
Ketua Komisi XIII DPR Dorong Revisi UU Sistem Perbukuan, Soroti Harga Buku Mahal hingga Marak Penerbit “Mati”
Ketua Komisi XIII DPR Willy Aditya mendorong revisi Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Revisi UU ini dinilai sebagai langkah strategis untuk memperkuat literasi nasional. Menurut Willy, meski UUD 1945 sudah menegaskan bahwa tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, kebijakan terkait literasi masih belum menyentuh aspek-aspek penting di luar pendidikan formal.
“Instrumen untuk mencerdaskan bangsa itu adalah pengetahuan, dan gerbang utamanya adalah literasi, membaca. Ini bukan sekadar mengubah UU Sistem Perbukuan. Ini meluruskan tujuan bernegara, mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar Willy dalam keterangannya, Rabu (30/7/2025) malam.
Willy menjelaskan, sejak awal periode 2019-2024, dia telah mengusulkan revisi UU ini. Willy pun menyoroti persoalan mahalnya harga buku, rendahnya minat baca masyarakat, serta merosotnya ekosistem penerbitan di Indonesia. Padahal, literasi sebagai bagian dari pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara. Willy pun menyampaikan kekhawatiran atas matinya penerbit-penerbit independen dan tutupnya toko-toko buku yang dulu aktif melahirkan pemikiran penting.
“Kita tidak bisa terus diam melihat mereka ini bubar. UU Sistem Perbukuan yang lama tidak cukup dapat memberi penegasan kewajiban negara kepada penerbit-penerbit demikian. Ini menjadi cermin bagaimana negeri ini memuliakan pengetahuan,” jelasnya.
Willy berpandangan, revisi UU Sistem Perbukuan ini harus mencakup visi besar soal literasi, tidak sekadar fokus pada buku pelajaran sekolah. Dia menekankan pentingnya dukungan negara terhadap penulis independen, buku-buku bermutu dari luar negeri, serta karya-karya lokal yang berperan sebagai duta budaya.
“Literasi ini bukan hanya praktik skolastik. Tidak cukup hanya buku-buku yang jadi buku di lembaga pendidikan yang menjadi perhatian pemerintah. Ada banyak penulis bagus yang akhirnya kalah dengan pembuat diktat sekolah,” kata Willy.
“Ada banyak buku dari luar negeri yang sangat layak menjadi sumber pengetahuan. Belum lagi produk penulisan kita yang tidak difasilitasi sebagai ‘diplomat budaya’. Hal-hal seperti ini yang harus kita masukkan dalam revisi ke depan,” sambungnya. Lebih lanjut, Willy menilai bahwa disrupsi digital saat ini menuntut respons cepat negara terhadap keberlanjutan minat baca dan literasi masyarakat.
Menurutnya, revisi UU Sistem Perbukuan adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat literasi dan menciptakan ekosistem pengetahuan yang sehat. “Kita siapkan perubahan UU Sistem Perbukuan ini dalam spirit memajukan literasi. Perbaikan obligasi negara untuk mencerdaskan bangsa lewat buku, itu satu hal. Ada gerakan literasi yang diinisiasi secara struktural, ini juga hal penting. Ini semua perlu mendapat ruang fasilitasi dan perlindungan oleh negara,” imbuh Willy.
*sumber : kompas