Juli di Bumi Parahiyangan
Tak ada yang berulang dalam sejarah
Mungkin juga tafsir yang selalu dibaca kurang
Ombak saling kejar-mengejar ke bibir pantai
Sebagian pecah di tengah di sapu arus balik
Begitu pula setiap hendak ingin bersorak
Kenapa kanan belum kunjung menyambut hayunan kiri untuk bertepuk tangan
Juli, dalam hitungan digit awal abad millenium
Dalam pergeseran kerak bumi yang memutar-balikkan raga
Rasaku disergap tsunami hingga luluh lantak rumah gubuk yang kugambar
Juli, ditengah memanasnya bumi dan mencairnya gunung-gunung es di kutub
di sini, di bumi parahyangan aku dibanjiri kenakalan akhil baliq
di antara ketidakpastian musim,
entah sampai kapan panas akan membuat sawah petani kering kerontang
entah kapan hujan akan turun, pertanda musim tanam datang
aku mencoba menyiangi ladang yang sudah penuh ilalang
bertanam umbi untuk bisa dimakan
juli, dimana sakralmu berada
sebagai pertanda nelayan berhenti melaut, petani mulai membajak
dan rasa yang mulai tumbuh bersama pucuk-pucuk jati
juli, datanglah padaku
dinama adrenalin akan pacu berpacu ke aorta menyebut namamu dalam igauan malam
bersiul siul di pematang sawah sambil menghitung berapa warna rama rama itu
dan alam akan menetaskan sejarah baru
dimana aku lahir kembali sebagai pencinta
Parahiyangan, 19 Juli 2007