“Dalam puisi tersebut, Frans berusaha menyampaikan bahwa demokrasi saat ini dimaknai bukan sebagai ekspresi terhadap penindasan, melainkan karena faktor siapa yang bayar,” tegas Willy.
Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI yang akan kembali duduk di kursi Senayan periode 2024-2029 itu mengemukakan, sastra dapat menjadi ruang untuk tetap merawat akal sehat dan kewarasan masyarakat di tengah demokrasi di Indonesia yang menuntut keberpihakan.
“Kalau kita mau melawan bungkus (kekuasaan) yang besar, yang paling penting bagaimana akal budi dan akal sehat kita, menjaga rasionalitas dan keberpihakan kita. Frans mengajak kita ke dalam ruang yang sosio-historis, sebagai manusia yang mengalami derita kelas menengah, dan yang dihadirkan Frans tetap merawat akal budi kita,” ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR itu juga mengungkapkan, menulis dan membaca puisi itu penting. Sangat penting. Karena puisi merupakan salah satu “alat” untuk menyuling emosi atau rasa, amarah, kritik, benci, cinta yang hendak meledak. Dengan kata lain, puisi bisa menyuling emosi.
“Ketika emosi bisa disuling, maka akan mengalir dengan diksi-diksi yang terkendali bahkan diksi yang membakar semangat berjuang, perlawanan yang lebih membangun. Hal ini juga tercermin dalam buku Monolog Hujan karya Frans Ekodhanto. Menggalakkan hari membaca itu penting, tapi tidak hanya dengan membuat aturan dan peraturan perundang-undangan atau kebijakan semata,” pungkas Willy.
Peliput: pedomanrakyat.com