Kado Sang Kapten Untuk Republik
Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-65 kali pada 2010 ini ada yang sedikit berbeda. Setiap tamu undangan yang hadir di Istana Merdeka, mendapat sebuah kado ulang tahun dari seorang Kapten Tentara Nasional Indonesia. Kadonya sebuah buku berjudul “Sekarang Kita Makin Percaya Diri.”
Biasa saja? Bukunya boleh disebut biasa, namun penulis bukunya luar biasa. Kapten itu adalah putra kandung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono. Peristiwa itu jadi luar biasa, karena disebar di sebuah acara resmi tahunan republik, bukan acara keluarga Yudhoyono.
Mengapa luar biasanya?
Virtue Tentara dalam Republik
Virtue adalah istilah yang jarang kita dengar. Jangankan oleh kaum awam, mereka yang berpendidikan saja belum tentu mengenalnya. Secara sederhana, virtue (kebajikan praksis) adalah wujud kebajikan yang menempatkan kepentingan publik atau kemaslahatan umum di atas kepentingan yang lain. Filsuf Yunani, Aristoteles, negara adalah suatu gabungan dari bagian-bagian. Dan bagian-bagian itu menurut urutan besarnya adalah kampung, famili (keluarga), dan individu. Karena manusia adalah makhluk politik (zoon politicon), artinya makhluk masyarakat atau makhluk negara, maka hanya mencapai kesempurnaan dalam masyarakat atau negara.
Virtue (atau virtu dalam bahasa Italia) oleh Nicollo Machiavelli diarahkan pada dua golongan. Pertama adalah virtue untuk para penguasa (The Prince). Dan kedua adalah virtue yang diarahkan kepada warga. Machiavelli tampaknya menempatkan pertimbangan moral pada kehidupan pribadi individu. Sementara soal yang berkaitan dengan pemerintahan dan negara berada di atas basis yang sepenuhnya amoral dan pragmatis. Dalam hal ini, ada standar ganda dalam tindakan seorang penguasa. Sebagai pribadi, perilakunya harus sejalan dengan nilai republikanisme (atau keyakinan agama di kalangan tertentu) dan moralnya. Namun, ketika ia bertindak dalam kapasitasnya sebagai penguasa (pejabat publik), tindakannya hanya diatur oleh konsekuensi praktis tanpa terikat pada pertimbangan moral. Dikotomi itu terutama terlihat pada saat krisis nasional terjadi.
Sementara virtue warga negara, dipahami Machiavelli, dalam kerangka kelanjutan hidup dari republik. Ia mengakui bahwa jaminan utama pendirian sebuah republik adalah aktivitas politik dan militer dari seluruh warga yang bertanggungjawab. Ia meletakkan dua jenis virtue sebagai inti ideal kewarganegaraan. Hal ini memunculkan tafsir adanya kecenderungan fundamentalisme dalam ajaran kewarganegaraan Machiavelli.
Dalam pandangan Aristoteles, sosok tentara adalah wujud dari tugas tertentu yang membutuhkan orang yang memiliki temperamen dan sifat yang tepat. Setiap individu bebas memilih, menjadi anggota angkatan bersenjata negaranya atau tidak. Budaya profesional dalam tentara terletak pada tujuan organisasi (negara) dan tugas-tugasnya yang harus memenuhi sistem politik. Kebertahanan angkatan perang terletak pada kemampuan dalam menempatkan perhatian negara dan masyarakat sipil di bawah keadaan luar biasa yang terjadi pada konflik angkatan bersenjata.
Karakter unik yang dimiliki antara kekuatan bersenjata dan masyarakat telah banyak dibahas dalam berbagai cara dan ulasan. Jurang pemisah itu telah dilukiskan sebagai perbedaan antara nilai konvensional tentara dengan nilai yang tidak konvensional yang hadir dalam masyarakat modern. Saat civilian logic bersifat utilitarian dan egois, military ethos bersifat mengutamakan kepentingan orang lain, dan dilakukan demi kepentingan kolektif, pengorbanan fisik. Pada dasarnya, perbedaan yang tidak dapat disatukan antara pemikiran seorang prajurit dan sipil, menghasilkan dilema yang pokok dalam etika.
Di Indonesia, satu sosok tentara dibentuk berdasarkan makna kekesatriaan dan keberanian. Hal ini menjadikan penekanan pada profesionalisme sebagai nilai mutlak dari ketentaraan. Pengamat sipil cenderung untuk meremehkan kehormatan perang atau makna kehormatan seperti yang banyak terjadi di ketentaraan Indonesia pada masa lampau. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Panglima Besar Soedirman saat bertentangan dengan langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda pada peristiwa 3 Juli 1946. Pak Dirman dengan posisinya sebagai Panglima Besar tidak memanfaatkan posisinya yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta (Ruslan Abdulgani).
Virtue Sang Kapten
Dengan perspektif virtue tentara dan konsepsi tentara di Indonesia, jelas pembagian buku “Sekarang Kita Makin Percaya Diri” oleh pihak Istana sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-65 adalah pengingkaran. Cara pandang republikanisme Machiavelli menempatkan pendapat umum lebih berharga dari pendapat seseorang. Sehingga langkah yang akan diambil tentara lebih baik bergantung pada kehendak pendapat umum itu, dengan kata lain, pengabdian di ranah publik mensyaratkan pelepasan kepentingan-kepentingan pribadi dan keluarga.
Keputusan memunculkan Agus Harimurti Yudhoyono di ruang publik adalah suatu bentuk disobedience. Agus mengingkari posisi publik dari Istana dengan memanfaatkannya untuk menyebarkan buku karya pribadi. Pada dimensi tentara, Agus juga menjadi bagian dari fenomena gunung es pembangkangan terhadap sistem komando tentara. Agus tak sendiri, Kolonel Adjie Suradji yang menulis di sebuah harian mengkritik Presiden juga bisa dikategorikan pembangkangan terhadap virtue republikanisme karena Presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Virtue dalam pengertian virtue penguasa, lebih merujuk pada sifat-sifat keberanian, ketegasan, dan kesiapan untuk menghadapi segala kemungkinan. Virtue memang jarang disebutkan. Namun, manakala teraktualisasi dalam suatu keputusan politik, virtue menumbuhkan kekaguman. Dalam kejadian inilah kemudian keputusan untuk membahas apa yang menjadi latar belakang pengambilan keputusan politik, harus di lihat kembali nilai dasar tentara dan sipil dalam sebuah masyarakat atau negara.
Menurut Hegel, inti dari realitas adalah pemikiran (reason). Namun dalam kenyataannya, seperti yang dipaparkan Fichte dalam Ethical Idealism, realitas tak lebih dari materi untuk mengisi kewajiban (obligation) kita. Sebaliknya, tugas (duty), adalah cara bagaimana pemikiran (reason) muncul dalam sejarah, bahkan menentukan sejarah kenyataan hidup kita, manusia. Selanjutnya, dalam memenuhi tugasnya, manusia hidup dalam harmonisasi normatif sesuai dengan realitas (reality) karena dalam kondisi yang demikian, manusia dapat berperan dalam kerangka pemikiran (methexis). Dalam hal ini, Fichte menggolongkan tindakan apa yang dilakukan seseorang untuk mencapai keabadian.
Dalam segi dimensi praktis, Immanuel Kant menjelaskan bahwa diperlukan usaha yang serius untuk menyadari landasan keputusan politik. Karena di lain pihak, manusia sebetulnya tidak memiliki kemauan (will) yang baik, melainkan hanya keinginan (wish)yang baik. Di mana kekuatan moral menjadi tidak relevan. Sikap moral menuntut tidak hanya tujuan yang baik, tetapi juga usaha yang serius untuk mewujudkan tujuan baik tersebut. Tak seorang pun diharuskan meraih kesuksesan, karena manusia bukanlah penguasa takdir.
Meski demikian, manusia harus melakukan apa saja yang memungkinkannya untuk meraih sukses. Hukum ini berlaku baik pada moral dalam arti sempit (micro-moral), maupun pada tingkat pengambilan dan pemberlakuan keputusan (macro-moral). Gambaran intrinsik dari argumen penulis terletak pada penggabungan “momen” tersebut ke dalam sebuah sistem yang ringkas dari aspek dialektika moral dalam pengambilan keputusan militer.
Republikanisme TNI
Sejak awal kelahirannya, TNI tidak pernah mempersoalkan Presiden dari kalangan sipil atau militer. Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan sipil. Hal itu dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden Soekarno. Virtue kekesatriaan tersebut juga menjadi kesadaran pimpinan TNI sekarang yang menentukan kebijakan bahwa TNI juga akan bersikap netral terhadap partai-partai politik yang ada.
Sikap Jenderal Soedirman ini tak main-main karena sebenarnya pernah bertentangan dengan langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda pada peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa itu dipandang sebagai upaya coup d’ ètat terhadap Soekarno-Hatta oleh pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Namun Jenderal Soedirman tidak memanfaatkan posisinya sebagai panglima besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.
Jenderal Soedirman bersikap netral untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Fakta sejarah membuktikan bahwa Jenderal Soedirman tetap menjaga manunggalnya TNI dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.
Sekarang, dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia profesional yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tak hanya atas dasar “semangat patriotisme” belaka, tetapi juga atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan kependidikan. Tanggung-jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan demikian dapat ditafsirkan sebagai tanggung-jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab itu ditafsirkan secara politis-ideologis. Tapi kini perlu dimaknai sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu TNI diidentifikasi dan dikenal sebagai tentara rakyat, kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI adalah tentara profesional yang mengabdi kepada rakyat).
Biasanya orang menganggap bahwa tentara terdiri dari “sekelompok atau beberapa kelompok orang bersenjata yang terlatih, digaji, dan diperintah oleh Negara, dengan organisasi dan tugas yang tetap”. Banyak orang juga beranggapan bahwa pemerintah adalah pihak yang sah mengontrol semua cara-cara kekerasan (termasuk polisi, keamanan, patroli perbatasan dan kekuatan-kekuatan yang bersifat kemiliteran).
Tetapi, tidak semua militer berada dalam formasi militer dengan struktur modern yang setia kepada negara dan rantai komando. Ada suatu kelompok dengan ikatan yang longgar – sering dipimpin seorang pribadi kharismatik – di mana seseorang dapat bergabung atau ke luar secara spontan. Sehingga, loyalitas atau apapun namanya tidak sepenuhnya ditujukan kepada negara. Namun lebih kepada ikatan-ikatan yang militer sendiri memahaminya sebagai bagian dari nilai yang mereka anggap sebagai rawatan atas ideologi dan keutamaan yang mereka miliki.
Negara yang sekaligus adalah wilayah bagi otoritas sipil, sebenarnya tidak cukup jika hanya melihat supremasi sipil sebagai minimalisasi intervensi militer dalam kehidupan politik sipil. Otoritas sipil harus mempunyai keunggulan di semua bidang politik, termasuk perumusan dan implementasi dari kebijakan pertahanan nasional. Karena kebijakan adalah jalan yang relevan dan mapan. Menjembatani antara produsen ideologi, aktivitas negara, baik hasil dan akibatnya.
Demokrasi harus menempatkan tentara di bawah otoritas sipil sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi militer untuk menjalankan pertimbangan profesional dan kegiatan yang menjadi bidang mereka dalam batas-batas parameter kebijakan yang ditetapkan oleh sipil. Lebih jauh lagi, jika politisi dan calon presiden sipil ingin efektif dalam menguasai dan memelihara pengakuan militer atas supremasi sipil, maka hal itu juga akan melibatkan partisipasi substansial dari militer dalam anggaran, strategi dan keputusan kebijakan yang dilakukan sipil. Hal itu yang mendasari pelajaran kedua dan mungkin pelajaran yang paling penting dan utama bagi demokrasi, yaitu bahwa ekspansi peran militer dan kudeta militer merupakan proses yang dikendalikan secara politik; dengan cara yang sama, upaya meraih supremasi sipil juga harus dilakukan secara politik.
Dalam konteks republiklah, demokrasi harus dipahami sebagai sebuah usaha untuk memisahkan pemerintah dan masyarakat dalam peran dan fungsinya yang memberikan pembatasan-pembatasan fungsi yang ditetapkan oleh hukum pada lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Sehingga demokrasi mempunyai dua dimensi penting. Pertama, demokrasi merupakan prosedur atau fasilitas bagi terselenggaranya proses keterlibatan orang dalam pemerintahan. Di sini kadar demokrasi ditentukan oleh keterbukaan bagi partisipasi yang makin luas dan rasionalitas untuk menyerap partisipasi yang ada. Partisipasi yang dimaksud paling tidak mengandung dua hal: otonomi dan kebebasan yang membuka keterlibatan semua orang, serta otentisitas dari keterlibatan itu sendiri.
Kedua, karena fasilitas itu selalu terbuka dan meminta keikutsertaan semua orang secara langsung, maka di saat yang sama demokrasi selalu juga berarti ketidakmungkinan, karena tidak akan pernah ada supremasi politik yang benar-benar memungkinkan semua orang ikut secara langsung. Dengan demikian, demokrasi yang semakin baik membutuhkan instrumen atau prosedur yang sengaja dibuat dan diarahkan untuk meningkatkan partisipasi dan otentisitas pilihan publik. Benar bahwa demokrasi memang menyediakan prosedur dan fasilitas, tetapi demokrasi tidak pernah menyediakan sistem etis dalam dirinya sendiri.
Di sinilah kemudian politik atau respublika berada pada jalur di mana segala macam orang secara umum akan berada pada kebersamaan. Juga di dalamnya adalah militer. Dapat dikatakan, kondisi demikian berlaku diskursus baik bagi wacana (ucapan), maupun tindakan atau perbuatan. Dengan kata lain, di sinilah kemudian rujukan atas civil societysenantiasa dilakukan oleh aktor-aktor dalam suatu ruang dengan tujuan untuk memperluas batas-batas ruang tersebut vis-a-vis negara.
Dalam konteks Indonesia saat ini, di mana proses transisi ini akan menuju ke suatu keadaan yang lebih demokratis atau tidak, bayang-bayang kegagahan dan ketegasan sosok militer masih menjadi tahayul di tengah pembangunan politik sipil yang berbasis virtue dan etik. Tetapi supaya lebih jelas, apa pun yang menjadi hasilnya justru sangat tergantung pada kuat atau lemahnya lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri.