Warisan Amak Inong
Bajalan batolan, bakato baiyo, baiak runding jo mufakat.Turuik panggaja urang tuo, supayo badan nak salamaik.
Minangkabau adalah salah satu suku di Nusantara dengan garis matrilineal dalam adat masyarakatnya. Selain suku Minang, suku lain yang menggunakan garis matrilineal dalam mengatur alur garis keturunan misalnya suku Enggano di daerah Bengkulu, suku Petalangan di Riau, Suku Aneuk Jamee di pesisr barat Aceh, dan suku Sakai di pedalaman Riau.
Perempuan dalam tradisi Minangkabau memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Merekalah penjaga utama dari keberlangsungan adat dan agama sampai posisi pewaris tunggal harta pusaka. Dalam keluarga, mereka hadir dalam ekspresi Bundo Kanduang yang bertanggung jawab penuh untuk membesarkan keturunan mereka sampai menjadi orang.
Di ranah Minang, adalah hal yang jamak saat perempuan memiliki otoritas yang mutlak dalam rumah gadang. Tidak hanya urusan mendidik anak, tetapi juga mengelola sawah ladang, menjaga hewan ternak, bahkan berjaja di pasar pun mereka kuasai. Itulah sebabnya laki-laki Minang tak ubahnya sebagai “abu di ateh tungku”, yang setiap saat bisa dihembus angin untuk pergi. Karena itulah perempuan minang dianggap representasi manusia yang mandiri dalam membangun kebudayaan.
Amak Inong adalah ibu dari mamaku. Tak ada satu pun cucunya yang memanggil nenek padanya. Semua sama seperti anak-anaknya memanggilnya dengan panggilan akrab “Amak”.
Amak adalah salah satu dari potret dari sekian banyak perempuan Minang. Beliau adalah tiang yang menyangga keluarga kami terus bisa tetap tegak. Tak hanya itu, Amak Inong juga menjadi benang merah dalam sejarah silsilah keluarga besar. Amaklah tempat segala sesuatu bermuara.
Amak Inong baru saja meninggalkan kami semua. Beliau berumur lebih dari 90 tahun di usia meninggalnya. Di KTP memang tercantum beliau lahir tahun 1933, tapi itu hanya formalitas belaka. Karena menurut Mak Haji Nursal, paman kami yang sudah berumur 80 lebih, kala beliau kecil saja dia sudah digendong-gendong oleh Uchu (panggilan Mak Haji kepada Amak yang artinya “si bungsu”).
Amak Inong, sudah pergi meninggalkan kami semua: anak, cucu, dan cicit yang mencintainya dengan penuh kasih sayang. Amak Inong dikebumikan di samping kuburan Abak, di belakang rumah seperti permintaan beliau.
Esok harinya, setelah Amak Inong dikubur, anak-anaknya berkumpul untuk memperbincangkan warisan. Sebagai cucu, aku tentu tidak berhak turut campur sebenarnya, tapi hati kecilku berkata lain. Di ranah Minang, konflik agraria menempati posisi paling puncak di Indonesia. Tak sedikit suku dan keluarga bertikai karena perkara warisan. Baik warisan suku ataupun harta pencarian keluarga. Sebagai pelanjut keluarga aku merasa ada beban moral untuk menjaga keluarga besar Amak Inong tetap berdiri tegak tanpa berserak.
Aku tumbuh besar bersama Amak Inong. Mungkin dari sekian cucunya, aku adalah cucu yang sempat menetek langsung dari air susunya karena aku sepantaran anak Amak Inong yang paling bungsu. Jadi perasaanku lebih dekat sebagai anak ketimbang sebagai cucunya. Karena itulah aku sering dianggap sebagai cucu kesayangannya.
Sebagai perempuan hebat, aku ingin mengenang dan membincangkan warisan yang menurut saya paling berharga dari Amak Inong. Bukan warisan berupa harta pusaka tapi tradisi mendidik anak dalam adat dan agama yang menjadi orisinilitas para perempuan Minang.
Yang selalu aku ingat adalah lantunan ayat-ayat suci Al Quran yang selalu dibaca Amak di tengah rumah sebelum azan subuh datang. Amak Inong mengaji sembari menjarang air dan masak sarapan dan jajanan yang akan dijaja oleh mamak-mamakku. Setelah selesai mengaji, Amak lalu membangunkan kami semua untuk salat subuh. Sebagian akan diajak olehnya untuk berjamaah di masjid. Bahkan sampai aku merantau, setiap kali menelepon beliau dulu, yang pertama kali ditanyakan adalah, sumbayang ijan tingga ndak nak, itu nan pokok dek awak.
Amak Inong tak ubahnya adalah jembatan dalam silsilah keluarga. Tak banyak orang ingat bahwa kewajiban muslim satu atas muslim lainnya adalah menjaga silaturahmi. Sedari kecil Amak selalu mengajakku untuk membersihan pusara leluhur kami, di Kuburan Belanda depan kantor polisi di Solok. Padahal Amak Inong adalah anak bungsu dari empat orang bersaudara, Mak Tuo (paling tua), Mak Itam, dan Mak Uniang.
Dalam hal merawat tradisi dan adat dalam membersihkan pusara leluhur, bagi Amak Inong adalah perkara yang penting. Padahal waktu itu semua kakaknya masih hidup. Tetapi Amak Inonglah yang mengerjakan tradisi tersebut dan mengajak kami para anak dan cucunya. Amak bercerita tentang kuburan siapa saja yang kami bersihkan. Amak bilang kalau kita tidak rutin ke sini setiap sebelum Ramadan datang, kuburan para leluhur kami akan datar oleh tanah.
Dari tradisi bersih pusara itulah aku jadi mengerti tentang silsilah keluarga besar kami. Nenek dari Amak Inong adalah seorang yang bernama Sarinam, orang Jawa asli yang turun dari Sawahlunto dan kawin dengan seorang Sidi dari Pariaman, lalu hidup di kota Solok. Ternyata keluarga kami bukanlah orang lantak (asli) Solok, sehingga rumah gadang yang kami punya bukan rumah gadang yang bergonjong seperti layaknya rumah gadang adat Minang. Rumah gadang kami adalah rumah gadang yang lebih mirip dengan rumah Belanda.
Tak hanya sampai di sana, Amak Inong juga mengajarkan kepada kami untuk selalu beranjang sana. Melekat betul dalam alam pikirku waktu itu saat masih duduk di taman kanak-kanak ketika Amak secara rutin mengajakku menjenguk Anduang yang masih hidup. Anduang tinggal bersama Mak Tuo yang tinggal di Ayia Mati.
Tak hanya pada yang tua, silaturahmi juga Amak lakukan pada sesama saudara lainnya, baik yang dekat maupun yang jauh. Ke Mudiak Aia di Sawahlunto tempat saudara Abak, ke Sumani tempat sepupunya, ke Mak Itam saudara laki-lakinya di Pitalah, bahkan ke Pekanbaru tempat saudara Abak.
Amak Inong mewariskan banyak hal tentang pentingnya hidup secara praksis, tanpa banyak memverbalkannya. Amak cendrung lebih memilih diam bila dibanding kebanyakan perempuan Minang yang ekspresif dalam bertutur. Dan satu hal yang selalu aku simak, Amak Inong tidak pernah mempergunjingkan orang lain dalam berkomunikasi.
Dalam perkara bertahan hidup, Amak adalah maha guru yang mendidik anak dan cucunya untuk menjadi manusia yang mandiri. Amak mengajarkan mamak-mamakku berjaja pisang goreng di pagi hari sebelum sekolah. Aku sendiri diajar Amak berjaja karupuak leak saat bulan Ramadan di halaman Masjid Nurul Yaqin di Kampung Jawa. Amak mendidik kami untuk menjadi anak-anak yang memiliki peran dan tugas masing-masing untuk bertanggung jawab terhadap hidup. Amak Inong mempertotonkan pada kami bahwa beliau tak pernah mengeluh untuk menghidupi sebelas anaknya. Amak sadar betul tidak cukup hanya mengandalkan gaji seorang pensiunan polisi atau satpam BRI untuk membesarkan keturunannya.
Perihal keuletan dalam keluarga ini pulalah yang kutangkap dari hampir semua anak perempuan Amak Inong, mulai dari Mami anak tertua, lalu Mamaku, almarhumah Angah, almarhumah Tante Dal, Tante Ri, Tante Nel, One dan Uchu Tamoi, mereka adalah perempuan-perempuan yang mandiri dalam membesarkan anak-anaknya. Sebagian besar mereka memiliki keahlian menjahit baju dan membuat kue untuk asap dapur keluarga. Mereka beruntung memiliki Amak yang mendidik mereka bagaimana seorang bundo kanduang hadir dalam keluarga. Tak pernah kulihat anak-anak perempuan Amak Inong bergantung pada suami mereka soal urusan hidup.
Jatuh air mata ini Mak, membaca ulang warisanmu yang begitu luhur pada kami. Warisan yang bukan sepetak tanah atau benda-benda lainnya. Inilah sejatinya warisanmu, karena budi dan ilmu tidak akan pernah lekang diterpa panas dan lapuk dimakan hujan.
Mak, aku tulis ini untuk bisa dibaca ulang oleh anak, cucu, cicit dan semua yang bertali dengan kita. Semoga kami, anak, cucu dan cicitmu bisa menjadi orang seperti dalam doamu untuk menjadi manusia yang terus menjaga warisan agungmu.
Damailah di alam sana. Tunggulah doa-doa kami untukmu, Mak..
Ampang Kualo, 6 Oktober 2018