Penghapusan Kekerasan Seksual Butuh Bangunan Budaya
Sampang, 17/12. Maraknya ragam kekerasan seksual masih menjadi masalah yang perlu penanganan serius pemerintah. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan tahun 2022 dirasa belum cukup untuk membangun budaya kasih sayang tanpa kekerasan seksual. Masih banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap peremuan dan anak menjadi penanda pentingnya bukan hanya UU melainkan upaya untuk membangun budaya anti kekerasan.
Hal demikian disampaikan anggota DPR RI Fraksi NasDem, Willy Aditya, dalam kesempatan reses di daerah pemilihannya di Sampang. Menurutnya, korban kekerasan seksual terutama perempuan dan anak masih memerlukan langkah-langkah kongkrit dari aparat pemerintah sekaligus aparat penegak hukum.
“Kita tidak bisa hanya andalkan penghukuman dalam kasus kekerasan seksual. Harus ada upaya besar mulai dari hulu hingga hilir. Budaya anti kekerasan di hulu, dan keadilan bagi korban di hilir,” tegasnya.
Menanggapi tentang belum adanya peraturan peraturan teknis implementatif dari UU TPKS, Willy mengatakan bahwa dalam waktu dekat pemerintah akan mengeluarkan sejumlah peraturan teknis dalam kewenangannya. Namun dia menekankan upaya inisiatif dari pemerintah daearh dan masyarakat luas jauh lebih dibutuhkan ketimbang peraturan teknis yang ada.
“Teknis penyelidikan, pembuktian dan hal berkenaan dengan implementasi pidananya akan dilatih untuk para penegak hukum. Penyelenggaraan rumah aman, rehabilitasi, bimbingan psikologis dan hukum dilatih kepada aparat pemerintahan kementeriran. Sebentar lagi juga akan muncul peraturan presiden berkenaan dengan pelatihan ini,” ungkapnya.
Willy menguraikan perubahan dari budaya maskulin yang kental kekerasan memerlukan waktu untuk merembeskan nilai kasih-sayang feminis. Upaya demikian menurutnya memerlukan waktu panjang dan upaya-upaya sistematis yang serius dari banyak pihak.
“Budaya kita ini kental maskulinitas. Menyeimbangkan kembali apa yang sudah terbangun kokoh ini perlu upaya keras dan sistematis. Narasi keutamaan perempuan dan kasih sayang perlu kembali digelorakan sambil terus membangun budaya kesetaraan dan keadilan,” ucapnya.
Dia merincikan, perlu membiasakan kembali pelibatan perempuan dalam aktivitas-aktivitas yang sudah terlanjur distempel sebagai aktivitas laki-laki. Selain itu perlu juga membangun kebiasaan untuk memberi ruang yang cukup untuk perempuan berekspresi di lingkungan mulai dari keluarga hingga negara.
“Masih banyak yang perlu kita lakukan. Perempuan yang lahir dengan berbagai tekanan sosial perlu diberi ruang agar kesetaraan dan kemerdekaan mereka rasakan. Dengan cara itu kekerasan seksual yang menyasarnya akan terus berkurang,” pungkasnya.