Distribusi II untuk Perbaiki UU Cipta Kerja, Bagaimana Ketentuan dan Mekanismenya?
Wakil Ketua Badan Legislasi ( Baleg) DPR Willy Aditya mengatakan, perbaikan kesalahan perumusan pada sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat diperbaiki melalui mekanisme Distribusi II.
Menurut Willy, meski tak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun mekanisme Distribusi II mungkin dilakukan. Selain itu, mekanisme itu juga telah berulang kali digunakan.
Willy mencontohkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung.
“Perbaikan atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih dapat dilakukan dan dibolehkan,” ujar Willy saat dihubungi, Senin (9/11/2020).
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menyayangkan kekeliruan yang terjadi pada Pasal 6 dan Pasal 175 Angka 6 UU Cipta Kerja.
Menurut Redi, naskah yang dikirim DPR ke Presiden seharusnya sudah sempurna.
“Seharusnya naskah yang dikirim oleh DPR ke Presiden itu sudah sempurna redaksionalnya, sehingga Kantor Presiden hanya mencetak ulang naskah tersebut ke kop Presiden lalu ditandatangani Presiden untuk pengesahannya,” kata Redi saat diwawancara, Senin (9/11/2020).
Namun, ia mengatakan, mekanisme Distribusi II memang lazim digunakan pemerintah untuk memperbaiki kekeliruan dalam UU yang telah disahkan. Redi mengatakan, praktik ini bahkan sudah ada sejak era Orde Baru.
“Praktik ini (Distribusi II) merupakan praktik yang sudah ajeg dalam praktik teknis-administrasi penyebarluasan peraturan perundang-undangan,” ucapnya.
Redi menjelaskan, mekanisme Distribusi II yaitu dengan mencabut undang-undang yang telah dipublikasikan dari Lembaran Negara di Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya, undang-undang hasil perbaikan itu diterbitkan. Sedangkan nomor undang-undang tidak berubah.
“Lalu disampaikan naskah UU yang sudah diperbaiki dengan mencantumkan tulisan ‘Distribusi II’ di tiap halaman UU yang distribusikan hasil perbaikan,” paparnya.
Sementara, dilansir dari Harian Kompas, Jumat (6/11/2020), Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, meskipun dianggap cepat dan efisien, mekanisme Distribusi II bisa menimbulkan masalah baru.
Penerbitan Distribusi II tidak dikenal dan tak diatur dalam UUD 1945 ataupun UU No 12/2011 juncto UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adanya sejumlah UU dan PP yang diterbitkan dengan Distribusi II, menurut Bayu, tidak dapat digolongkan sebagai konvensi ketatanegaraan.
Sebab, konvensi dimaknai sebagai hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara untuk melengkapi hukum perundang-undangan.
“Mengingat UUD 1945 dan UU No 12/2011 telah memberikan jalan untuk memperbaiki kesalahan UU, Distribusi II tidak dibutuhkan,” ujar Bayu.
Mekanisme perbaikan yang diatur undang-undang, antara lain pengujian UU ke Mahkamah Konstitusi (MK), penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau legislative review.
Bayu menilai, mekanisme Distribusi II menunjukkan sikap permisif terhadap pengabaian asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
“Diaturnya secara ketat tahapan pembentukan UU adalah agar pembentuk UU benar-benar cermat, hati-hati, dan partisipatif dalam proses legislasi karena konsekuensinya, apabila UU telah diundangkan, tidak terbuka ruang perbaikan kembali kecuali melalui proses legislasi baru,” kata dia.
Sumber : kompas.com