Mengawal UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Setelah penantian yang cukup panjang, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) akhirnya disahkan sebagai undang-undang pada 9 Mei 2022, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Secara yuridis undang-undang itu sudah mempunyai kekuatan. Akan tetapi, apakah ia sudah mempunyai kekuatan untuk berlaku secara efektif? Itu menjadi persoalan yang lebih menantang karena meski regulasi sudah absah, keberlakuannya masih menjadi PR tersendiri.
Praktik aparat penegak hukum
Mengingat urgennya persoalan kekerasan seksual di Indonesia, keberadaan UU TPKS banyak diharap berbagai kalangan mampu memberi perlindungan terhadap korban. Pelaksanaan atas undang-undang itu berarti juga penegakan the rule of law.
Arah dari rumusan pelaksanaannya pun harus memberikan jaminan kemudahan dan cakupan yang lebih luas dalam memberi perlindungan terhadap korban. The rule of law dalam arti materiel bertujuan melindungi warga masyarakat terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa sehingga memungkinkan manusia untuk mendapatkan martabatnya sebagai manusia.
Artinya, undang-undang itu harus memberi jaminan bagi warga masyarakat untuk memperoleh keadilan sosial, yaitu suatu keadaan dengan warga masyarakat mendapatkan penghargaan yang wajar dari golongan lain, sementara setiap golongan tidak merasa dirugikan kegiatan golongan lainnya (Ali, 2011).
Menurut Eugene Ehrlian, tokoh aliran sociological jurisprudence, hukum positif yang baik (dan karenanya efektif) ialah hukum yang sesuai dengan living law yang berlaku sebagai inner order dari nilai-nilai dalam masyarakat (Kusumatmadja, 2002). Yang menjadi awalannya ialah praktik yang dilakukan aparat penegak hukum itu sendiri. Tentu bukan apakah sudah dijalankan dengan baik atau belum.
Lebih dari itu, yang lebih penting ialah pada soal mau atau tidak, aparat menggunakan sebuah produk hukum. Dalam konteks tulisan ini, apakah aparat hukum sudah mau menggunakan UU TPKS dalam penanganan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual?
Kemauan itu terletak pada praktik kognitif dan standing position. Praktik kognitif itu terkait dengan pemahaman aparat terhadap UU TPKS sehingga dalam melihat persoalan, cakrawala yang digunakan ialah perspektif yang ada dalam UU tersebut. Pengetahuan dan pemahaman atas undang-undang itu menjadi bekal penting bagi aparat penegak hukum.
Akan menjadi percuma jika aparat bekerja atas kasus-kasus kekerasan seksual, tetapi tidak mempunyai bekal yang memadai atas landasan hukum baru tersebut. Secara praktis, pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki aparat penegak hukum saja tidak cukup. Lebih dari itu, aparat penegak hukum juga harus punya standing position yang jelas dan tegas.
Keberpihakan bukan berarti tidak menempatkan setiap warga setara di depan hukum, melainkan lebih merupakan bentuk imperatif untuk memberikan hak kepada korban sebelum hukum ditegakkan. Hak-hak itu penting untuk dipenuhi karena kasus kekerasan seksual merupakan kasus luar biasa yang penanganannya pun harus luar biasa.
Hak korban untuk didampingi, didengarkan keterangannya, dan mendapatkan perlindungan sebelum proses hukum berjalan.
Partisipasi dan literasi publik
Dalam UU TPKS, terdapat pendelegasian untuk membentuk peraturan pelaksana yang diberikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan. Ada tiga peraturan pemerintah yang harus dibentuk, yaitu pertama, tata cara penanganan, perlindungan, dan pemulihan tentang korban sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 66).
Kedua, penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual (Pasal 80). Ketiga, koordinasi dan pemantauandalam rangka efektivitas pencegahan dan penanganan korban tindak pidana kekerasan seksual, menteri melakukan koordinasi dan pemantauan secara lintas sektor dengan kementerian/ lembaga terkait (Pasal 83).
Selain peraturan pemerintah, UU TPKS mendelegasikan pembuatan peraturan presiden terkait pelaksanaan undang-undang itu. Dengan belajar pada praktik baik yang dilakukan selama pembentukan UU TPKS, pemerintah dapat membuka seluas-luasnya partisipasi publik atas penyusunan peraturan-peraturan pelaksanaan undang-undang itu.
Partisipasi itu tidak saja upaya memenuhi kewajiban sebagai praktik demokrasi, tetapi juga memberikan jaminan atas peraturan pelaksana yang lebih kompatibel dengan kebutuhan dalam kehidupan sosial. Itu sekaligus menjembatani sifat general dari sebuah undang-undang, dengan realitas yang lebih kompleks dan partikular.
Tidak tepat kiranya, jika kita gebyah-uyah mengurusi segala persoalan dengan sebuah peraturan pelaksana saja. Jika generalisasi terjadi secara terus-menerus, undang-undang sebaik apa pun tidak akan mampu memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang ada. Partisipasi publik itu pada hakikatnya memberi keuntungan kepada semua pihak.
Secara umum, kita dapat tahu bahwa dengan partisipasi publik, kita bisa berharap mendapatkan tata kelola yang baik. Tentu saja tidak akan sempurna, tetapi tata kelola yang dikreasi berdasar jerih pikir publik setidaknya tidak akan mengkhianati keinginan publik.
Itu juga akan mendorong terjadinya kohesi sosial yang lebihbesar. Apalagi diketahui secara umum, undang-undang itu telah membawa ketegangan dan pertentangan sosial yang sedemikian tajam. Partisipasi akan menjembatani berbagai kelompok dan ide yang berbeda-beda dalam sebuah upaya pembuatan peraturan yang lebih baik.
Kehadiran warga, dalam berbagai anjangsana untuk mendapatkan peraturan pelaksanaan yang baik, juga akan mendorong peningkatan kapasitas dan pembelajaran, termasuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang UU TPKS.
Selama ini, elemen yang sebenarnya penting itu kerap kali tidak diperhitungkan sehingga yang terjadi ialah menumpuknya regulasi tidak berbanding lurus dengan pengetahuan dan kesadaran warganya. Padahal, saat ini Indonesia mengalami obesitas regulasi.
Tidak jelas lagi mana yang urgen, signifikan, dan prioritas. Ia tidak hanya tumpang-tindih, tetapi juga saling meniadakan satu sama lain. Karena itu, lebih daripada sekadar menerjemahkan undang-undang menjadi peraturan pelaksanaan yang lebih kompatibel, hal penting lain yang harus dilakukan ialah literasi.
Literasi tidak hanya bermakna upaya membuat warga tahu akan UU TPKS itu, tetapi juga membangun kesadaran warga. Berharap undang-undang akan menyelesaikan semua persoalan itu tidak ubahnya berharap panasea bisa menyembuhkan semua jenis penyakit.
Demikian ini yang melahirkan banyak harapan palsu di tengah publik. Warga, semestinya, selain tahu substansi regulasi, mengerti praktik dan tata kelolanya yang tidak mudah. Dukungan dan keterlibatan banyak pihak akan lebih meringankan penanganan dan penyelesaian kasus-kasus yang ada.
Lain halnya jika warga tidak mempunyai bekal literasi yang baik, yang akan terjadi hanya kekecewaan, baik terhadap undang-undang yang ada maupun aparat pelaksananya. Yang juga tidak boleh dilupakan ialah soal anggaran. Itu mutlak adanya. Tanpa dukungan anggaran, UU TPKS hanya akan menjadi seonggok produk hukum yang tak memiliki makna dan daya apa-apa. Di sini, dibutuhkan keterlibatan semua stakeholder untuk mengawal kembali UU TPKS dalam aspek penerapannya.
Perjuangan belum berakhir, kawan!