Kemewahan Zaman
Sejarah dunia, dari zaman primitif hingga modern, seringkali mengekspresikan segala pencapaiannya dalam bentuk pengultusan individu atau setidaknya personifikasi pada orang per orang. Misalnya, Firaun sebagai simbol kezaliman; Alexander sebagai penakluk yang agung; atau Gadjah Mada sebagai patih pemersatu Nusantara. Segala pencapaian yang diraih oleh suatu masyarakat tertentu, seringkali mengalami simbolisasi lewat pembangunan mitologi atau meterialisasi berbagai pencapaian lewat artefak, patung, senjata, dll.
Mungkin inilah langkah paling mudah untuk mengasosiasikan secara kasat mata segala pencapaian peradaban umat manusia. Tidak di Mesir dengan Piramida dan patung Spinknya; India dengan Tajmahalnya; Tanah Jawa dengan Borobudurnya, Inggris dengan Big band-nya, atau Amerika dengan patung Libertinya; hingga Dubai dengan Burj Khalifanya. Semua memonumentalisasi capaian peradabannya lewat benda-benda atau ekspresi materi.
Inilah narasi mayor dunia sampai hari ini, yang cenderung menjadi simbol bahkan indikator tunggal bagi segala pencapaian peradaban umat manusia. Mungkin karena mereka lebih merasa sebagai makhluk material ketimbang spiritual sehingga ekspresi yang kasat mata adalah pilihan monumentalisasinya.
Dalam pada itu, marilah kita menyelami relung kehidupan yang dipandang sunyi (offstream) di mana pencapaian dalam hidup tidak dirayakan lewat kemewahan dan kemegahan simbolik kematerian. Jalan yang hanya ditempuh oleh segelintir orang dalam melihat pencapaian hidup bukan hanya pada simbolisasi atau diktatisasi sejarah namun lebih pada relasi yang membangun dan yang terbangun (outcome-goal).
Apa yang kutuliskan ini adalah bagian dari narasi minor tentang kemewahan hasil perjuangan manusia yang hanya dirasakan oleh mereka yang ada dalam barisan sunyi. Kemewahan dalam rupa kebebasan berpikir (freedom of expression), semangat perlawanan (spirit of resistance), atau kekuatan perkawanan (comradership) dalam semarak serempak mendobrak rezim yang lalim.
Begitu mahalnya sebuah kisah perjumpaan hingga sering ia dikiaskan sebagai rahasia Tuhan. Maka kutulis kisah perjumpaan ini sebagai suatu kemewahan. Bukan karena romansa saat kita pernah saling intim untuk kemudian berpisah jalan dalam perbedaan garis dan tujuan perjuangan. Tapi lebih karena perbedaan yang ada, bisa kita lewati dengan tetap sebagai kawan yang saling menghargai pilihan dan garis perjuangan. Dan tak ada kata penghakiman atas semua itu.
“Aku ingin tetap merawat akal sehat dan merayakan kemerdekaan berpikir!” Begitu lantang terucap dari mulutmu saat melepas asap dari sebatang Dji Sam Soe.
Apa yang bisa kita wariskan pada pelanjut angkatan di tengah dunia yang bangkrut ini, manusia-manusia kardus yang hanya berpikir selingkar pusar?
“Kita bertemu bukan hanya karena sejarah yang kita pilih atau kesamaan bacaan dari diktat-diktat perlawanan atau pembelaan atas mereka yang ditindas,” begitu katamu di suatu waktu.
Kawan, kita berkumpul karena keresahan yang sama tentang keadaan. Di tengah kemajuan teknologi informasi, kini kita justru menjadi miskin pengetahuan. Anggaran pendidikan 20 persen telah terpenuhi, tetapi pendidikan tetap mahal; kampus tak lagi ramah pada perdebatan bernas akan teori dan praktik tentang orang-orang yang sawahnya kering, tentang anak-anak lumpen yang masih saja mengamen di jalanan, atau tentang para pekerja yang di-PHK dan tak tahu harus berlindung kemana.
Di penghujung 2020 ini kita saling melabuhkan rindu akan semangat zaman kala kita sama-sama bergerak dari bilik-bilik kos di gang Wuni guna merencanakan ‘pemberontakan’, menuliskan bacaan kita akan ‘Sitnas’ (situasi nasional), dan tak lupa membuat teklap (rapat aksi) untuk sebuah “alam baru” bernama demokrasi.
Betapa saat itu, aku terkesima melihat cara berpikir yang begitu tajam dalam membedah keadaan dan krisis yang terjadi tahun ’97-’98. Aku terpana melihat beragam literatur dan argumentasi yang bertebaran begitu marak dalam upaya merumuskan metode perlawanan. Saat itulah aku merasa tertantang; tertantang akan keberanian dan keteguhan sikap untuk melahirkan sebuah peradaban. Hingga kemudian, malam itu kuputuskan untuk berpaling dari anak jamaah masjid kampus di Gelanggang menjadi seorang aktivis jalanan, bersama kalian memenuhi panggilan nurani menjadi anak zaman.
Kawan, kini kita sudah hidup di alam yang kita perjuangkan; bahkan kita tertawa kecut kala mengingat masa di mana untuk sekadar membaca novel Pramoedya saja begitu susah dan terancam subversif.
Kawan, inilah kemewahan kita. Kemewahan yang bukan berupa harta, takhta, atau anasir kebendaan lainnya, yang kini begitu monolitik itu. Kemewahan kita adalah kemerdekaan berpikir saat mengamati bercorak rupa roman kehidupan; meniti setiap gerak sejarah dengan berbagai dialektikanya; membaca keadaan dengan pisau analisis yang begitu tajam; hingga mencoba menggerakkan zaman dalam kerangka yang tidak hanya radikal, namun juga revolusioner. Kemewahan yang tidak hanya sebatas pengganti waktu luang seperti saat kita seruput kopi arabika Pangalengan di malam itu.
Kita masih resah akan keadaan yang ternyata semakin banal, di mana pengetahuan hanya menjadi aksesoris kebijakan, dan para ilmuwannya tidak pernah berpihak pada mereka yang lemah dan rentan penindasan.
Kita resah akan pembangunan yang tidak berangkat dari sejarah kita sendiri, yang tiang pancang kebijakannya justru berdiri di atas silaunya kita terhadap peradaban orang lain. Inilah yang akhirnya terus-menerus melahirkan kontraksi serta kontradiksi di setiap relung perjalanan sejarah yang terus kita jalani hingga hari ini.
Kita terus resah melihat kebangkrutan integritas karena kekuasaan justru diisi mayoritas pedagang hingga peradaban yang terbangun tak lebih dari transaksi di pasar malam.
Namun Kawan, kita tak boleh kalah oleh keadaan. Bagaimanapun, keyakinan kita akan pengetahuan, keberanian, dan perubahan, adalah sesuatu yang harus terus dikobarkan, karena itu adalah kemewahan yang layak untuk terus dijaga dan diperjuangkan.
Selamat malam, Kawan!
Bandung, 1 Januari 2021