Antara Efisiensi dan Kualitas Demokrasi
PENYELENGGARAAN pilkada serentak 2020 di tengah pandemi covid-19 telah terwujud. Meskipun banyak catatan, negara–dalam hal ini pemerintah–telah menjalankan mandat mereka untuk memastikan sirkulasi kekuasaan di tingkat daerah berlangsung regular dan sinambung.
Sayangnya, catatan baik ini terancam tidak dapat dilanjutkan karena pemerintah berhasrat untuk menunda pilkada di daerah hasil pemilihan 2017 dan 2018 serentak pada 2024. Setidaknya, ada 101 pemimpin daerah hasil Pilkada 2017 yang akan selesai masa jabatan pada 2022 dan 170 pemimpin daerah hasil Pilkada 2018 yang akan selesai jabatan pada 2023.
UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Pasal 201 ayat 8 memang mengamanatkan pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024. Tentu, pada saat UU tersebut disusun, hal tersebut juga disertai dengan solusi jika terjadi kekosongan jabatan di 271 daerah itu.
Namun, implikasi dari hal itu ternyata tidak sesederhana persoalan teknis pengisian jabatan kosong dengan penjabat sementara. Setidaknya, ada empat persoalan substansial jika pilkada serentak dilaksanakan pada 2024. Ada soal substansial terkait dengan kedalaman bangsa dan negara ini mempertahankan konsolidasi demokrasi yang sedang dibangun.
Dari korban jiwa hingga kualitas demokrasi
Pemilu 2019, yang menyandingkan pileg dan pilpres, menyampaikan kepada kita akan efek samping yang tidak kita pikirkan dan harapkan sebelumnya. Jatuhnya korban jiwa dari anggota KPPS yang mencapai 894 petugas ialah catatan pahit dalam sejarah penyelenggaraan pemilu kita. Selain itu, catatan KPU menyebutkan tidak kurang dari 5.175 petugas mengalami sakit. Angka dari Kementerian Kesehatan bahkan mencapai 11.2239 yang sakit dan korban meninggal 527 jiwa.
Semua itu terjadi karena beban kerja yang menumpuk pada penyelenggara. Bayangkan jika penyelenggaraan ini ditambah dengan pilkada serentak di seluruh wilayah Nusantara. Betapa besar beban yang akan dipikul. Besarnya beban itu tidak hanya akan berimpak kembali terhadap problem fisik dan mental penyelenggara, tetapi juga terhadap kualitas penyelenggaraan. Inilah persoalan pertama jika pilkada serentak dilaksanakan pada 2024.
Persoalan kedua, jika pilkada serentak dijalankan pada 2024, itu artinya hajatan demokrasi ke depan hanya akan berlangsung setiap lima tahun sekali. Politik memang bukan soal pemilu atau pilkada semata. Namun, tidak bisa dimungkiri, ruang-ruang elektoral menjadi exercise utama partai politik saat ini. Jeda lima tahun tanpa exercise politik sekali pun akan membuat partai tidak mampu mengakselerasi kerja politik mereka secara optimal. Partai politik akan mati suri secara perlahan.
Persoalan ketiga, jika pilkada serentak dilaksanakan pada 2024, akan ada 101 posisi kepala daerah yang akan dijabat seorang Plt hingga dua tahun dan Plt 170 daerah selama satu tahun. Keadaan demikian, tentu tidak sehat bagi hak sipil warga dan hak publik untuk mendapatkan pelayanan. Lamanya masa seorang Plt menjabat jabatan kepala daerah akan sangat merugikan publik mengingat terbatasnya hak-hak Plt untuk mengeluarkan suatu kebijakan.
Persoalan keempat, sejak reformasi–jauh sekali memang–kita selalu dibayangi akan terjadinya kegagalan konsolidasi demokrasi. Kabar baiknya, konsolidasi demokrasi berjalan dengan baik meskipun tidak sampai pada kualitas demokrasi yang diimpikan semua pihak. Hal ini dapat dilihat dari adanya institusi demokrasi, tetapi tidak diikuti dengan budaya politik yang matang. Secara prosedural, demokrasi telah lengkap dengan berbagai unsur yang melengkapinya. Dalam ukuran kuantitatif, demokrasi Indonesia telah sejajar dengan negara-negara maju lainnya.
Salah satu faktor penting dari demokrasi (prosedural) ialah pemilu. Berbagai assessment terhadap demokrasi selalu menjadikan pelaksanaan yang reguler sebagai indikatornya. Kenapa demikian? Karena dalam demokrasi prosedural, pemilu merupakan wadah dari puncak persinggungan yang paling konkret adanya hak untuk memilih dan dipilih dari semua warga negara.
Keberadaan pemilu yang reguler juga menjadi garansi bagi terjaminnya kedaulatan rakyat. Daulat rakyat inilah yang memberikan otorisasi pada seseorang atau sekelompok orang untuk mempunyai bukan lagi sekadar kekuasaan, melainkan juga kewenangan. Dengan demikian, pemerintahan yang berlangsung kemudian telah mendapatkan sumber kewenangan yang legal dan hakiki.
Menurut Robert A Dahl, dalam pemerintahan demokrasi perwakilan modern, kendali pemerintah berada di tangan pejabat yang dipilih warga negara dan pejabat terpilih tersebut ditentukan melalui pemilu. Karena itu, persoalan melakukan penundaan pilkada pada 2022 dan 2023 ke 2024 dengan alasan keserentakan telah mengurangi kualitas demokrasi pada derajat yang sangat rendah.
Dari efisiensi ke substansi
Penyelenggaraan pemilu atau pilkada sering kali dianggap sebagai rutinitas formal sehingga menjadi salah kaprah karena menempatkannya sebagai soal teknis semata. Bagaimanapun, sistem dan prosedur yang ada harus terus-menerus diperbaiki sebagai upaya mendekatkan kualitas demokrasi dari prosedural ke substansial.
Jika negara–dalam hal ini pemerintah–tetap berkehendak menyelenggarakan pilkada serentak pada 2024, sejak itulah pemerintah telah membuka peluang bagi runtuhnya bangunan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Lantas, pantaskah alasan efisiensi dan kepraktisan lebih dimajukan jika dibandingkan dengan hal yang lebih substansial, terkait dengan mempertahankan bangunan konsolidasi demokrasi yang sudah terbangun?
Tulisan ini pernah di muat di Media Indonesia, kamis 4 Februari 2021