Moralitas Republikan
ISBN : 978-602-14363-1-8
Cetakan Pertama : 2016
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Populis Institute
“Perubahan total itu sesuatu yang sulit, tapi totalitas dalam perubahan adalah suatu keharusan!”
Siang itu telpon genggam saya berdering, kira-kira dua minggu setelah pelaksanaan Pilpres 2014. Di seberang sana suara bariton langsung berbicara tentang situasi politik yang dipandangnya sudah tidak memiliki etik dan kebajikan. “Kita harus bergerak untuk menahan runtuhnya peradaban ini. Kitalah barisan, kitalah garda yang (harus) terus berjuang untuk membela republik dari dekadensi moral para politisinya!”
Situasi politik saat itu memang tengah seperti “pasar”. Ajang jual beli, saling mempengaruhi, lobi, dan mungkin juga upeti, mewarnai proses pembentukan pemerintah baru. Sebuah pemandangan yang biasa sebenarnya. Namun entah mengapa, orang yang menelpon saya siang hari itu gelisah dengan keadaan itu. Harapan tentang terbangunnya pemerintahan yang akan mampu membawa solusi bagi permasalahan bangsa ini seolah terancam. Impiannya tentang perubahan yang sedang menapakai tapak pertamanya, seakan terusik oleh fenomena yang terjadi.
Berangkat dari kegelisahan itulah Surya Paloh, sang penelpon itu, meminta saya untuk menulis sebuah buku yang bertema seputar peradaban politik bangsa: sebuah tema yang begitu penting bagi lelaki kelahiran Aceh, yang pada juli tahun ini genap berusia 65 tahun. Mengapa Buku? Seperti diujar seseorang: jika ingin melumat peradaban sebuah bangsa, maka musnahkan semua buku-bukunya. Inilah agaknya alasan mengapa Surya Paloh meminta saya menulis buku dengan tematik peradaban politik bangsa.
Tema peradaban politik terkait erat dengan piranti lunak (software) bangunan negara kita, yakni Republik. Sebagaimana disampaikan oleh salah satu bapak pendiri bangsa, Mohamad Hatta, bahwa Negara Indonesia merdeka adalah Negara yang diurusi oleh orang banyak (publik). “Indonesia merdeka haruslah suatu Republik yang bersendikan pemerintah rakyat, yang dilakukan dengan perantaraan wakil-wakil rakyat atau badan perwalian… dari wakil-wakil rakyat dan badan perwalian tersebut terpilihlah anggota pemerintahan yang menjalankan kekuasaan Negara. Dan pemerintahan itu senantiasa takluk kepada kemauan rakyat,” begitu disampaikannya dalam Ke Arah Indonesia Merdeka.
Hatta menekankan betul tentang republikanisme sebagi ibu bagi arah politik Indonesia. Ini bermakna bahwa politik Indonesia pertama-tama harus menjadi urusan bersama (publik), dan demi kepentingan bersama pula, bukan menjadi urusan orang per orang (privat) atau sekelompok orang saja. Hatta menekankan betul arti pendidikan bagi rakyat Indonesia, karena dengan pendidikanlah rakyat akan mampu berpartisipasi dalam proses politik bersama. Dengan rakyat yang terdidik, demokrasi akan benar-benar “hidup” dan bermakna.
Airlangga Pribadi (2012) memberikan makna yang apik akan pemikiran Hatta ini. Ketika rakyat merasa bertanggungjawab dan berperan dalam pengelolaan kehidupan bersama maka akan hiduplah demokrasi. Saat pemerintahan berjalan dan bekerja atas nama kepentingan privat dan tidak menjalankan mandat dari publik, maka disitulah letak awal erosi demokrasi.
Praktik demokrasi yang demikian adalah praktik yang berporos pada prinsip republikanisme: demokrasi yang esensial, yang tidak terjebak pada rutinitas atau prosedur belaka. Inilah yang diserukan oleh Partai NasDem sedari awal berdirinya, sebagaimana tertuang dalam manifestonya seperti yang termaktub di bawah ini:
Kami menolak demokrasi yang sekadar merumitkan tata cara berpemerintahan tanpa mewujudkan kesejahteraan umum. Kami menolak demokrasi yang hanya melahirkan rutinitas sirkulasi kekuasaan tanpa kehadiran pemimpin yang berkualitas dan layak diteladani. Kami menolak demokrasi tanpa orientasi kepada publik. Kami menolak Negara yang meninggalkan perannya dalam pemenuhan hak warga.
Partai NasDem selalu mencoba memanifestasikan komitmen ini dalam keputusan dan kebijakan politiknya. Dan pertama-tama, itu harus dilakukan oleh ketua umumnya, Surya Paloh. Sebab, komitmen besar NasDem ini bukanlah komitmen yang tiba-tiba turun dari langit. Komitmen ini juga bukan sekedar kata atau gagah-gagahan dari konstitusi yang dimiliki sebuah partai politik. Komitmen NasDem ini benar-benar lahir dari kesadaran dan pemikiran republikanisme ini.
Demikian juga kegelisahan Sang Ketua Umum. Keresahannya berdasar pada semangat untuk memperbaiki republik ini. Maka ketika ada yang pandangannya kurang sesuai dengan idealisme yang dimilikinya, segera dia ingin melakukan sesuatu. Karena itulah buku ini hadir di tengah-tengah kita, semata-mata sebagai sumbangsih bagi peradaban politik yang semakin maju.
Buku ini memotret momen-momen penting yang menurut penulis sayang jika dilewatkan begitu saja karena ia terkait dengan laku yang langka dalam politik Indonesia kontemporer. Settingnya adalah momen Pemilu 2014 secara umum, dan secara khusus pada momen Pilpres. Lakon utamanya adalah Surya Paloh selaku Ketua Umum Partai NasDem. Saya bukan tengah memuja-menjura kepada beliau, apalagi menjilat. Dalam hemat penulis, sikap dan keputusan politik beliau dalam momen pilpres kemarin adalah sesuatu yang langka, bahkan anomali dalam politik kekinian di tanah air. Jawaban atas kegelisahan yang disampaikannya lewat telepon siang itu saya jawab dengan mengabadikan fragmen-fragmen dalam momen tersebut di buku ini.
Namun tentu saja buku ini tidak hanya berisi kisah. Ada nukilan sejarah dan beberapa teori yang terkait dengan praktik-praktik yang disajikan. Ini semua untuk mendukung bahwa apa yang terjadi dan tersaji sesungguhnya sudah lama dikaji oleh para cerdik cendikia dahulu.
Selain faktor tersebut, ada satu pelajaran lain yang mendasari lahirnya buku ini. Ialah momen peluncuran buku Jokowi di Solo, sebelum beliau dilantik sebagai Presiden Ri ke-7. Yang menjadi poin penting dari momen tersebut adalah adanya catatan perjalanan dari sebuah proses perjuangan. Hal ini memberi pelajaran penting kepada saya pribadi dan NasDem bahwa dokumentasi sebuah perjalana dari setiap praktik politik (lesson learn) adalah warisan yang tidak ternilai bagi peradaban. Oleh karena itu, fragmen yang dilakoni seorang Surya Paloh dengan peran yang dijalaninya dalam momen Pilpres 2014 yang lalu adalah sebuah dokumentasi bagi peradaban juga.
Saya menekankan kata “peradaban” karena dalam amatan saya pribadi, sudah terlalu banyak orang yang membuat sejarah akan tetapi tidak banyak yang membangun peradaban. Sejarah hanya akan terekam dalam ingatan sementara orang yang untuk kemudian hanya menjadi catatan di dalam buku-buku. Namun peradaban, selain menjadi catatan, ia akan menjadi laku yang diduplikasi dan direproduksi dalam momen-momen kehidupan politik berikutnya.
Dalam spirit semacam itulah buku ini dibingkai mulai dari pengantar, bab demi bab yang disajikan untuk saling melengkapi, hingga penutup. Harapannya, buku ini memberi sumbangsih bagi pembangunan politik yang beradab di Indonesia.
Bukan pekerjaan yang mudah, itu pasti. Bahkan bagi Partai NasDem sekalipun, hal ini masih menjadi ikhtiar yang banyak mengalami batu terjal dan berliku. Namun seperti yang diucapkan oleh Surya Paloh di atas, “Perubahan total itu sesuatu yang sulit, tapi totalitas dalam perubahan adalah suatu keharusan!” Inilah yang juga modal berharga yang saya pegang demi sebuah cita-cita yang mulia.
Oleh karenanya, bisa menulis dan menyajikan buku ini adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Karena meskipun setitik, saya telah memberikan kontribusi pada peradaban politik di tanah air tercinta.
Sejalan dengan hal tersebut, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada kepada pihak pihak yang telah berkontribusi tersajinya buku ini. Kepada Bapak Surya Paloh yang telah memberikan “perintah” kepada saya untuk menuliskan sebuah buku lagi; kepada mas Tudi Latif yang telah berkenan memberikan kata pengantarnya sehingga buku ini menjadi semakin bernilai; kawan-kawan pengumpul data seperti Fanny, Bayu, Jakfar, Citra Ali Fikri, Rifki Hasiubuan, yang telah dengan penuh kerelaan meluangkan waktunya untuk mencari data-data pendukung; serta editor buku ini Agus Hernawan dan Mohamad Taufiq yang telah memberikan setuhan-sentuhannya sehingga buku ini menjadi layak untuk diterbitkan.
Terakhir untuk istriku tercinta Yemmi Livenda dan tiga buah hatiku terkasih Alif Camilo Adiwijaya, Darawita Anastasia, dan Nanta Delano Cokroaminoto: kalianlah yang sesungguhnya telah memberikan energi tak kasat mata hingga buku ini bisa selesai.
Akhirnya, selamat membaca saya ucapkan kepada siding pembaca yang budiman, dan semoga Tuhan memberkati langkah perjuangan kita semua.
Jakarta, 12 April 2016
Willy Aditya