
Pancasila tak sekadar hafalan formal, namun laku sosial
Anggota MPR RI yang juga Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya menekankan bahwa Pancasila harus ditempatkan bukan sekadar sebagai hafalan formal, melainkan sebagai nilai yang hidup dalam keseharian masyarakat atau laku sosial (social life).
“Dalam pidato 1 Juni itu, Bung Karno mengatakan, ‘Saya ini bukan penemu Pancasila’. Beliau menegaskan hanya menyarikan nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya sudah ada dan hidup di tengah-tengah kita setiap hari,” kata Willy dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Hal itu disampaikan Willy saat acara bedah buku karyanya berjudul “Pancasila di Rumahku” yang diselenggarakan Perpustakaan MPR RI, di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/8).
Menurut dia, pendekatan Bung Karno tersebut bersifat metodologis dan induktif, yang berarti Pancasila digali dari bawah, langsung dari kehidupan sosial masyarakat.
Hal itu berbeda dengan cara pada masa Orde Baru melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ketika Pancasila diajarkan dari atas ke bawah dan lebih menekankan pada hafalan.
“Selama ini kita sering terjebak meletakkan Pancasila sebagai cita-cita yang saleh di atas, seperti surga,” kata Willy mengutip pandangan filsuf dan astronom perempuan Indonesia Karlina Supelli.
Dia kemudian mencontohkan Pancasila sebagai sebuah laku sosial, seperti yang tercermin dalam tradisi Pela Gandong di Maluku, di mana masyarakat Muslim dan Kristen saling membantu membangun tempat ibadah masing-masing sebagai bukti nyata bahwa nilai toleransi sudah berakar di masyarakat.
“Pancasila ada di tengah kita every day, every time, every moment. Bung Karno meletakkan Pancasila itu sebagai way of thinking, way of life,” tuturnya.
Sebagai penutup, Willy lantas mengajak semua pihak, terutama para pendidik, untuk tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai mitos atau hafalan semata, serta membumikan Pancasila menjadi tanggung jawab kolektif seluruh bangsa.
Dia menegaskan Pancasila harus menjadi working value atau tatakan hidup keseharian yang tercermin dalam tindakan sederhana seperti saling tersenyum, menghormati perbedaan, dan bergotong royong.
“Kita harus keluar dari perspektif guru mengajarkan, murid menghafalkan,” katanya.
*Sumber : Antara