak dan badai akan dilewati.
Berkaca pada hasil yang ada, gerakan perubahan yang menjadi tema besar Partai NasDem, dengan Anies sebagai figur protagonisnya, menang di Ranah Minang dan Tanah Rencong Aceh tentu menyisakan pemikiran tertentu. Fakta ini menunjukan sikap tradisional dua basis yang memiliki modal sosial dan politik yang sejak dahulu kala boleh dibilang antistatus quo. Sebagai entitas politik yang senantiasa menggunakan ilmu pengetahuan sebagai guidance utamanya, NasDem ingin belajar betul dari situasi ini dan telah mengambil salah pelajaran bahwa emosi publik saja ternyata tidak cukup untuk menjadi amunisi perubahan.
Ada banyak catatan penting yang sedang NasDem buat sebagai basis pembelajaran mahal dari Pemilu 2024 ini; baik terkait institusi politik yang berlaga di legislatif maupun pihak-pihak yang memiliki hak mengusung capres dan cawapres. Baik itu tentang high cost politic, tentang banalitas dan brutalnya money politics, tentang berlakunya liberal democracy with illiberal actors-nya, tentang parsialitas penyelenggara pemilu yang dominan dalam menentukan hasil, hingga tentang mobilisasi sumber daya kekuasaan yang menguntungkan satu pihak. Atas semua kenyataan yang berlaku itu Nasdem menjadikannya sebagai projek penelitian dan dokumentasi yang melibatkan banyak pihak; seperti akademisi, lembaga riset, pelaku, filmmakers, kalangan aktivis, dll.
NasDem percaya bahwa kita semua sayang pada apa yang tengah kita bela dan perjuangkan; ya partainya, ya figur capresnya, ya harapan yang telah kita semai, dsb. Akan tetapi, akal sehat tetap harus menuntun kita bahwa kepentingan bangsa dan negara senantiasa membutuhkan kita untuk berdiri bersama guna mempertahankan eksistensinya. Inilah obligasi atau tanggung jawab bagi mereka-mereka yang turut berkontestasi untuk selalu bersikap negarawan: mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan diri pribadi dan kelompoknya.
Dalam setiap pertandingan, tentu akan menghadirkan pula residu-residunya. Entah itu lecet, luka, atau bahkan trauma. Namun, di sinilah obligasi kita bersama dituntut guna menormalisasi situasi yang ada. Ini bukan lagi level low politics (kontestasi), tetapi kita beranjak pada high politics (kepentingan nasional) yang menuntut setiap pelakunya untuk bersikap dan menjalankan common comitmen dengan selalu menjalin silaturahmi dan bersedia selalu untuk berdialog satu sama lain.
Pascakonferensi pers pada Rabu malam itu, berbagai gugatan dan makian banyak berhamburan di medsos karena kecewa dengan sikap NasDem. Namun dua hari berikutnya, tepatnya pada Jumat siang, presiden terpilih Prabowo Subianto datang berkunjung ke NasDem Tower sebagai wujud kedewasaan diri yang mampu menundukkan ego. Kunjungan ini ingin menunjukkan kepada publik bahwa kita sudah melewati pertandingan yang keras, namun sebagai pemimpin kita harus meletakkan akal sehat dan kepentingan yang lebih besar di atas segalanya. Sore harinya, Mas Anies datang untuk berbuka bersama dengan keluarga besar NasDem dengan membawa surat yang ditulis tangan oleh sang Ibunda untuk diserahkan kepada Pak Surya. Keduanya pun berbincang akrab seperti biasa yang di sela-selanya Mas Anies menyampaikan oleh-oleh dari sang Ibunda untuk Pak Surya berupa buah sirsak besar.
Hidup ini sesungguhnya bisa lebih tragis dari novel-novel Hamka. Kitalah yang bisa membuatnya untuk tidak menjadi lebih melodramatik dan menguras energi bangsa yang tak berkesudahan atau sebaliknya. Kitalah yang harus tegak berdiri walau luka belum sembuh. Kitalah yang harus membusungkan dada walau telah habis besi dan tulang ditelan. Karena itulah yang membedakan antara pemimpin sejati dengan para petualang atau manusia kebanyakan.
Sebagai penutup, marilah kita belajar dari kisah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian yang awalnya banyak digugat karena karena dinilai begitu merugikan umat, namun Nabi Muhammad yang penuh dengan kemuliaan dan pandangan jauh ke depan, atas bimbingan Ilahiah, malah menerimanya dengan lapang dada. Dalam perjalanannya kita semua mengetahui, justru setelah perjanjian itulah kaum beriman mampu menunjukkan supremasinya atas kafir Quraisy dengan Fathul Mekkahnya. (*)
*Ketua DPP Partai NasDem