RUU Perlindungan PRT: Cukup Serbet Saja Yang Digantung
Nasib Pekerja Rumah Tangga jangan diperlakukan seperti serbet yang seenaknya digantung. Kehidupan mereka yang serba pada posisi lemah dan beresiko membutuhkan keberpihakan dari negara. Telah lama mereka menantikan kehadiran Undang-Undang yang akan memayungi mereka dan menjadikan mereka sebagai profesi yang setara dengan pekerja lain.
Sejak medio pekan lalu, Rabu (15/7/2020), akun-akun media sosial para pekerja rumah tangga dan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga dipenuhi oleh berbagai pesan bernada kekecewaan mendalam. Mereka harus kembali menelan kenyataan pahit, perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga kembali kandas di tangan para wakil rakyat.
”Serbet Saja yang Digantung, Jangan Nasib PRT yang Digantung. Sahkan RUU PRT. Wujudkan UU PPRT.” Demikian salah satu pernyataan kekecewaan para pekerja rumah tangga (PRT) yang diunggah di akun media sosial Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) dan dikirim dalam grup-grup media sosial.
Asa para pekerja rumah tangga yang bangkit beberapa bulan terakhir kembali sirna. Di masa awal periode DPR 2019-2020, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang mandek di DPR selama 16 tahun mendapat titik terang setelah mayoritas fraksi di Badan Legislasi (Baleg) mendukung RUU tersebut.
Namun, baru saja perjalanan dimulai, di tengah jalan langkah RUU tersebut sudah ”dicekal”. Sebab, satu hari sebelum rapat paripurna tersebut digelar, pimpinan Badan Musyawarah (Bamus) tidak memberikan persetujuan atas RUU tersebut untuk maju ke rapat paripurna, hanya karena alasan belum ada disposisi biro kesekretariatan pimpinan.
Jika berjalan mulus, seharusnya RUU PPRT diusulkan sebagai RUU inisiatif dalam pembahasan Rapat Paripurna DPR pada Kamis (16/7). Namun, kenyataannya RUU itu gagal diajukan ke rapat paripurna, dan terhenti di Bamus.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT Willy Aditya menduga hal itu bakal terjadi. Dalam cuitan di akun Twitter @jalaprt milik JALA PRT, Rabu lalu, Willy mengirimkan pesan:
”Sahabat seperjuangan @jalaprt saya selaku Ketua panja RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah berjuang seoptimal mungkin meyakinkan pimpinan DPR RI untk memparipurnakan hasil pleno Baleg, tp ikhtiar Saya Masih Masih tertunda, semoga Masih ada jalan untk kita semua.”
Dalam cuitannya itu, Willy dari Fraksi Partai Nasdem mengungkapkan, jika UU PPRT terwujud, hal itu akan menjadi salah satu regulasi yang populis di tengah citra DPR yang kurang aspiratif. Sebab, dari laporan JALA PRT, ada sekitar 10 juta pekerja domestik, baik di dalam maupun luar negeri (pekerja migran Indonesia). Ini belum termasuk PRT dan keluarganya.
Menurut Willy, ketakutan beberapa kelompok dan golongan akan relasi kerja yang industrialis tidak mendasar jika mereka membaca secara cermat isi RUU PPRT. Sebab, di dalam draf RUU tersebut dibuat kluster perekrutan PRT.
Pertama, PRT yang direkrut tidak langsung (melalui penyalur) yang mengatur relasi profesional dan PRT yang direkrut langsung (dengan basis relasi kerja sosiokultural). Asas utama dari RUU tersebut adalah kekeluargaan, jadi seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan.
Sayangnya, kata Willy, nasib RUU PPRT bagaikan peribahasa Minang ”Digantuang Indak Batali” (Digantung Tidak Bertali) yang kurang lebih memiliki makna tidak ada kejelasan secara pasti.
Dalam draf RUU PPRT, disebutkan tujuannya adalah memberikan kepastian hukum kepada PRT dan pemberi kerja, mencegah segala bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan terhadap PRT, serta mengatur hubungan kerja yang harmonis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Tujuan lain tak kalah penting yang tercantum di dalam draf tersebut menyebutkan: meningkatkan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan PRT, serta meningkatkan kesejahteraan PRT.
Definisi
Dalam draf RUU PRT, yang dimaksud dengan PRT adalah orang yang bekerja pada pemberi kerja untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggaan. Pemberi kerja adalah orang perseorangan atau beberapa orang dalam suatu rumah tangga yang mempekerjakan PRT dengan membayar upah
Adapun hubungan kerja adalah hubungan sosiokultural PRT dengan pemberi kerja berdasarkan kesepakatan atau perjanjian kerja. Bentuk perjanjian kerja ini, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencantumkan unsur pekerjaan, perintah, upah, serta hak dan kewajiban.
Sementara yang dimaksud dengan ”perjanjian kerja” adalah perjanjian antara PRT yang direkrut secara tidak langsung dan pemberi kerja. Upah kepada PRT ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu kesepakatan atau perjanjian kerja.
Baca juga: Cukup Sudah 16 Tahun, Segera Wujudkan UU Perlindungan PRT
Terhentinya langkah RUU PPRT di tangan pimpinan Bamus tentu menimbulkan pertanyaan besar. Mereka meragukan komitmen wakil rakyat terhadap wong cilik (masyarakat kecil). Pasalnya, di tingkat Baleg mayoritas fraksi sepakat mengusung RUU tersebut ke rapat paripurna yang diusulkan sebagai RUU inisiatif.
Dukungan untuk RUU tersebut memang tidak bulat. Di tingkat Baleg DPR, dari sembilan fraksi, tujuh fraksi, yakni Partai Nasdem, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menyatakan setuju RUU tersebut diusulkan sebagai RUU inisiatif DPR.
Adapun dua fraksi lainnya yang berbeda sikap atas RUU tersebut adalah Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDI-P. Menurut informasi, Fraksi Partai Golkar memberikan catatan dan menyerahkan keputusan kepada forum dan Fraksi PDI-P meminta penundaan RUU tersebut.
Tiada keberpihakan
Lita Anggraini, Koordinator Nasional JALA PRT, mengibaratkan sikap para wakil rakyat terhadap rakyat kecil yang hanya ”dekat di mata, jauh di nurani”. Betapa tidak, perjalanan RUU PPRT yang mandek 16 tahun di DPR dan akhirnya ada kemajuan ternyata masih tertahan juga.
”Sangat disesalkan ketika masih ada fraksi partai politik menolak mengagendakan RUU PPRT. Penolakan terhadap RUU ini menggambarkan pengabaian terhadap sekitar 5 juta PRT dan keluarganya yang bekerja dan hidup dalam situasi tidak layak,” kata Lita.
Padahal, kehadiran dan kontribusi PRT di setiap rumah, termasuk keluarga para pengambil kebijakan di pemerintah dan wakil rakyat, tidak bisa diragukan lagi. PRT selama ini berkontribusi pada sosial, ekonomi, bahkan secara psikologis untuk keluarga para pemberi kerja, termasuk karier, profesionalitas, dan kesejahteraan para pemberi kerja.
Sikap yang ditunjukkan sebagian anggota DPR ini menunjukkan wakil rakyat tak punya keberpihakan pada rakyat kecil seperti PRT. (Lita Anggraini)
”Sikap yang ditunjukkan sebagian anggota DPR ini menunjukkan wakil rakyat tak punya keberpihakan pada rakyat kecil seperti PRT,” papar Lita.
DPR pun diingatkan bahwa PRT beserta keluarga masing-masing juga bagian dari konstituen para wakil rakyat. Dengan kata lain, keputusan ”menggantung” RUU PPRT sama saja dengan mengecewakan PRT beserta kelurganya yang adalah konstituen para wakil rakyat.
Padahal, RUU PPRT menjadi impian para PRT. Sebab, selama ini, mereka tidak memiliki kekuatan dan posisi tawar dengan majikannya. Tanpa ada perjanjian kerja yang jelas, apalagi dilindungi dengan aturan perundang-undangan, setiap saat majikan bisa seenaknya memberhentikan mereka tanpa ada kompensasi apa pun.
Jangankan meminta upah yang layak, jarang sekali ada PRT yang mendapat jaminan kesehatan. Kalaupun ada yang mengupayakan sendiri, mereka menyisihkan dari upahnya yang sudah kecil.
Pengalaman pahit
Pengalaman yang dialami Leni Suryani (38), misalnya. Kendati sudah bekerja cukup lama dengan keluarga ekspatriat dari China, dia tidak berdaya ketika awal Maret 2020 diberhentikan tiba-tiba oleh majikannya. Alasannya, karena dia sedang mengandung dan majikannya khawatir dengan Covid-19.
Leni, yang selama ini aktif di JALA PRT, memprotes majikannya. Ia meminta kompensasi dari majikan karena diberhentikan secara sepihak. Artinya, dia berhenti bukan atas kemauannya sendiri, melainkan atas kehendak pihak majikan atau pemberi upah.
Pengalaman Nita (33), PRT yang tinggal di daerah Bekasi, Jawa Barat, tak kalah berat. Sejak pandemi Covid-19 Maret lalu, Nita diminta datang bekerja oleh majikannya. Padahal, dia memiliki dua anak berumur 6 tahun dan 4 tahun.
Ia tidak berdaya. Suaminya yang sebelumya menjadi sopir angkutan kini hanya diam di rumah. ”Saya harus cari jalan keluar karena punya anak kecil yang membutuhkan susu dan butuh makan,” kata Nita.
Kini sudah sebulan lebih ia bekerja demi menambal hidup dengan membantu usaha laundry kawannya. Hasilnya bisa dikatakan jauh dari cukup, sekitar Rp 25.000 per hari. Ini masih jauh dari standar upah minimum yang ditetapkan.
Jika cucian banyak, ia bisa mendapatkan penghasilan lebih. ”Kami bisa bertahan karena ada saudara-saudara yang mau bantu atau kasih pinjaman uang,” papar Nita yang mengaku pusing mengatur keuangan keluarganya.
Kini nasib RUU PPRT tergantung pada DPR. Apakah RUU tersebut akan mandek lagi seperti 16 tahun terakhir atau bakal ada kemajuan. Bola ada di tangan wakil rakyat. Nasib para PRT bukanlah serbet.
Sumber : kompas.id