Hanya Hasilkan 18 UU Di Tahun 2023 Dewan Bukan Sopir Angkot
RM.id Rakyat Merdeka – Senayan menyadari kinerja legislasinya tidak bisa memuaskan semua pihak. Sebab DPR bukanlah lembaga pemuas kepentingan, bukan juga sopir angkot yang harus kejar setoran undang-undang.
Hal tersebut dilontarkan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya saat menyampaikan pidato melalui video di dalam Forum Group Discussion (FGD) DPR REWIND 2023. Tema acaranya ‘Menilik Belakang Panggung Perwakilan Rakyat, Membedah Kinerja DPR 2023’ di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
Willy mengatakan, Baleg DPR perlu menyampaikan beberapa dinamika secara khusus terkait pencapaian dialektika dan pasang surut dari proses legislasi di Senayan. Tahun lalu, DPR menghasilkan 18 produk undang-undang dari target 39 produk legislasi nasional. Angka ini masih jauh dari target legislasi yang dicanangkan, tapi bukan berarti kinerja dewan dalam menghasilkan undang-undang tidak memuaskan.
“Asumsinya, selalu saja kita seperti sopir angkot yang harus dikejar, yang harus diburu dengan setoran-setoran berapa undang-undang yang sudah diselesaikan. Kita kadang-kadang lupa bagaimana kualitas dari produk perundang-undangan yang kita lahirkan,” keluhnya.
Willy bilang, dari 18 produk undang-undang yang berhasil disahkan menjadi undang-undang, ada beberapa milestone penting yang cukup berpengaruh dalam kehidupan bernegara kita. Pertama, yakni bagaimana dewan berhasil meletakkan atau mengesahkan Undang-Undang Omnibuslaw Sektor Kesehatan. Ini merupakan undang-undang Omnibuslaw ketiga setelah UU Cipta Kerja dan UU Omnibuslaw Sektor Keuangan.
Dalam UU Omnibuslaw Sektor Kesehatan ini, DPR bersama-sama Pemerintah, berhasil merangkum 9 undang-undang kesehatan yang ada, menjadi suatu undang-undang kesehatan. Ini merupakan sebuah lompatan sangat strategis dalam sektor kesehatan bagi rakyat Indonesia. Undang-undang ini belajar dari best practice di banyak negara di mana pendidikan kedokteran harus base on hospital, rumah sakitlah yang menjadi kawah candradimuka-nya.
“Di sana, kampus bukan lagi satu-satunya unit untuk menyelenggarakan pendidikan tapi bagaimana antara teori dan praktek itu terkoneksi link and match secara langsung. Dan kita bisa mematahkan adegium-adegium pendidikan yang menara gading,” katanya.
Poin kedua dari UU Kesehatan yang sangat progresif ini, bagaimana anak-anak didik, mahasiswa dari daerah, mendapatkan beasiswa dan kemudian dikembalikan ke daerah yang mengirim mereka. Ini juga merupakan obligasi yang banyak dituntut masyarakat. Selama ini, distribusi tenaga kesehatan khususnya dokter itu sangat tersentral di Jawa atau di beberapa lokal saja. Sehingga yang terjadi, ada Puskesmas namun tidak memiliki dokter bahkan dokter spesialis.
“Nah di dalam Undang-Undang Kesehatan yang kita sahkan di tahun 2023 ini, kita meletakkan bagaimana mereka-mereka yang dari daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar) itu dikembalikan,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, DPR juga berhasil melakukan revisi terhadap Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang selama ini dianggap ancaman dalam kehidupan demokrasi. Ini bisa dilihat dari banyaknya kasus yang terkait pencemaran nama baik, bahkan ada yang awalnya menjadi pelapor, namun berbalik menjadi tersangka. Nah, revisi Undang-Undang ITE ini meletakkan bagaimana pasal-pasal karet terkhusus tentang pencemaran nama baik itu kita bisa diselesaikan.
Terakhir, DPR juga telah mengesahkan revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan produk legislasi yang banyak ditunggu para pegawai honorer di seluruh Indonesia.
“Undang-Undang ASN ini kabar gembira, kabar baik bagaimana tenaga honorer kemudan menjadi tenaga kontrak (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja),” jelasnya.
Walau demikian, diakuinya, tidak semua undang-undang yang dihasilkan bisa diterima beberapa pihak dan bahkan mendapat komplain.
“Ingat, DPR bukan lembaga pemuas, tapi DPR adalah lembaga pertolongan politik dan DPR memiliki proyektif, perspektif jangka panjang yang kemudian mengakomodir banyak kepentingan,” tegasnya.
Politisi Fraksi Nasdem ini mengatakan, DPR merupakan lembaga politik, tempat terjadinya pertarungan-pertarungan politik, pertarungan dinamika dari sekian banyak perspektif. Sehingga di DPR tidak hanya satu perspektif yang dominan.
“Kita seringkali berhadapan, ah tidak apa-apa DPR tidak mengakomodir kita, kita tunggu ada pintu Mahkamah Konstitusi (MK). Kita tidak ingin dalam jebakan-jebakan batman seperti itu. Proses penyusunan perundang-undangan kita hidup di era demokrasi yang namanya demokrasi liberatif,” ungkapnya.
Peliput: RM.id