Kapal Willy Berlabuh di Partai
Vonis pidana bagi Basuki Tjahaja Purnama membuat suasana di kantor Partai Nasional Demokrat (NasDem) muram. Sekretaris Jenderal Partai NasDem Nining Indra Shaleh beberapa kali bolak-balik ke ruangan salah satu wakilnya, Willy Aditya, sambil membicarakan rasa kecewanya atas vonis terhadap Gubernur DKI Jakarta itu.
Willy meladeni semua keluh kesah bosnya itu dengan kalem. Sebagai mantan aktivis yang sudah kenyang pengalaman di lapangan, kasus seperti yang menimpa Ahok tak membuatnya cemas dan gelisah. Bertahun-tahun lalu, Willy berada di barisan mahasiswa yang sangat galak mengkritik pemerintah dan segala macam kebijakannya.
Sekarang, sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi Partai NasDem, dia berada tak jauh dari lingkaran kekuasaan. Sebagai salah satu partai penyokong Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden tiga tahun lalu, sedikit-banyak suara NasDem tentu saja juga didengarkan oleh Istana Negara saat mengambil kebijakan-kebijakan.
Willy adalah salah satu “pensiunan” aktivis gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menembus jajaran pengurus elite partai politik yang memiliki wakil di parlemen. Persinggungannya dengan NasDem dimulai pada 2009. Saat itu Willy bersama beberapa politikus dan cendekiawan muda, seperti Budiman Sudjatmiko, Indra Jaya Piliang, dan Taufik Basari, membentuk Kabinet Indonesia Muda.
“Suatu ketika Meutya Hafid mengajak kami rapat di gedung milik Surya Paloh,” ujar Willy kepada detikX di kantornya dua pekan lalu. Saat itu, di tempat yang sama sedang berlangsung pembahasan pembentukan organisasi kemasyarakatan dengan nama Nasional Demokrat. “Saya ikut nimbrung dan sempat debat dengan Eep (Saifullah Fatah) soal manifesto.”
Seusai rapat, Willy malah diminta membantu merumuskan visi dan misi ormas Nasional Demokrat yang digagas Surya Paloh itu. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu bahkan menjadi salah seorang konseptor organisasi yang mengusung gagasan Restorasi Indonesia ini bersama 44 tokoh dari berbagai kalangan. “Termasuk Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan,” ujarnya sambil tertawa. Ketika akhirnya ormas ini berubah menjadi partai pada awal 2013, Willy memilih bertahan. Surya Paloh, yang didapuk menjadi ketua umum, pun mengangkatnya menjadi salah satu pengurus inti partai. “Saya yang termuda waktu itu.”
Lahir di Solok, Sumatera Barat, pada April 1978, masa kecil Willy dihabiskan di kota kelahirannya. Dia meninggalkan kampungnya dan belajar merantau saat memasuki usia remaja. Salah satu sekolah tertua di Indonesia, SMA INS Kayu Tanam di Padang Pariaman, menjadi tempat melanjutkan studinya.
Keberanian Kepala Sekolah INS Kayu Tanam Ali Akbar Navis menantang pengurus Golkar yang ingin masuk ke kawasan sekolah membuat Willy melek politik. “Golkar masuk sekolah diusir sama beliau. Pak Navis bilang, ketika Indonesia ini belum berdiri, sekolah ini sudah bicara bagaimana memerdekakan republik ini,” kata Willy.
Dia juga mulai terlibat dalam forum diskusi, kegiatan ceramah keagamaan, serta rutin menulis berbagai artikel dan puisi. Hermansyah, salah satu guru di INS Kayu Tanamlah yang membuka pintu Willy ke dunia politik. Guru yang biasa dipanggil Ucok itu mengenalkannya dengan buku-buku politik. Ucok memberinya tugas membaca habis buku karya Sukarno: Di Bawah Bendera Revolusi. Dalam buku alumni saat kelulusan, ia menulis, “Ingat INS Kayu Tanam adalah mengingat Nasakom.”
Saat berlangsung Pemilihan Umum 1997, sebagai tanda perlawanan terhadap rezim, Willy mencabuti semua bendera Golkar yang dipasang di sekitar rumahnya. Dalam pemilu terakhir pada masa rezim Presiden Soeharto ini, Golkar menyapu 74,5 persen suara, hanya menyisakan 22,4 persen untuk PPP dan 3 persen untuk PDI.
Willy pun menjadi incaran aparatur negara saat itu. “Ayah sampai bilang tidak usah pulang dulu,” katanya. Beberapa bulan kemudian Willy pindah ke Yogyakarta saat diterima tanpa tes di UGM. Jurusan Manajemen Hutan menjadi fakultas pilihannya. “Begitu diterima di UGM, saya diselamatin guru-guru. Kata guru-guru, “Selamat berbulan madu di sana. UGM itu sarangnya aktivis,” ujar Willy.
Setelah resmi menyandang jas krem UGM, Willy langsung aktif di pers kampus Lumut dan kelompok diskusi Selendang Biru. Ia juga sempat bergabung dengan organisasi masjid kampus UGM: Jamaah Shalahuddin. Tak lama ia didekati aktivis Dewan Mahasiswa (Dema) UGM, yang merupakan organisasi oposisi Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi UGM. Dema UGM, yang dimotori antara lain Velix Wanggai dan Arie Sudjito, sangat aktif menggalang berbagai kampanye, mulai isu demokratisasi kampus hingga isu HAM dan politik nasional. “Di situ akhirnya saya kenal dunia mahasiswa yang sifatnya jalanan,” ujar Willy.
Willy masuk ke kampus Bulaksumur saat Indonesia dibelit krisis ekonomi dan gerakan mahasiswa sedang bergelora menuntut Presiden Soeharto turun dari kursinya. Willy, yang relatif masih mahasiswa baru, ikut berbaur bersama ribuan mahasiswa lain turun ke jalan. Pada 11 Maret 1998, di depan Balairung UGM, boneka Presiden Soeharto dibakar. “Peristiwa itu membakar semangat. Semakin banyak mahasiswa yang turun ke jalan,” Willy mengenang.
Dari hari ke hari, riak perlawanan mahasiswa makin besar dan jadi gelombang raksasa. Hari itu, Jumat, 8 Mei 1998, beberapa hari sebelum penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, lebih dari 5.000 mahasiswa menyemut di Bundaran UGM. Hanya berjarak sekitar satu setengah kilometer, di halaman kampus Universitas Sanata Dharma, ribuan mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi berkumpul, meneriakkan tuntutan yang sama. Reformasi atau mati.
Menjelang petang, massa mahasiswa dari kampus Sanata Dharma bergerak menuju kampus Bulaksumur, untuk menggabungkan diri dengan massa di Bundaran UGM. Di Jalan Gejayan, ratusan aparat gabungan polisi dan tentara menghadang mereka. Bentrokan tak seimbang tak terhindarkan.
Pada malam itu, darah tumpah di Gejayan. Ratusan mahasiswa babak-belur dihajar aparat. “Setelah bentrokan reda, Moses Gatotkaca ditemukan terkapar sekarat,” kata Willy. Kepala Moses, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma, terluka parah. Nyawanya tak terselamatkan. Kematian Moses dan empat hari kemudian kematian empat mahasiswa Trisakti makin membakar perlawanan mahasiswa terhadap rezim Soeharto.
Setelah Soeharto jatuh, Willy bersama aktivis Dema UGM pada akhir 1998 melakukan advokasi petani Magelang bersama Romo Y.B. Mangunwijaya dan Romo Vincentius Kirdjito. “Saat itulah untuk pertama kalinya saya dipercaya menjadi koordinator,” ujar Willy. Aksi-aksi penolakan pelaksanaan Sidang Istimewa pada awal 1999 menjadi agenda rutin bagi Willy sebagai jenderal lapangan.
Kejatuhan Soeharto tak membuat Willy mundur dari dunia gerakan mahasiswa. Dia lantas menggalang kekuatan organ-organ gerakan. Setelah setahun menggalang konsolidasi nasional, terbentuk jaringan organisasi dengan nama Forum Mahasiswa Nasional (FMN). Organisasi ini mencakup gabungan organ-organ mahasiswa tingkat daerah di 11 provinsi Indonesia, dari Sumatera Barat hingga Nusa Tenggara Barat. Aksi pertama FMN dilakukan pada awal 2002. FMN menolak kedatangan Perdana Menteri Australia John Howard, yang berkunjung ke UGM. John Howard dipandang membawa agenda liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Bentrokan dengan pengamanan kampus pun terjadi. Belasan mahasiswa terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Rektor UGM Ichlasul Amal, yang merasa dipermalukan, menjatuhkan sanksi drop out pada Willy. Untungnya, dia mendapat dukungan dari teman-temannya. Tapi Willy harus pindah kuliah ke Fakultas Filsafat.
Setahun kemudian, Willy bersama ribuan mahasiswa mendeklarasikan Front Mahasiswa Nasional di Balai Rakyat, Utan Kayu, Jakarta Timur. Di organisasi mahasiswa lintas kampus itu, Willy didaulat menjadi ketua. Setelah ditimbang-timbang, dia merasakan betapa sulitnya gerakan mahasiswa bila hanya menjadi kekuatan moral. Willy berniat menemui Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
“Saya ingin menawarkan FMN menjadi sayap mahasiswa PDI Perjuangan. Saya sudah miliki kesadaran waktu itu bahwa perjuangan politik harus melalui partai,” katanya. Tapi niat itu urung lantaran kawan-kawannya menolak keras. Willy mengajukan usul kepada teman-temannya untuk membentuk partai politik, tapi proposal itu kandas pula. “Bukan hanya soal modal, saya merasakan betul tidak gampang mengkonsolidasikan gerakan mahasiswa.”
Setelah sempat mengorganisasi buruh di Tangerang, untuk menafkahi keluarga, pada 2008 Willy masuk dunia profesional sebagai konsultan di lembaga donor asing, GTZ. Saat itu ia baru memiliki seorang putra hasil pernikahannya dengan Yemmi Livenda. Dasar memang aktivis, dia tak bisa jauh-jauh dari dunia politik. Pekerjaan itu dia tinggalkan dan Willy kembali ke “dunia”-nya. Mantan aktivis Bulaksumur itu melabuhkan pilihan politiknya di Partai Nasional Demokrat.
Sumber : DetikX