Partai yang Bilang Ogah Koalisi Sama Ini dan Itu Cuma Kumur-kumur
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, berkoalisi merupakan sebuah keharusan dalam Pilpres 2024. Sebab, berbagai fraksi partai di parlemen sudah sepakat untuk tidak merevisi Undang-Undang Pemilu terkait presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
“Ini yang kemudian ya suka nggak suka nggak, Senang nggak senang, siapa stok yang ada itu yang kemudian harus dilihat (Nasdem memilih mencapreskan Anies Baswedan),” ujar Willy dalam Kasih Paham! Peta Koalisi Calon Presiden 2024 yang disiarkan Asumsi.co.
Koalisi partai beda ideologi: Koalisi antara partai sayap kanan dan partai sayap kiri yang berbeda ideologi tidak hanya terjadi dalam kontestasi politik di Indonesia. Luna da Silva berhasil berkuasa selama 10 tahun di Brasil karena diusung Partido dos Trabalhadores (PT) yang progresif dan Partai Yahudi yang konservatif.
Di sisi lain, kata dia, saat ini bukan relasi negosiasi antar partai yang menjadi magnet utama koalisi, tetapi figuritas. Figur tertentu membuat relasi kepartaian saat ini menjadi lebih longgar. Apalagi, koalisi partai dalam Pilpres tidak serta merta harus diikuti pula pada kontestasi di tingkat Pilkada.
“Dalam konteks Pilkada, siapa sih (partai apa) yang nggak bisa ketemu (berkoalisi) dengan siapa (partai tertentu) cek aja. Maka, kemudian ketika ada partai yang menyatakan ‘kami nggak bisa kerjasama dengan partai ini dan itu’ (saklek atau keras kepala dengan pendirian tertentu). Kumur-kumur aja itu. Itu ya saya nggak tahu konfirmasi aja itu orang yang ahistoris,” ucapnya.
Deideologisasi: Sementara itu, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, secara ilmiah, sudah terbukti partai politik di Indonesia mengalami deideologisasi.
Padahal, partai politik di Indonesia pada 1955 sangat ideologis. Pada tahun 1955, partai politik di Indonesia terbagi dalam tiga ideologi. Yaitu, berdasarkan isu kelas; isu agama versus nasionalis; serta isu sentralisasi versus regionalism. Ironisnya, yang tersisa hari ini hanya isu agama versus nasionalis.
Partai pragmatis: Menurut Burhanuddin, hilangnya corak ideologis partai disebabkan adanya presidential threshold. Imbasnya, partai lebih mengedepankan segi pragmatisme daripada ideologis.
“Dari dulu saya menolak itu. bukan hanya 0% presidential threshold, seharusnya nggak ada (presidential threshold) tapi mengapa mereka (elit partai) tidak menolak itu di parlemen, harusnya kan ditolak dong.,” tutur Burhanuddin.
Jika presidential threshold tidak ada, partai justru diuntungan. Kalau enggak ada presidential threshold, partai bisa menguji efek ekor jas (coat tail effect) dari ketua umumnya tanpa harus berkoalisi dengan parai lain.
“Jadi masing-masing partai mengusung elitnya aja sendiri tanpa harus mencari teman koalisi untuk menggugurkan syarat presidensial tersebut yang tinggi tadi,” ujar Burhanuddin.
Peliput: Asumsi.co