Silang Pendapat RUU Cipta Kerja
Disahkannya RUU Cipta Kerja oleh DPR RI pada Senin (05/10) lalu melalui sidang paripurna memicu polemik di berbagai kalangan. RUU Cipta kerja dinilai merugikan pihak pekerja seperti buruh, nelayan, dan petani.
Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Riden Hatam Azis mengaku sangat kecewa dengan pengesahan itu. Ia mengatakan DPR terkesan tergesa-gesa dalam mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU. Riden menegaskan bahwa sejak awal kelompok buruh menolak RUU Cipta Kerja.
“Karena dilakukan dengan sangat tergesa-gesa, dilakukan dengan sangat terburu-buru, seakan kejar tayang. Sabtu Minggu mereka membahas, di tempat hotel yang berpindah-pindah,“ ujar Riden saat dihubungi DW Indonesia, Selasa (06/10) malam.
Unjuk rasa untuk menolak RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU ini pun terjadi di sejumlah daerah. Selama tiga hari para buruh melakukan aksi mogok kerja di wilayah masing-masing.
“Kami nanti melakukan aksinya (mogok kerja) di tempat kerja masing-masing, karena kita juga memperhatikan protokol Covid-19,” ungkap Riden.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Willy Aditya membantah bahwa proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR dilakukan secara terburu-buru. Ia mengatakan selama enam bulan terakhir DPR fokus membahas permasalahan yang ada di dalam RUU tersebut.
“RDPU (rapat dengar pendapat umum) itu dilakukan 14 April. Kami melakukan serap aspirasi sebulan lebih untuk RDPU. Panja (panitia kerja) mulai membahas DIM (daftar inventarisasi masalah) tanggal 20 Mei. Jadi apa yang buru-buru? Biar kita tidak terjebak begini,“ tegas Willy.
Mencemati dengan seksama
Willy meyakini bahwa RUU Cipta Kerja akan memberikan dampak positif kepada angkatan kerja di masa mendatang.
“Wajar kemudian mereka kecewa karena ada beberapa poin yang kemudian dikurangi. Situasi saat ini banyak PHK, banyak pengangguran, angkatan kerja kita bertambah dengan bonus demografi yang besar. Kita membutuhkan investasi untuk padat karya bukan padat modal,“ jelasnya.
Willy pun mengimbau masyarakat untuk membaca dan mencermati dengan seksama isi dari RUU Cipta Kerja yang disahkan. Ia berpendapat bahwa polemik yang beredar akhir-akhir ini dikarenakan adanya kesalahpahaman.
“Ini kita demo tidak tahu mana yang kemudian berubah, karena enggak baca, karena masalah sosmed saja. Kalau mau baca dulu sengan seksama, cermati mana-mana poin yang berubah,“ ujar politisi Partai Nasdem ini.
Serukan mosi tidak percaya
Sekretaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) Susan Herawati, menilai RUU Cipta Kerja merugikan nelayan skala kecil karena kebijakan tersebut tidak memberikan indikator khusus terhadap definisi nelayan skala kecil.
“Artinya, kita akan berhadapan langsung dengan investasi skala besar, dengan disamakannya posisi nelayan kecil dengan nelayan besar, maka kewajiban perlindungan yang harus diberikan oleh negara kepada nelayan menjadi hilang,” ujar Susan dalam diskusi daring, Senin (05/10).
Sementara itu, kepada DW indonesia, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati, berpendapat bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU adalah cermin kemunduran demokrasi. Nur mengatakan bahwa pengesahaan RUU Cipta Kerja merupakan “puncak pengkhianatan negara terhadap hak buruh, petani, masyarakat adat, perempuan, dan lingkungan hidup serta generasi mendatang.“
Pihaknya pun menyerukan mosi tidak percaya kepada DPR dan pemerintah.
“Satu-satunya cara menarik kembali mosi tidak percaya yang kami nyatakan ini hanya dengan cara negara secara sukarela membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja,” terang Nur dalam pernyataan tertulisnya.
Berharap dibatalkan
Sekjen KSPI Riden Hatam Azis berharap agar pengesahan RUU Cipta Kerja ini pun dapat dibatalkan.
“Kepada presiden Joko Widodo untuk menerbitkan semacam Perppu yang menyatakan bahwa Undang-Undang Omnibus Law ini dinyatakan belum berlaku. Itu pilihan yang paling moderat,“ tutur Riden.
Dengan pro-kontra yang ada, penyelesaian secara hukum, seperti melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), juga dapat menjadi solusi.
“Itu hak warga negara, tidak bisa kita larang. Jadi biar kemudian kita sama-sama memiliki posisi yang objektif,” ujar Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya.
“Sabar dulu, ini masih kan dalam tahap penomoran. Kalau sudah dinomorkan baru kemudian keluar untuk yang menjadi resmi. Jadi teman-teman tunggu dulu. Kalau nanti mau judicial review silakan, tapi keluar dulu barangnya, biar tidak salah,” pungkas Willy.
Luruskan isu RUU Cipta Kerja yang beredar
Dalam konferensi pers di kantornya Rabu (07/10) sore, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Airlangga Hartarto, mencoba meluruskan isu RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat, salah satunya tentang ketenagakerjaan. Ia menegaskan bahwa upah minimum tidak akan dihapuskan.
“Tetap mepertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dan upah yang diterima itu tidak akan turun,“ ujar Airlangga.
Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar mengatakan, para tenaga kerja dipastikan akan tetap medapatkan pesangon dan tambahan jaminan kehilangan pekerjaan. Nantinya, pemerintah juga akan memberikan pelayanan peningkatan kompetensi dan akses pekerjaan baru bagi mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
lebih lanjut, ia juga menegaskan bahwa RUU Cipta Kerja akan mengatur perusahaan untuk tetap memberikan hak cuti dan waktu ibadah kepada para pekerja. “Juga terkait cuti-cuti, baik itu melahirkan, menyusui, dan haid tetap sesuai dengan undang-undang, tidak dihapus.“
Mengamini pernyataan Airlangga, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan bahwa banyak terjadi distorsi informasi soal isu ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja di masyarakat.
“Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja atau buruh dalam mendukung ekosistem investasi,“ tutur Ida di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (07/10).
Turut hadir dalam konferensi pers ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri ATR Sofyan Djalil, Menteri KKP Edhy Prabowo, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Sumber : tempo.co