(Tanggapan) MK Diminta Larang Mantan Napi Korupsi Jadi Calon Kepala Daerah Di Pilkada 2020
Setelah penyelenggara pemilu dan pemerintah berancang-ancang melarang mantan koruptor ikut pilkada lewat proses legislasi, kini giliran lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencoba mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dua LSM, Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), meminta MK menguji konstitusionalitas norma yang membolehkan mantan narapidana maju dalam pemilihan kepala daerah. Pengaturan tersebut tertuang dalam UU No.10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada huruf g disebutkan, calon kepala daerah ‘tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap, atau bagi narapidana yang telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana’.
Dalam petitumnya, ICW dan Perludem meminta MK menafsirkan ulang konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada. Mereka meminta MK mencantumkan jeda lima tahun bagi terpidana, terbuka pernah dipidana, dan bukan pelaku kejahatan berulang.
Tahun lalu, MK pernah menggarap dua permohonan yang meminta mantan terpidana korupsi dilarang maju sebagai calon legislative melalui uji materi UU No. 7/2017 tentang Pemilhan Umum (UU Pemilu). Namun, MK menolak dua permohonan tersebut, dengan pertimbangan, publikasi mantan terpidana dalam UU Pemilu memikili materi serupa dengan UU Pilkada.
Lantas, apa alasan mereka menginginkan adanya jeda lima tahun bagi eks narapidana kasus korupsi? Apakah ketentuan untuk mengumumkan dianggap tidak cukup? Mengingat, gugatan atas ketentuan serupa pernah ditolak, apakah mereka yakin uji materi kali ini dapat dikabulkan? Bagaimana pula pandangan Partai politik mengenai hal ini? Berikut tanya jawabnya.
WILLY ADITYA
Ketua DPP Partai NasDem
Prinsipnya Tidak Boleh Tabrak Undang-Undang
Bagaimana Anda menyikapi rencana ICW dan Perludem ini?
Ini bagian dari kebebasan berekspresi civil society organization (CSO) yang berinisiatif, dan mencoba konsisten dari proses legislative yang masih bersifat moral dan sekarang giliran Pilkada diuji materi.
Ini inisiatif yang bagus. Tapi prisnipnya, kita jangan kemudian bertabrakan dengan undnag-undang. Kalau ini sebuah inisiatif, kami apresiasi bagaimana melahirkan politik yang bersih dan berintegritas.
Apakah NasDem sepakat dengan upaya ICW dan Perludem ini?
Langkah ini persoalan yang domain-nya berbeda. Jika waktu itu teman teman dari CSO (ICW dan Perludem) ini berbicara di ruang DPR untuk Undang-Undang Pilkada, tentu menjadi hal yang berbeda. Kalau uji materi itukan produk dari Partai bersama DPR. Sedangkan ini domain-nya teman-teman CSO. Jadi, ini hanya bagian dari tugas membangun dan memajukan demokrasi saja.
Apakah NasDem bisa menerima permintaan ICW dan Perludem agar eks napi korupsi beristirahat dulu selama lima tahun sebelum kembali terjun ke politik?
Satu hal yang perlu diperhatikan dari permintaan ini, seperti satu UU dulu yang progresif. Kemudian bertujuan agar politik kita bersih dan berintegritas tidak mengusulkan satu ke bawah, satu ke atas, satu ke kiri, dan satu ke kanan.
Maksudnya?
MK menggugurkan itu, MK beranggapan itu hak warga Negara. Kalau berkaa dari itu, apalagi eks napi ini sudah menjalani hukuman, ya dianggap sudah menebus dosa-dosanya sebagai warga Negara. Itu menjadi debatable di ranah hukum.
MK pernah membatalkan uji materi ini. Jadi, teman-teman CSO itu melihatnya jangan parsial.Sebab kita membangun demokrasi ini bersama-sama. Bahkan, NasDem sedang melakukan evaluasi besar-besaran untuk pemilu ke depan.
Konkretnya?
Apakah Pilkada mau dibarengin dengan Pileg DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Pemilihan DPR RI dan Presiden sendiri. Nah, ini yang sedang kami upayakan. Bukan seperti pemadam kebakaran, emosional dan sentimental. Demokrasi itu berpikir bagaimana membangun sebuah kelembagaan. Bukan kemudian seperti menyusun puzzle.
Saran Anda?
Di sinilah dibutuhkan teman-teman CSO harus bersama-sama berdialogBukan hanya perspektif sebelah pihak. Intinya, bersama-samamembangun dialog karena kita ingin meletakkan satu substansi. Sumber masalahnya bukan semata-mata mantan napi korupsi.
Cukupkah eks napi korupsi yang maju Pilkada 2020 mengumumkan dirinya eks napi korupsi di media, seperti eks napi korupsi yang maju di Pileg kemarin?
Bagi NasDem, itu tidak cukuplah. Kami malah mengusulkan temple di TPS. NasDem itu progress. Tapi dalam proses itu, kita tidak bisa berwacana. Harus kita bedakan, Partai Politik itu bukan ranahnya wacana, namu ranahnya legislasi. Dia memiliki otoritas mendorong itu. Tapi kalau kita hanya berbicara wacana jadi hanya bermain di ruang hampa. Hanya melempar isu saja.
Jadi, biarkan kewenangan ini ada di Partai, mau diapakan eks napi korupsi jika maju sebagai calon kepala daerah dan calon legislative. Begitu?
Harusnya teman-teman LSM memberikan jalan dan apresiasi ke Partai selain ke MK. Mari berdialog ke Partai. Datang ke Partai dan datang ke Fraksi Fraksi, bagaimana membangun komitmen bersama.
LSM harus memberikan apresiasi. Memberikan apresiasi ke Partai juga lumrah. Bukan seolah-olah NasDem gila apresiasi. NasDem berkomitmen soal ini. Harusnya ajak NasDem berdialog dan duduk bersama untuk mematangkan demokrasi ini.
Apakah NasDem pernah mengusung Kepala Daerah eks napi korupsi?
Tidak. Sejauh ini, NasDem memiliki record yang bersih. Bagaimana NasDem satu-satunya Partai yang tidak mengusung eks napi korupsi pada Pileg kemarin.
Kemudian. Ketika Bawaslu datang menawarkan fakta integritas. pertama kali juga NasDem yang menyepakati itu. Terlepas dari itu Bawaslu sendiri yang mundur dari proses tersebut.
Saya piker begini, kita harus saling bersinergi memajuka demokrasi. Ada tanggun jawab Partai, CSO dan beberapa lembaga Negara. Tentu, bersinergi ini menjadi hal yang baik. Kita lihat, sejauh mana komitmen mempertahan hasil di MK.
Sumber : Harian Cetak Rakyat Merdeka 13 September 2019 Hal.2