Komisi I DPR: RUU PDP Harus Seimbang Kepentingan Pemerintah dan Swasta
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi NasDem, Willy Aditya mengatakan DPR akan mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Targetnya, DPR bisa menyelesaikannya tahun ini.
“DPR dan pemerintah sudah sejalan untuk bisa segera merampungkan RUU PDP ini. Hanya tinggal beberapa bagian yang dirasa perlu disempurnakan,” kata Willy yang juga Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, seperti dilansir dari laman resmi DPR, Selasa (7 Juli 2020).
Menurut Willy, harus ada kesiambangan antara perusahaan dan pemerintah agar tidak ada satupun yang melakukan penyalahgunaan UU tersebut.
“Kita harus menempatkan UU ini seimbang antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan dunia usaha,” ujar Willy.
Sebelumnya, Komisi I DPR RI telah menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama dengan sejumlah asosiasi, termasuk Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan US-Asean Business Council, pada Senin (6 Juli 2020).
Komisi I juga akan mengadakan RDPU serupa dengan sejumlah perwakilan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Koordinator Koalisi Advokasi Pelindungan Data Pribadi dan lainnya, pada Kamis, 9 Juli mendatang.
Percepatan pembahasan RUU tersebut lantaran banyaknya oknum yang menyalahgunakan data pribadi masyarakat. Apalagi, kata Willy, masyarakat juga belum memberi perhatian khusus terhadap data-data pribadinya.
Padahal, kata Willy, di era digital saat ini, data dianggap sebagai “new oil” atau minyak baru yang jika diolah dengan baik dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya maupun sebagai faktor untuk melahirkan sebuah kebijakan. Itu sebabnya, lanjut, Willy banyak pihak berupaya menguasai data pribadi dengan berbagai cara, termasuk cara-cara ilegal.
“Kita diingatkan George Orwell pada 1984 (tentang) bagaimana negara melakukan pengamatan terhadap data dan pergerakan warga, yang saat ini bisa kita lihat dilakukan oleh Google, misalnya. Jadi pemerintah maupun bisnis bisa melakukan abuse (penyalahgunaan),” ujar Willy.
Willy juga menyinggung sejumlah kasus kebocoran data yang jamak terjadi belakangan ini, seperti kasus Tokopedia, Bukalapak, Bhinneka.com, data DPT Pemilu 2014 dan sebagainya. Sedangkan pengaturan perlindungan data pribadi yang ada saat ini belum cukup untuk memberi keadilan hukum.
Peraturan yang dimaksud, tercantum pada sejumlah pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang PSTE dan Peraturan Menkominfo Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
“Aturan yang ada belum cukup kuat menjerat pelanggaran dan kejahatan atas data pribadi yang dilakukan oleh individu atau badan hukum, termasuk yang berada di luar negeri. Rentang tanggung jawab yang bisa dijerat pun belum cukup tegas,” tegas Willy.
Atas dasar itu, menurut Willy, diperlukan peraturan yang lebih kuat berupa UU. Dengan begitu, masyarakat yang eksistensinya menjadi tanggung jawab negara dapat memperoleh jaminan yang tegas tentang perlindungan data pribadinya.
Sumber : Cyberthreat.id