Meneguhkan Politik Kebangsaan
MARI kita bergembira, sukaria bersama. Hilangkan sedih dan duka, mari nyanyi bersama. Lenyapkan duka lara, bergembira semua’.
Kutipan di atas merupakan bagian dari syair lagu berjudul Mari Bersuka Ria karya Bung Karno. Mungkin inilah satu-satunya lagu yang ditulis Presiden ke-1 Republik Indonesia ini. Sengaja lagu itu saya pilih sebagai upaya menumbuhkan hasrat kepada kita semua untuk bergembira dan menumbuhkan harapan bagi seluruh rakyat di ruang kehidupan apa pun, termasuk politik.
Persoalan bangsa saat ini
Saat ini kita menghadapai dua persoalan yang bukan saja belum selesai, melainkan juga bisa berlanjut memberi dampak lebih buruk. Pertama, persoalan polarisasi sosial dan kebencian yang merupakan dampak dari kontestasi politik yang menggunakan praktik politik identitas di berbagai lapisannya. Kedua, dampak pandemi covid-19 yang tidak hanya melucuti kesehatan individu, tetapi juga menghancurkan sendi kebersaamaan dan solidaritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hari-hari ini kita dihadapkan pada situasi yang semakin dinamis menuju proses kontestasi nasional, Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif 2024. Proses politik yang merupakan instrumen untuk memastikan sirkulasi kekuasaan berjalan secara berkala dan teratur. Sebuah instrumen sosial-politik yang diperuntukkan guna mendapatkan pemimpin-pemimpin yang akan membawa arah bangsa dan negara dalam lima tahun ke depan. Pemilihan umum itu merupakan keharusan sebagai wujud praktik demokrasi elektoral. Semua pihak mufakat bahwa pemilu merupakan satu-satunya instrumen peralihan kekuasaan yang sah.
Persoalannya, satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat ada proses politik yang menimbulkan kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang terasa kebablasan dalam praktik politik kekuasaan kita. Semua pihak seperti merasa sah melakukan segala cara untuk memenangi ajang kontestasi itu. Padahal, semestinya berkontestasi harus bersandar penuh pada kesadaran untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasarnya. Sandaran itu merupakan nilai utama yang harus dipegang semua pihak.
Reproduksi politik identitas akan menciptakan kecemasan akan kembali terbelahnya bangsa dan negara Indonesia. Memang ini belum manifes, tetapi secara laten gejala tersebut masih terasa di beberapa ranah, utamanya di media sosial. Pengalaman dua kali kontestasi terakhir cukup menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kompetisi dalam pemilu bukanlah segalanya. Kompetisi hanyalah ajang bagi kita untuk terus-menerus mencari yang terbaik dan menjadi lebih baik. Kiranya terlalu mahal pertaruhan yang dilakukan jika hanya untuk berkuasa lima hingga sepuluh tahun, kita mengorbankan sesuatu yang lebih besar, yakni bangunan kebangsaan yang telah berdiri hampir satu abad ini.
Di sisi lain, kita juga masih dalam masa pemulihan pascapandemi. Seperti kita rasakan bersama, dampak pandemi covid-19 tidak hanya menyerang aspek kesehatan, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi. Baik usaha besar maupun kecil mengalami penurunan, bahkan tidak sedikit yang gulung tikar. Berpuluh ribu tenaga kerja dirumahkan hingga di-PHK. Sektor-sektor informal terpaksa melakukan banyak penyesuaian. Secara sosial, koneksi antarindividu juga semakin longgar. Persatuan dan solidaritas pun seolah terlucuti oleh pandemi yang memberi ancaman sangat personal. Setiap pihak berusaha bertahan demi hidupnya sendiri.
Saat ini kemajuan telah didapat. Pemerintah secara perlahan membuka protokol kesehatan. Geliat sosial-ekonomi juga mulai dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Kita patut bersyukur meski harus tetap waspada. Inilah masa berbenah, masa pemulihan dan penyembuhan. Persoalan sosial-ekonomi yang bersinggungan dengan masalah sosial-politik akan memberi dampak yang serius jika tidak mendapatkan respons yang tepat. Kiranya semua pihak harus menyadari itu.
Bersukaria dalam kontestasi
Menyadari dua kenyataan di atas, politik kebangsaan menjadi kata kunci dalam menghadapi perhelatan politik yang akan kita jalani pada 2024 mendatang. Berpolitik dalam bingkai kebangsaan, selain mengandalkan rasionalitas, juga harus teguh dalam kesetiaan terhadap konstitusi. Kami percaya tak ada satu partai pun atau kelompok mana pun yang berniat membelah kembali kohesivitas sosial yang mulai tumbuh kembali ini dengan narasi-narasi kebencian sebagaimana dua pemilu terdahulu. Kita telah sepakat bahwa persoalan-persoalan identitas bukan lagi sesuatu yang akan menjadi ancaman karena kita menyatu menjadi Indonesia.
Pendiri bangsa ini telah mufakat bahwa Republik Indonesia merupakan negara untuk semua; bukan negara untuk satu orang atau satu golongan, melainkan untuk semua. Tidak ada lagi ‘kami’ atau ‘kalian’. Tidak ada lagi kelompokku atau kelompokmu. Yang ada, ‘kita’ semua ialah Indonesia. Jika demikian, mengapa kita harus berdiri berhadapan dan saling bersitegang.
Marilah saling menyapa, marilah saling mengapresiasi, dan saling menjaga bangunan kebangsaan yang telah ditata dengan baik ini. Marilah juga kita tularkan kedewasaan sikap ini kepada konstituen kita, simpatisan kita, dan kepada seluruh warga bangsa ini. Kita sampaikan kepada mereka bahwa politik sejatinya merupakan membangun kebaikan bersama. Politik bukanlah saling merendahkan, apalagi meniadakan pihak lain yang berbeda dengan kita.
Pemilu hanyalah siklus lima tahunan. Kekuasaan pun takkan selamanya dipegang. Sejarah telah menyampaikan kepada kita bahwa sekuat apa pun kekuasaan seorang atau sekelompok orang, di satu waktu pasti akan selesai jua. Sejarah juga menyampaikan bahwa yang langgeng ialah nilai, ajaran, dan kebajikan. Itulah warisan yang semestinya kita berikan kepada anak cucu kita nanti. Benar bahwa kekuasaan itu berguna untuk memanifestasikan idealisme dan segala niat baik kita. Namun, jangan sampai niat yang baik itu harus melahirkan ekses atau residu yang justru mengkhianati kebaikan itu sendiri.
Masa depan anak cucu kita bergantung pada cara kita bersikap dan bertindak atas persoalan kebangsaan saat ini. Lanjut atau berhenti, tumbuh atau layu, semua bergantung pada kita saat ini. Di sinilah kita diuji dalam mengatasi kehidupan kebangsaan saat ini. Jika tidak selesai hari ini, kita hanya akan mewariskan perpecahan yang lebih merusak kehidupan berbangsa dan bernegara kita ke depan.
Inilah saatnya kita bersukaria dalam sebuah pesta. Pesta demokrasi yang semestinya melahirkan kegembiraan sebagaimana lazimnya sebuah pesta. Inilah saatnya membangun kembali bangsa dan negara ini pascakrisis yang kita alami. Inilah saatnya membangun kembali politik yang penuh sukacita. Politik yang meneguhkan kembali rasa kebangsaan kita.
Tulisan ini sudah tayang di MediaIndonesia.com