Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Sastra bisa Jadi Ruang Merawat Akal Sehat dan Kewarasan

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengungkapkan, dirinya seperti bertamasya ke masa lalu saat mendapat undangan untuk menjadi pembahas peluncuran buku puisi Monolog Hujan karya Frans Ekodhanto Purba di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu (13/7).

“John F Kennedy Presiden Amerika Serikat pernah berkata, “jika politik itu kotor, maka puisilah yang membenahinya!” Bung Frans dalam karya-karyanya menghadirkan semangat perlawanan terhadap relasi kepublikan kota yang sudah tidak manusiawi, serta menghadirkan puisi dengan pendekatan sosiohistoris tentang Jakarta. Luar biasa Bung. Selamat!,” ungkap Willy yang dituliskan di akun facebooknya.

Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI bidang Politik itu juga menegaskan, puisi-puisi memang harus hadir ketika politik kita hanya diisi oleh intrik dan kekuasaan. Ia mencontohkan salah satu puisi Frans yang berjudul “Jakarta dalam Nasi Kotak”, yang merepresentasikan bagaimana demokrasi dimaknai bukan sebagai ekspresi terhadap penindasan.

“Dalam puisi tersebut, Frans berusaha menyampaikan bahwa demokrasi saat ini dimaknai bukan sebagai ekspresi terhadap penindasan, melainkan karena faktor siapa yang bayar,” tegas Willy.

Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur XI yang akan kembali duduk di kursi Senayan periode 2024-2029 itu mengemukakan, sastra dapat menjadi ruang untuk tetap merawat akal sehat dan kewarasan masyarakat di tengah demokrasi di Indonesia yang menuntut keberpihakan.

“Kalau kita mau melawan bungkus (kekuasaan) yang besar, yang paling penting bagaimana akal budi dan akal sehat kita, menjaga rasionalitas dan keberpihakan kita. Frans mengajak kita ke dalam ruang yang sosio-historis, sebagai manusia yang mengalami derita kelas menengah, dan yang dihadirkan Frans tetap merawat akal budi kita,” ujarnya.

Anggota Komisi XI DPR itu juga mengungkapkan, menulis dan membaca puisi itu penting. Sangat penting. Karena puisi merupakan salah satu “alat” untuk menyuling emosi atau rasa, amarah, kritik, benci, cinta yang hendak meledak. Dengan kata lain, puisi bisa menyuling emosi.

“Ketika emosi bisa disuling, maka akan mengalir dengan diksi-diksi yang terkendali bahkan diksi yang membakar semangat berjuang, perlawanan yang lebih membangun. Hal ini juga tercermin dalam buku Monolog Hujan karya Frans Ekodhanto. Menggalakkan hari membaca itu penting, tapi tidak hanya dengan membuat aturan dan peraturan perundang-undangan atau kebijakan semata,” pungkas Willy.

Peliput: pedomanrakyat.com

Tinggalkan Balasan