Dialog, Jejak Peradaban Bangsa
Beberapa tahun lalu, satu kejadian yang cukup menghebohkan terjadi di jagat Twitter. Kala itu, ada seorang selebtwit mengunggah sebuah cerita sejarah para pendiri bangsa. Sebuah dialog imajiner antartokoh Soekarno, Soepomo, Yamin, Agoes Salim, dan lainnya, bicara tentang usulan dasar negara. Betapa ringan sejarah perumusan dasar negara diceritakan dalam sebuah dialog tersebut. Sidang dialogis BPUPK dalam proses lahirnya Pancasila dan UUD 1945 tersaji dengan apik di sana.
Dialog dan kebijakan
Apabila disimak secara saksama, lahirnya dasar negara Indonesia memang tidak terlepas dari proses-proses dialogis. Pemikiran para pendiri bangsa tidak lepas dari dinamika pertentangan gagasan yang kemudian mampu didialogkan. Hal ini tidak hanya terjadi di ruang-ruang formal; di ruang yang lain pun, seperti di media massa, para kaum pergerakan sanggup berdialog meski lewat ekspresi perdebatan yang keras. Namun, satu hal yang pasti, semua dilakukan untuk membangun bangsa.
Begitulah sistem demokrasi menyediakan ruang demi terasah dan tajamnya gagasan lewat adanya tindak dialog. Riuh, gaduh, atau juga ketidaknyamanan pada satu momen tertentu mungkin takkan terelakkan. Namun, sudah banyak bukti dari keriuhan dan kegaduhan itu ada substansi yang dapat dilahirkan dan disepakati bersama.
Ini juga yang tengah dilalui dalam proses lahirnya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. RUU ini diniatkan untuk menyederhanakan berbagai peraturan perundangan yang dinilai mempersulit masuknya investasi dan kemudahan berusaha. Harapannya tidak lain ialah terbukanya lapangan kerja bagi rakyat. RUU yang berisi 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal ini akan mengubah sedikitnya 79 undang-undang terdahulu yang berisi 1.203 pasal. Karena itu, RUU Cipta Kerja ini disebut sebagai omnibus law.
Dari keseluruhan pembahasan tersebut, klaster ketenagakerjaan menjadi poin bahasan yang paling riuh. Berbagai kritik dan penolakan disampaikan. Klaster ini bersama Bab Ketentuan Lain-Lain, Pasal 170, juga telah memicu gelombang demonstrasi menuntut pemerintah mencabut gagasan omnibus law Cipta Kerja. Kelompok serikat buruh/pekerja menjadi motor penggeraknya.
Namun, itu tidak masalah. Pemerintah memang niscaya membutuhkan kawan tanding dalam setiap kebijakan yang (akan) dibuatnya. Berbagai kelompok kritik ialah kawan tanding (sparring partner) pemerintah agar kebijakan yang dihasilkannya dapat benar-benar teruji dan akuntabel. Karena itu, Presiden Joko Widodo berkali-kali mengingatkan jajarannya agar membuka keran sosialisasi dan dialog seluas-luasnya dalam pembahasan rumusan RUU Cipta Kerja.
Sebagai sebuah gagasan politik, RUU Cipta Kerja tentu harus siap dengan kegaduhan yang menyertainya. Kritik yang keras sekalipun harus diterima, didengar, dan diolah agar menjadi penajam dan penyempurna. Dengan demikian, ruang dialog antara pemerintah sebagai pemilik gagasan dan kelompok kritikus harus tercipta luas dan mudah diakses.
Proses-proses seperti ini penting untuk dilalui walau mungkin hasilnya bisa jadi tidak sesuai kehendak kita. Namun di situlah letak medan perjuangan politik dalam negara demokrasi. Pembentukan Tim Perumus adalah satu langkah lanjutan yang mendapat respon positif dari DPR maupun kelompok serikat pekerja/buruh.
Pertarungan Gagasan
Saat kali pertama mendengar niatan Presiden Joko Widodo untuk membentuk omnibus law sebagai cara menciptakan lapangan kerja, terpikir banyaknya birokratisme yang berbelit dan memakan waktu itu, akan terpotong. Dunia usaha dan investasi akan antusias mendapat ruang yang didambakannya; sedangkan birokrasi yang bertele-tele akan melihat senja kalanya di saat undang-undang omnibus law itu terwujud.
Karena itulah, bersama teman-teman separtai, kami memberi perhatian besar terhadap poin kemudahan investasi dan berusaha dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Kami meyakini, kebijakan ini harus dilahirkan untuk sebesar-besarnya kemanfaatan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Sedari awal, sikap pribadi dan juga sikap resmi partai adalah mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari RUU Cipta Kerja. Kami meyakini bahwa pengaturan ketenagakerjaan sebagai output yang dihasilkan RUU tersebut harus dibahas tersendiri. Pekerja sebagai penggerak ekonomi negara, harus diberi porsi yang sama pentingnya dengan kemudahan berusaha dan investasi.
Membahas perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang sepotong-sepotong di dalam omnibus law akan menjadi tidak tepat. Gagasan itu kami sampaikan di ruang formal persidangan DPR ataupun di setiap kesempatan dialog bersama pemerintah dan publik. Tidak semua fraksi mendukung usulan ini. Namun, jika argumentasi terus kami sampaikan dalam ruang-ruang dialog, akan ada perubahan dan kesepahaman yang dihasilkan.
Mengingat kembali proses dialog di dalam tim perumus bersama serikat pekerja/buruh, sebagai ketua tim, saya tegaskan bahwa DPR ialah kawan yang memerlukan input dari serikat pekerja/buruh. DPR bukanlah lawan yang harus dinihilkan. Sebaliknya, DPR justru perlu dijadikan kawan bagi kaum pekerja untuk menyampaikan kepentingannya.
Benar saja, salah satu pimpinan serikat buruh pun langsung menjawab dengan pernyataan bahwa buruh tidak antiinvestasi dan kemudahan berusaha. Baru di menit-menit awal tim perumus sudah melalui titik krusial untuk memperoleh kesepahaman. Baik kalangan buruh/pekerja maupun DPR sama-sama menginginkan terciptanya lapangan kerja agar kesempatan kerja bagi rakyat makin terbuka luas. Gagasan kemudahan investasi dan berusaha di dalam RUU Cipta Kerja sebagai cara menciptakan lapangan kerja bisa dipahami bersama. Hal ini pun langsung mementahkan tuduhan bahwa buruh/pekerja antiinvestasi.
Investasi, sebagaimana idiom ‘asing’, telah lama mendapatkan konotasi yang negatif dalam kehidupan sosial-politik kita. Seperti ada semacam narasi yang terbangun bahwa investasi ialah eksploitasi, sedangkan ‘asing’ dikonotasikan sebagai aksi kolonialisme. Padahal, dunia terus berubah dan tak sevulgar dulu yang bisa disederhanakan lewat definisi-definisi ideologis semata. Dalam perjalanannya, ada dialektika yang terjadi; ada pula ruang-ruang kolaborasi dari perkembangan dunia saat ini. Pada kenyataannya, kalangan pekerja sekalipun mampu memahami dan menerimanya.
Selanjutnya, tinggal bagaimana melindungi dan menyejahterakan buruh/pekerja yang perlu disusun detailnya. Sebagai ketua tim, usulan agar serikat buruh terlibat langsung dan mengawasi pengisian daftar inventaris masalah (DIM) pun bisa diterima bersama. Serikat buruh ingin agar UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 tetap berlaku karena dinilai lebih baik dari pengaturan di RUU Cipta Kerja. Hal ini menjadi bahasan dalam forum yang konstruktif dan dialogis itu. Tim perumus pun sepaham untuk memasukkan usulan tersebut dan akan diajukan fraksi-fraksi sebagai pembahasan di DPR.
Akhirnya, pertarungan gagasan niscaya membutuhkan ruang dialog. Prosesnya harus kita lalui meski onak dan duri akan menyertai. Soal hasil, di situlah medan pertarungannya. Momen dua hari Tim Perumus Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja kemarin telah menjadi pelajaran berharga dan laku utama (best practice) bagi anak bangsa ini. Berdialoglah Bung karena inilah jejak peradaban bangsa semenjak dulu dan jalan kita memajukan demokrasi!
Willy Aditya
Wakil Ketua Panja RUU Cipta Kerja | Fraksi Partai NasDem
Tulisan ini pernah dimuat di mediaindonesia.com 27 Agustus 2020