Willy Aditya:Saling Sindir Di Politik Wajar Namun Tidak Patut
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya buka suara soal pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto yang menyebut ada partai politik dengan elektoral rendah yang berencana mengusung bakal calon presiden (bacapres) dari partai lain.
Willy menyebut, fenomena saling sindir di dunia politik memang wajar. Namun tidak sepatutnya dilakukan, karena menurut dia, lebih baik antar parpol harus saling menjajaki.
Terlebih belakangan ini, banyak parpol yang mulai masif melakukan komunikasi dengan parpol lainnya.
“Kalo disindir-sindir sudah biasa. Tidak masalah juga. Toh, itu hak mereka. Tapi daripada nyindir ya mending saling menjajaki, siapa tahu cocok. Bisa saja kan?” kata Willy saat dimintai tanggapannya oleh Tribunnews.com, Senin (18/7/2022).
Seperti diketahui, NasDem merupakan salah satu partai yang sudah mengumumkan tiga nama bakal calon presiden.
Berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) NasDem, ketiga nama itu adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah sekaligus kader PDIP Ganjar Pranowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Willy menyatakan, ketiga nama itu muncul berdasarkan aspirasi atau saran dari pada pengurus atau kader DPW NasDem di 34 Provinsi.
“Lagi pula bacapres dari NasDem itu aspirasi dari bawah. Para calon yg dinilai punya potensi,” ucap dia.
Dengan begitu kata Willy, keseluruhan bacapres itu merupakan pilihan alternatif dari NasDem untuk mengusung Capres.
Tak hanya itu, bacapres yang disebutkan dalam Rakernas itu juga merupakan ‘modal’ bagi NasDem untuk melakukan penjajakan dengan partai politik lain.
“Kalau tidak cocok dengan calon A, silakan pilih calon B. Kalau tidak cocok dengan keduanya, bisa pilih C. Ibarat kata, NasDem ini hanya memberikan rambu-rambu atau alternatif pilihan,” tukas Willy.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto meminta agar pengurus dan kader partainya di seluruh Indonesia, termasuk di Kalimantang Tengah, untuk tak terpengaruh mengenai capres-cawapres. Sebab hal itu akan diputuskan oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Menurut Hasto, Megawati mencari seorang sosok pemimpin yang kuat secara ideologis, yang paling tidak pernah berkeliling ke seluruh Indonesia dan benar-benar mengenal rakyatnya.
Dengan berkeliling Indonesia, ia memahami kondisi Indonesia dengan keragaman budaya, sumber daya alam, hingga kondisi geografisnya yang dikelilingi lautan. Juga mencari sosok pemimpin yang bisa menyelesaikan masasalah rakyat dan membangun masa depan.
Hal itu disampaikan Hasto saat Rapat Tiga Pilar Partai PDIP Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dalam rangka menindaklanjuti hasil Rakernas II, Minggu (17/7/2022).
“Kader PDIP harus taat asas. Ibu Mega mempertimbangkan yang terbaik bagi bangsa dan negara, mencari pemimpin yang betul-betul mengakar pada rakyat, dipimpin oleh ideologi Pancasila sehingga bisa menentukan arah masa depan. Itu yang dicari Bu Mega,” kata Hasto.
Hasto punmenyinggung ada partai lain yang elektabilitasnya turun, tapi justru malah memunculkan kader partai lain sebagai capres.
Meski begitu, Hasto tak merinci partai mana yang dimaksud.
“Karena itulah, kita lebih memilih bergerak ke bawah daripada berwacana. Kita tidak perlu ikut menanggapi apa yang dilakukan pihak lain. Ada satu partai yang elektoralnya turun, kemudian mencoba memunculkan kader partai lain, bahkan mencalonkan sosok yang seharusnya netral dalam politik. Hal-hal seperti ini biarkan rakyat yang menjadi hakim politik,” tegas Hasto.
Hasto juga meminta pengurus dan kader partai se-Indonesia belajar dari semangat perjuangan Proklamator RI Bung Karno dan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Hasto menjelaskan, PDIP dulu kerap partai yang selalu dikerdilkan, partai yang hanya dijadikan asesoris demokrasi. Tapi Megawati belajar dari Bung Karno, bahwa semuanya harus berangkat dari sebuah ide.
“Ide gagasan ini akan menciptakan suatu spirit juang. Spirit juang ini akan menciptakan tekad dan tindakan. Menciptakan tindakan nasional.
Ini yang kita pelajari dari Bung Karno dan Bu Mega,” kata Hasto.
“Bu Mega juga berangkat dari ide. Jadi ini ide yang sepertinya tak mungkin dijalankan saat itu. Tetapi dengan bergerilya melantik korcam-korcam, Ibu Mega bagaikan mendirikan tower-tower telkom yang memancarkan signal dan terjadi koneksitas antara pemimpin dan rakyat. Dimana tower-tower itu adalah pengurus cabang PAC sebagai koordinator kecamatan,” sambung Hasto.
Peliput: Tribunnews.com