DPR dan Prolegnas: Sebuah Upaya Mendedahkan Persoalan
SESUNGGUHNYA term ‘percepatan’ dalam konteks kerja-kerja legislasi di DPR menyisakan sejumlah masalah mendasar. Masalah itu terkait pandangan atau persepsi kebanyakan pihak yang menganggap DPR selayaknya lembaga tinggi negara lainnya, khususnya lembaga pemerintahan.
DPR dianggap lembaga yang juga memiliki sejumlah PR atau beban kerja yang harus selesai dalam tenggat tertentu. Cara pandang tersebut pada gilirannya membuat sesat pikir (misleading) lanjutan dalam memahami posisi dan eksistensi DPR yang sesungguhnya merupakan lembaga ‘pertarungan’: pertarungan kepentingan yang direpresentasikan lewat wacana, khususnya dalam tanggung jawab legislasinya.
Akhirnya, DPR ditakar kinerjanya dengan berapa jumlah produk undang-undang yang disahkan, bukan seberapa sengit sebuah UU diperdebatkan. Cara pandang kejar tayang jadi tak terelakkan. Jika pada periode tertentu DPR tidak mencapai target prolegnasnya, ia dianggap gagal atau tidak bekerja dengan baik. Di sisi lain, kita punya problem dengan banyaknya produk perundang-undangan yang disharmoni satu sama lain.
Hal itu kemudian kerap menyebabkan tumpang-tindih hingga bertolak belakangnya antara satu produk hukum dan yang lainnya. Sementara itu, DPR punya tugas lain yang tidak kalah pentingnya, yakni fungsi pengawasan. Di level ini, atensi publik justru tidak begitu besar jika dibandingkan dengan atensi terhadap soal di atas. Padahal, lewat fungsi ini, sebuah produk legislasi akan lebih bermakna (meaning). Ia tidak hanya akan menjadi produk hukum yang teronggok dalam daftar legislasi yang telah disahkan, tetapi juga mampu secara signifikan memengaruhi ruang pelaksanaannya.
Sebagai, misal, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Gaung penerapan UU tersebut tidak begitu terasa ketimbang saat pembahasannya. Pelbagai cerita dan kasus kekerasan seksual yang aktual terjadi tidak serta-merta didekati oleh UU yang telah disahkan pada empat bulan yang lalu ini oleh aparat penegak hukum. Ada beberapa faktor yang menjadi soalnya. Namun, satu di antaranya ialah kurangnya kerja pengawasan DPR setelah pengesahan UU tersebut.
Komitmen Baleg
Namun, itu semua sama sekali tidak menisbikan kerja legislasi DPR. Sebagaimana predikatnya lembaga legislatif, DPR merupakan lembaga yang identik dengan legislasi. Di sinilah produk hukum tertinggi negara dibuat. Lewat lembaga inilah sebuah peraturan perundangan dibentuk. Bersama DPR-lah pemerintah merumuskan aturan tertinggi sebagai acuan bagi produk-produk turunan dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Terkait hal tersebut, sejumlah terobosan dan capaian telah ditorehkan pada periode 2019-2024 ini. Dalam upaya memperbaiki kinerja, Baleg sebagai alat kelengkapan dewan (AKD) DPR yang menanggungjawabi tugas kelegislasian melakukan terobosan yang bertujuan memperbaiki kualitas produk perundang-undangan.
Setidaknya ada tiga praktik yang menjadi komitmen Baleg saat ini dalam menjalankan fungsi legislasinya. Komitmen tersebut, antara lain mengarusutamakan proses dialog dalam setiap perumusan UU. Dialog sebagai praktik ialah menyediakan ruang seluas-luasnya bagi segenap pemangku kepentingan (stakeholder) ketika sebuah UU mulai dirumuskan.
Dialog sebagai semangat bermakna bahwa setiap rumusan UU harus senantiasa berangkat dari didengarnya berbagai pandangan atau suara dari seluruh pihak terkait. Semuanya itu kemudian didialektikakan hingga lahir sebuah sintesis yang kiranya menjadi keputusan bersama, syukur-syukur bisa diterima secara mufakat.
Kedua, Baleg telah berkomitmen bahwa setiap pembahasan UU akan selalu terbuka bagi publik. Keterbukaan itu diwujudkan dalam bentuk siaran langsung saat sebuah RUU dibahas. UU Ciptaker ialah salah satu produk yang telah mempraktikkan komitmen tersebut.
Ratusan rapat dengar pendapat (RDP) yang melibatkan 100 lebih pemangku kepentingan dilangsungan secara langsung (live) oleh panitia kerja (panja) saat produk yang menggunakan sistem omnibus law tersebut dibahas. Itu artinya publik senantiasa bisa mengikuti secara langsung ketika rapat digelar. Tidak hanya itu, siaran langsung ini bisa diakses di berbagai kanal, mulai TV Parlemen hingga beberapa platform media sosial milik DPR. Demikian juga produk perundangan yang lain. Semua itu menunjukkan komitmen yang tinggi dari DPR (cq Baleg) dalam membangun kualitas produk legislasinya.
Yang ketiga, komitmen scientific approach. Komitmen tersebut mendasarkan diri pada upaya membangun produk UU yang punya tanggung jawab ilmiah yang kuat. Bahwa selama ini ada naskah akademik (NA) dalam setiap proses pembentukan UU, itu benar adanya. Hanya, ia sering kali hanya menjadi subjek pengabsahan sebuah produk UU belaka. Ia tidak menjadi starting point atau dasar pemikiran utama dari adanya sebuah kebutuhan UU. Di sinilah letak pembedanya.
Dalam paradigma scientific approach, dasar pemikiran ilmiah menjadi alas utama dari setiap kepentingan yang muncul di arena pertarungan wacana. Bukan sebaliknya. Dengan komitmen tersebut, DPR berkehendak agar setiap UU yang disahkan memiliki daya tahan cukup lama. UU yang tidak mudah dikoreksi atau direvisi bahkan setahun setelah ia diundangkan atau UU yang justru membuat kehidupan bernegara kita menjadi lebih rumit. Kita ingin terhindar dari praktik empirisme. Praktik yang dalam bahasa sederhananya seperti katak dalam tempurung.
Beberapa capaian
Selama kurang lebih tiga tahun menjalankan fungsi dan tugas legislasinya, DPR pada periode 2019-2024 telah mengesahkan 48 UU, baik yang tergolong kumulatif terbuka, carry over, maupun rumusan baru pada periode ini. Di antara 48 UU tersebut, ada beberapa UU yang monumental, yakni UU Ciptaker dan UU TPKS.
UU Ciptaker menandai produk perundangan yang dirumuskan melalui skema omnibus law. Artinya, UU tersebut menjadi UU yang ‘mengatasi’ berbagai ketumpangtindihan berbagai UU terkait. Meski dalam perjalanannya ada koreksi terhadap hasilnya, praktik ini menjadi sejarah dalam perumusan UU sehingga bisa menjadi preseden bagi upaya serupa demi terciptanya produk perundangan yang lebih harmonis.
Sementara itu, dalam kasus UU TPKS, UU tersebut menjadi sejarah tersendiri dalam perjuangan membangun keberpihakan terhadap korban kekerasan seksual. Setelah terkatung-katung tak tentu nasibnya sejak dua peride sebelumnya, UU tersebut mampu diselesaikan dengan cukup elegan pada periode saat ini. Dengan komitmen pada semangat dialog seperti disebut di atas, UU yang mengutubkan dua pandangan yang saling bertentangan setelah sekian lama ini akhirnya relatif bisa disepahamankan lewat rumusan yang ada.
Selain itu, sejumlah RUU yang menunjukkan kepedulian DPR pada kaum terpinggirkan sesungguhnya telah bulat disepakati sebagai RUU inisiatif DPR. Hanya, proses politik di DPR yang tidak berjalan mulus membuatnya masih tertahan hingga saat ini. Misalnya, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA). Kenyataan tersebut menunjukkan bagaimana komitmen DPR pada kerja-kerja legislasi tetap terjaga.
Hanya, sebagaimana disitir di awal tulisan ini, DPR bukanlah ruang kosong yang akan begitu saja bisa melahirkan sebuah produk UU ketika ia sudah diprogramkan. Mengiringi kewajibannya membuat UU terdapat dialektika dari segenap kelompok kepentingan yang ada di dalamnya ketika membahas sebuah calon produk UU. Oleh karena itu, meski puluhan atau ratusan produk UU sudah dirancangsiapkan sedemikian rupa dalam sebuah program legislasi nasional (prolegnas), hasil akhirnya senantiasa bergantung pada seberapa mampu sebuah konsensus terbangun di antara elemen-elemen politik yang ada.
PR legislasi
Terkait hal tersebut, ada sejumlah PR yang mesti terus diperjuangkan demi terbangunnya kultur perumusan UU yang semakin bermutu. Yang pertama ialah bagaimana menjaga tiga komitmen DPR seperti disebut di atas. Kedua, bagaimana membangun taraf keterlibatan ‘fraksi tambahan’ alias elemen publik menjadi semakin berkualitas.
Keterlibatan yang tidak hanya didasarkan pada kehendak sentimental atau kehebohan sebuah rancangan produk UU, tetapi juga pada pemikiran-pemikiran yang kredibel dan akuntabel yang memiliki kemampuan proyektif serta menjangkau kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa. Dengan demikian, prolegnas bukanlah program kerja yang alat ukurnya ialah terealisasi atau tidaknya sebuah produk perundang-undangan.
Prolegnas hanyalah acuan bagi setiap tergelarnya kontestasi gagasan dan kepentingan di antara para pemangku kepentingan, baik yang ada di dalam maupun di luar DPR. Bagaimana sebuah rancang bangun UU diperdebatkan hingga ia akhirnya disahkan atau terpental menjadi sekadar rancangan semata, di situlah tolok ukur yang sesungguhnya berada. Dengan cara pandang yang demikian inilah penilaian terhadap sebuah program legislasi akan bisa dinilai secara lebih pas dan relevan.
Peliput: Mediaindonesia.com