Sekian Lama Terkatung, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Segera Disahkan
Perlindungan bagi pekerja rumah tangga (PRT) menjadi suatu kebutuhan yang mendesak, mengingat wilayah kerjanya yang bersifat domestik dan privat, sehingga rentan akan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.
Data dari Survei International Labour Organization (ILO) dan Universitas Indonesia pada 2015, mencatat setidaknya terdapat 4,2 juta jiwa PRT berasal dari Indonesia. Secara kuantitas ini tergolong yang tertinggi di dunia jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia, yakni India 3,8 juta dan Filipina 2,6 juta.
Untuk itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI berkomitmen untuk segera menyelesaikan aturan yang sudah mangkrak selama 3 periode ini. Sementara pada periode ini, RUU Perlindungan PRT telah masuk dalam RUU Prolegnas Prioritas 2020.
“Kita optimis Insya Allah tahun ini, bahkan RDPU sebelumnya semua fraksi semangat hadir, ini kita jadikan ikhtiar bersama. Kali ini kami kembali ingin mendapat masukan dari Komnas Perempuan dan Jala PRT agar proses penyusunan Undang-Undang ini nantinya tidak pukul rata,” kata Wakil Ketua Baleg Willy Aditya di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
“Karena ini wilayahnya sangat privat, sehingga kehadiran Undang-Undang ini bisa memberikan kepastian hukum dan melindungi pekerja rumah tangga yang jumlahnya sangat banyak,” tambahnya.
Tidak hanya mengatur tentang pemberian jaminan seperti kesehatan, ketenagakerjaan, dan hak untuk mendapatkan libur, terang Willy, UU ini nantinya akan memberikan hak bagi pekerja untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan.
“Di sini kita akan adakan pendalaman khusus terkait BLK (Balai Latihan Kerja) yang akan membantu proses pendidikan yang titik beratnya kepada pihak pemberi kerja dan pekerja sendiri, fungsi pemerintah belum banyak dilibatkan, ini yang perlu kita dalami,” jelasnya.
Mengenai isu kapitalisasi yang sempat mengemuka, politisi Fraksi Partai NasDem ini tidak khawatir. Menurutnya, kapitalisasi melalui agen penyalur kerja akan lebih mudah diatur jika pihak tersebut terdaftar ke pemerintah sehingga mudah untuk diawasi. “Yang sulit ini relasi yang semi feodalistik, tidak ada kontrak kerja sehingga marak praktik-praktik ekspoitasi pekerja,” ujarnya.
Meski dihadapkan dengan tantangan secara sosiologis, UU ini nantinya juga harus dihadapkan dengan keadaan sosial budaya dimana relasi kerja masih dalam ranah yang feodalistik. Untuk itu, Willy menekankan perlunya pembahasan secara lebih spesifik mengenai relasi kerja antara pemberi kerja dengan PRT itu sendiri.
“Harus diatur supaya tidak ada pelanggaran-pelanggaran, baik pelanggaran ekonomi, pelanggaran hak asasi, dan pelanggaran hukum. Ini harus kita klasifikasi karena kalau berpikir untuk kemudian pukul rata ini bisa menjadi boomerang. Tadi sudah bagus yang dua item seperti abdi dalem dan santri tidak disertakan, tetapi kita harus lebih spesifik lagi,” imbuhnya.
Sumber : indopolitika.com