Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Komisi XIII DPR Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Ini 7 Poin Perubahannya

Komisi XIII DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (RUU PSDK).

Ketua Komisi XIII, Willy Aditya menjelaskan, RUU ini akan mengalami perubahan besar secara sistematika dan paradigma hukum.
“RUU ini terdiri secara sistematika dari 12 bab dan 96 pasal. Nah materi substansialnya kurang lebih yang pertama, postur RUU perlindungan saksi dan korban ini terdiri dari judul perubahan, perubahan paradigmatik, sistematika RUU, jangkauan, dan arah pengaturan,” kata Willy dalam rapat harmonisasi RUU PSDK bersama Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/11).

Willy menjelaskan, ada tujuh poin utama perubahan dalam revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban kali ini. Berikut adalah lengkapnya:

1. Perubahan Judul dan Ruang Lingkup RUU
Menurut Willy, judul RUU diubah dari sebelumnya “UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban” menjadi “UU Perlindungan Saksi dan Korban”.
“Jadi kita geser sedikit biar lebih luas. Lembaga ada (diatur) di dalamnya, tapi yang mau kita tekankan adalah perlindungan terhadap saksi dan korban,” jelasnya.
Perubahan ini, kata Willy, menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan hukum di masyarakat.
“RUU ini telah mengalami perubahan sistematika lebih dari 50 persen, jadi memang sudah sepatutnya disebut perubahan,” ujarnya.

2. Pergeseran Paradigma Keadilan
Willy menyebut revisi ini juga membawa pergeseran paradigma dari retributive justice menuju restorative dan rehabilitative justice.
“Ini bagian dari perubahan besar dalam sistem peradilan pidana kita. Pendekatannya kini lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan,” katanya.

3. Penguatan Kelembagaan LPSK
Willy menjelaskan, revisi ini juga menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan LPSK, yang selama ini hanya beroperasi di tingkat pusat.
“Sejauh ini LPSK hanya ada di pusat, sementara di daerah hanya ada relawan Sahabat Saksi dan Korban (SSK). Padahal permintaan perlindungan tersebar di seluruh Indonesia,” ujar Willy.
Ia menambahkan, nantinya akan dibentuk LPSK wilayah dan daerah agar layanan perlindungan bisa menjangkau lebih luas.
“Tapi nanti bagaimana skemanya, nanti kami sampaikan ke ketua ini mungkin juga akan ada masukan dari teman-teman Baleg sendiri yang lebih banyak memakan asam dan garam dalam proses penyusunan undang-undang ini,” katanya.
4. Perluasan Subjek Perlindungan
Dalam revisi ini, cakupan penerima perlindungan tidak hanya saksi dan korban, tetapi juga pelapor, informan, ahli, dan saksi pelaku (justice collaborator).
“Ini terjadi perluasan, tidak hanya saksi dan korban, tapi juga pelapor, informan, dan ahli,” tutur Willy.
5. Pembentukan Dana Abadi Korban
Salah satu hal baru yang diatur adalah adanya victim trust fund atau dana abadi korban, yang akan menanggung kebutuhan korban tindak pidana, baik pidana khusus maupun umum.
“Waktu itu LPSK sempat dapat tagihan besar dari RSCM karena ada korban yang tidak bisa dicover. Maka kita butuh dana abadi korban,” ungkapnya.
Dana ini akan bersumber dari APBN, APBD, serta sumbangan yang tidak mengikat.
6. Penyesuaian dengan Perkembangan Keadilan Restoratif
Willy menuturkan, norma hukum dalam RUU ini disesuaikan dengan perkembangan konsep keadilan restoratif dan rehabilitatif, termasuk perluasan subjek perlindungan.
“Jadi tidak hanya tindak pidana yang di-cover, tapi juga kasus perdata, kekerasan, intimidasi, atau ancaman yang melibatkan korban,” katanya.
7. Penguatan Partisipasi Masyarakat
RUU ini juga mendorong partisipasi masyarakat melalui jejaring Sahabat Saksi dan Korban (SSK).
“Selama ini yang eksis melakukan advokasi justru masyarakat sipil. SSK ini akan menjadi backbone utama LPSK di daerah-daerah,” jelas Willy.
Ia menambahkan, model ini sudah berjalan baik di Batam, yang kini dijadikan role model.
“Waktu kami kunker ke sana, penuh sekali masyarakat sipil dan aktivis yang terlibat. Ini bentuk kolaborasi nyata antara negara dan publik,” ucapnya.
12 Bab dalam RUU Perlindungan Saksi dan Korban

Willy menjabarkan, sistematika RUU terdiri dari 12 bab dan 96 pasal. Di antaranya:
1.Ketentuan Umum
2.Perlindungan dan Hak Saksi, Saksi Pelaku, Korban, Pelapor, Informan, dan Ahli
3.Dana Abadi Korban, Restitusi, dan Kompensasi
4.Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
5.Tata Cara Pemberian Perlindungan
6.Kerja Sama Pemerintah dan Daerah
7.Peran Pemerintah Pusat dan Daerah
8.Partisipasi Masyarakat
9.Larangan
10.Ketentuan Pidana
11.Ketentuan Peralihan
12.Ketentuan Penutup
Willy menegaskan, semangat utama dari revisi ini adalah mewujudkan tata peradilan yang lebih humanis dan kolaboratif.
“Kalau ini jadi, ini benar-benar spirit kita membangun humanisme di dalam sistem peradilan hukum Indonesia,” pungkasnya.

*sumber : kumparan

Tinggalkan Balasan