
Menghidupi Pancasila
Secara politis, Pancasila disebut common denominator atau titik temu dari berbagai pandangan dan paham politik yang berkembang kala negara Indonesia tengah dirumuskan. Ia didaku sebagai philosofische grondslag atau falsafah hidup dari bangsa-bangsa di Nusantara yang menjadi dasar berdirinya negara Republik Indonesia. Sejak “dilahirkan” 79 tahun yang lalu Pancasila terus membersamai bangsa dan negara ini dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Selama Republik ini berdiri, Pancasila telah membuktikan “kesaktiannya” sedemikian rupa hingga ia mampu bertahan dalam gelombang dera gugatan dan keraguan terhadapnya. Di masa Konstituante, misalnya, Pancasila bertahan dari kehendak lama yang bersemi kembali pasca-Pemilu 1955. Di masa pergolakan 1965, Pancasila didengungkan kesaktiannya meski ia sekadar kamuflase dari sebuah siasat politik. Setelah itu, Pancasila bahkan dimistifikasi sedemikian rupa hingga menjadi penjaga kekuasaan Orde Baru.
Pasca-Reformasi ’98, Pancasila terjerembab ke pojokan arena lahirnya kembali politik aliran dan era kebebasan. Pancasila seperti pepatah “hidup segan mati tak mau”. Ia tak mati namun juga tak punya daya hidup. Ia tak bisa disingkirkan namun juga hanya mampu berposisi seperti pataka di acara-acara formal kenegaraan. Sampai ketika bangunan Republik ini terancam oleh gelagat sektarianisme, nama Pancasila kembali disebut: “Saya Indonesia, saya Pancasila!” begitu slogan ini begitu riuh pada medio 2017, kala bangsa ini berada dalam polarisasi sosial paling tajam setelah prahara 1965.
Dalam perjalanannya, Pancasila kembali mulai menggeliat. Sebagian anak bangsa menggelar berbagai ruang diskursus guna membincang kembali hingga melakukan redefining atas Pancasila dewasa ini. Hasilnya, Pancasila tetap disunggi oleh mayoritas anak bangsa ini. Ia tetap menjadi pilihan yang paling masuk akal bagi mayoritas, sebagai dasar dibangun dan dipertahankannya Republik ini. Survei SMRC pernah menunjukkan hal tersebut. Lebih dari 90 persen warga bangsa ini menyatakan bahwa Pancasila adalah pilihan paling pas serta rumusan terbaik. Ia tidak boleh diubah atas alasan apapun.
Meski demikian, Pancasila hari ini tetap berada dalam problem klasiknya. Ia masih belum mampu keluar dari jebakan lamanya. Pancasila masih sekadar dekorasi ketimbang sumber nilai kehidupan penghuni Republik ini. Pancasila seperti patah kaki ketika dituntut mewujud sebagai praksis bernegara. Pancasila kerap terkungkung dalam pelbagai mitologi dan mistifikasi yang dibangun atas nama dirinya. Namanya sering disebut namun kering dalam pemaknaan. Ia seperti mantra yang seketika akan menyirep siapapun yang mendengarnya. Namun ketika mantra hilang, hilang pula pengaruhnya dalam kehidupan ini. Pendek kata, ada kelemahan dalam diri Pancasila itu sendiri.
Ya! Pancasila memang memiliki kelemahan. Kelemahannya bahkan disebut ada di dalam dirinya sendiri. Kelemahan itu berada pada soal metodologi. Pancasila bolong di titik ini. Di level ontologi dan epistemologi, Pancasila tidak punya masalah. Namun di level metodologis, Pancasila selalu membutuhkan penopang agar mampu benar-benar “hidup”.
Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru pernah mencoba merumuskan metodologi ini lewat Manipol/USDEK dan Penataran P4. Namun seperti kita lihat dalam sejarah, keduanya tak mampu berjalan dengan baik. Manipol terongrong oleh pergulatan ekstrem dari berbagai spektrum ideologi yang justru hidup dalam naungan Pancasila itu sendiri. Sementara oleh P4, Pancasila bermetamorfosis menjadi alat kekuasaan sekaligus dimistifikasi sebagai satu-satunya ideologi sah negara.
Ada banyak evaluasi mengapa dua metodologi tersebut tidak berjalan dengan baik. Salah satu yang paling mendasar adalah pendekatan deduktif yang digunakannya. Selama ini Pancasila selalu berangkat dari atas ke bawah, bukan sebaliknya. Pancasila menjadi bahan sekaligus ruang indoktrinasi, bukan aspirasi pemikiran yang menghidupi langit kebudayaan nasional kita. Singkat kata, selama ini Pancasila selalu berangkat dari bidang ke titik, bukan dari titik ke bidang.
Perubahan Basis Material
Tidak hanya problem metodologis, Pancasila juga mengalami kendala eksternal berupa perubahan basis material kebudayaan warga bangsa ini. Semestinya, Pancasilalah yang menghidupi segenap perikehidupan bangsa dan negara. Ia adalah falsafah bangsa. Ia dasar didirikannya negara ini. Ia adalah sumber dari segala sumber hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia adalah suprastruktur kehidupan bangsa dan negara ini. Sebagaimana ideal kerja kebudayaan, suprastruktur yang semestinya menentukan struktur berikut infrastruktur suatu komunitas sosial.
Namun akibat modernisme, modernisasi, dan juga modernitas yang melanda segenap sendi kehidupan manusia di muka bumi ini, terjadilah apa yang disebut oleh Ignas Kleden dengan perubahan basis material kebudayaan (Arif, 2016). Basis material itu ialah subjek-subjek kebudayaan yang dalam ini adalah manusia. Impaknya adalah kognisi sosial berubah seiring berubahnya cara kerja, cara hidup, hingga cara berpikir mereka. Di tahap ini, yang berlaku bukan lagi ideal kerja kebudayaan melainkan tesis dari Karl Marx di mana infrastrukturlah yang menentukan suprastruktur.
Akibat lebih jauhnya, modernitas menyisakan patologi bagi corak kebudayaan suatu komunitas sosial. Dalam konteks Indonesia, bangsa ini “kehilangan” bintang penuntun akibat malfungsi Pancasila sebagai sistem nilai serta sistem kebudayaan nasional. Di level kenegaraan, kita pun terjebak dalam pelbagai bentuk materialisasi serta instrumentalisasi kehidupan politik/kepublikannya. Saya menyebut semua ini sebagai “kewadagan”.
Maka yang disebut pembangunan adalah pembangunan gedung, bangunan, atau segala yang beraras pada infrastrukturisme. Yang disebut demokrasi adalah ketika suara massa netizen bergemuruh. Yang disebut pemilu adalah tingginya angka elektabilitas berikut modal yang menyertainya. Yang disebut kemajuan ialah tingginya angka perkapita. Yang dimaksud kesejahteraan hanyalah angka pertumbuhan. Dan dalam pada itu, dunia pendidikan pun jauh dari narasi pembangunan nasional dan hanya disesaki oleh soal berapa harga yang harus dibayar oleh pesertanya.
Maka tidak heran jika respon-respon negara atas pelbagai masalah kepublikan, dijawab oleh pendekatan instrumental yang langsung menuai gugatan dan kontroversi. Kasus Tapera dan UKT adalah contoh aktualnya. Semua respons terasa serba instan dan tambal sulam. Ia tidak berangkat dari kedalaman refleksi yang beralaskan keluhuran nilai dan keutamaan sikap.
Pada level lebih jauh, kewadagan ini telah merasuk pada relasi sosial dan politik di level bangsa. Gagasan dan ide jauh tersisih oleh figur, lebih-lebih figur yang berkuasa atau yang punya kewadagan lebih. Orang bisa bersepakat tentang apa saja sepanjang itu memberi keuntungan. Yang disebut keuntungan pun mesti wadag wujudnya. Nilai (value) dan keutamaan (virtue) jadi teramat relatif; yang solid adalah penghambaan pada segala yang wadag berikut penampakan benefit yang menyertainya. Keberpihakan tidak pernah jejeg karena selalu tidak kuat iman didera godaan maupun ancaman yang sama-sama wadag. Fanatisme pun lahir bukan dari dan pada nilai atau ide, melainkan pada segala bentuk kewadagan tadi.
Dalam segala manifestasi kewadagan ini, kita menyaksikan Pancasila terus berada di pinggiran sejarah dan dialektika bangsa hingga hari ini. Di titik inilah Pancasila mengalami apa yang disebut oleh Syaiful Arif (2016) sebagai “entropi Pancasila”: suatu kondisi di mana Pancasila sebagai sistem nilai tidak mampu beroperasi dan membentuk sistem perilaku pada ranah kehidupan sosial-politik masyarakatnya.
Menyublim Kewadagan
Maka lengkaplah sudah “derita” yang dialami oleh Pancasila. Dari dalam, ia patah kaki dan tangan karena problem metodologis; dari luar, ia terus diterjang perubahan basis material kebudayaan subjek-subjeknya. Maka ia pun lumpuh selumpuh-lumpuhnya. Sebagai sistem nilai, ia tak mampu membentuk sistem sosial, politik, budaya, yang selaras dengan sistem nilai dan sistem makna yang dikandungnya. Pancasila tak berdaya untuk benar-benar menjadi spirit republikanisme di alam kehidupan negara ini.
Tidak hanya tak berdaya, Pancasila hari ini bahkan dikangkangi oleh satu-satunya paham dan pemikiran yang tidak terkandung dalam dirinya: liberalisme! Kelima sila dalam Pancasila merefleksikan berbagai macam paham dan pemikiran dunia. Hanya liberalisme yang selama ini tidak diakomodasi oleh Pancasila! Namun yang tidak diakomodasi itulah justru yang kini men-drive kehidupan bangsa dan negara ini. Liberalismelah yang justru menjadi the ruling value dalam setiap tarikan napas dan gerak berbangsa dan bernegara kita hari ini. Dan, inilah kewadagan yang paling manifestatif yang malu-malu kita akui.
Maka, alih-alih menghidupi kita, kitalah yang kini mesti menghidupi Pancasila. Kitalah yang harus merintis berbagai upaya guna menyublimkan segala yang wadag itu agar berada dalam nilai dan kebudayaan Pancasila. Kitalah yang harus merohanikan yang serba material itu dalam kesadaran spiritualitas Pancasila. Mau bagaimana lagi. Segala pendekatan deduktif selama ini terbukti tak mampu menghidupkan Pancasila hingga hari ini. Segala bentuk lembaga maupun sejumlah ketetapan tak pernah mampu merevitalisasi Pancasila ke maqam semestinya. Segala praktik indoktrinasi akan nilai-nilai luhurnya selama ini malah berbuah kecaman, penghinaan, dan bahkan pengabaian terhadapnya.
Inilah saatnya Pancasila dikembalikan kepada “pemilik” sahnya: warga negara dan warga bangsa ini. Warga negara (citizen) merujuk pada entitas politik yang menjadi pasangan dari negara (state) sebagai lawan dialektikanya, yang dalam konteks ini berarti Pancasila menjadi alat warga untuk beroposisi. Sementara warga bangsa (nation) merujuk pada entitas sosial yang memiliki kesadaran dan tujuan yang sama dalam upaya mencapai cita-cita idealnya (utopia), yang dengan ini Pancasila, idealnya, menjadi bintang penuntun.
Sudah saatnya Pancasila di-drive dari bawah ke atas dan segala arah; dari titik ke bidang (induktif). Sudah waktunya negara menyadari bahwa Pancasila mesti disemai dari dan bukannya dicangkokkan pada warga sebagai basis material kebudayaannya. Sudah masanya kita mendemokratisasikan Pancasila.
Agar mampu menjadi praksis dalam kenyataan hidup bangsa dan negara ini, Pancasila tidak hanya perlu ditopang oleh teori-teori sosial-politik yang relevan. Ia juga butuh disokong oleh ekspresi dan diskursus berbagai paham dan pemikiran politik lain. Ia juga mesti dijadikan ruang sekaligus kerja-kerja kebudayaan warga yang ekspresinya bisa beraneka rupa cara; mulai dari menyelenggarakan lomba hingga perdebatan ideologis di lembaga-lembaga negara.
Hal ini agar Pancasila terhindar dari kepicikan cara pandang, seolah-olah kehadirannya hanya untuk menangkal sektarianisme atau fenomena serupanya. Lebih dari itu, Pancasila juga berbicara tentang bagaimana menjadi manusia yang gandrung pada keadilan dan menjunjung tinggi etika. Pancasila juga berbicara tentang bagaimana sebuah republik semestinya dibangun dan bagaimana demokrasi seharusnya dioperasikan. Pancasila juga berbicara hingga bagaimana kita, manusia, semestinya berlaku; baik sebagai penerima mandat kekuasaan (khalifah) di muka bumi sekaligus hamba di hadapan Yang Maha Kuasa.
Kita tak bisa menghidupkan Pancasila. Kita hanya mampu membuat “napas buatan” baginya lewat ketepatan mengidentifikasi persoalan dibarengi dengan kejujuran dalam bersikap dan keikhlasan dalam berbuat. Dengan begitu, semoga dengan kesadaran dan itikad ini, kita bisa mulai menyicil berbagai rupa upaya dan pemikiran sehingga Pancasila mampu hidup dan menghidupi kehidupan bangsa dan negara ini dalam gerak sejarah ke depan.
Willy Aditya Anggota MPR RI, penggiat Pancasila Di Rumahku
Baca artikel detiknews, “Menghidupi Pancasila” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-7371948/menghidupi-pancasila.