Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Apa Landasan Penetapan Prolegnas 2020?

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat baru-baru ini mengesahkan perubahan daftar Ada RUU yang mendapat dukungan luas masyarakat, malah digeser ke pembahasan tahun depan. Namun ada pula RUU yang ditolak masyarakat, tetap masuk prioritas.

Di luar perkiraan banyak pihak, terutama mereka yang selama ini menentangnya dalam rapat-rapat di DPR dan demonstrasi di jalan, RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law – justru tetap masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun ini.

Suara keras sejumlah organisasi keagamaan dan komunitas, seperti Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Muhammadiyah, yang telah secara terang-terangan menolak RUU PHIP, serta suara organisasi-organisasi buruh dan HAM yang menentang RUU Cipta Kerja, tetap tak terdengar.

Sebaliknya sudah tak terhitung forum diskusi dan demonstrasi yang dilakukan untuk mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), termasuk dengan merujuk pada melesatnya kasus kekerasan seksual beberapa tahun terakhir. Namun RUU ini digeser ke pembahasan pada 2021.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Willy Aditya mengatakan pada Juni lalu lembaganya telah melakukan evaluasi terhadap 50 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas yang telah disahkan pada Januari.

“Mana kira-kira waktu yang tertinggal untuk masa sidang (tinggal 2 masa sidang lagi) , mana yang tidak mungkin dieksekusi maka kami relokasi. Kemaren disepakati hasilnya jadi 37 RUU,” ungkap Willy.

Dari 37 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020, 14 RUU merupakan inisiatif pemerintah, 22 RUU inisiatif DPR dan satu RUU inisiatif DPD.

Willy menjelaskan salah satu dari 14 RUU yang menjadi inisiatif presiden adalah RUU Cipta Kerja. DPR, lanjutnya, tidak berhak mengeluarkan itu dari Prolegnas Prioritas karena forum penetapan Prolegnas tersebut merupakan forum tripartit antara DPR, DPD dan pemerintah.

Sementara RUU Haluan Ideologi Pancasila yang merupakan inisiatif DPR telah selesai pada tingkat dua dan sudah diparipurnakan, serta diserahkan kepada pemerintah. Presiden juga telah mengirimkan surat presiden (surpres) dan dilampirkan DIM-nya.

Fokus pada RUU Kebencanaan

Politikus Partai Nasdem ini juga menjelaskan alasan mengapa RUU PKS digeser ke Prolegnas Prioritas 2021. Menurutnya hal itu dikarenakan Komisi VIII DPR waktu itu tidak memiliki kesempatan dan lebih memilih menyelesaikan RUU Kebencanaan yang diperlukan di saat perebakan virus corona.

“Seiring berjalannya waktu ternyata tidak terselesaikan karena pembahasannya belum ada , itu undang-undang bukan carry over, kalau sesuatu RUU tidak carry over pembahasannya mulai dari awal lagi, tingkat satu,” kata Willy.

Menurut Willy, nantinya akan diputuskan apakah RUU PKS ini akan dibahas di Badan Legislasi atau tetap di Komisi VIII.

Sebagai wakil ketua Baleg, tambahnya, ia akan mengusahakan dan berjuang agar RUU PKS dibahas dengan cepat. Sejauh ini pihaknya tambah Willy berusaha agar RUU tersebut di bahas di Baleg.

Komnas Perempuan, LBH APIK Kecewa

Staf Divisi Perubahan Hukum LBH Apik, Dian Novita, menyampaikan kekecewaannya karena RUU PKS tidak masuk dalam prolegnas prioritas 2020. Masyarakat sipil termasuk LBH APIK sangat berharap RUU PKS ini dapat dibahas dan disyahkan.

Masyarakat sipil, lanjutnya, bingung apa yang menyebabkan RUU PKS ini tidak bisa berjalan termasuk dikeluarkan dalam prolegnas prioritas 2020.

“Kita sebenarnya butuh jawaban jelas dari pihak DPR, apa yang menghambat dan alasan itu bener-benar bisa diterima masyarakat sipil, katanya kan macam-macam karena corona jadi sulit melakukan lobi-lobi, banyak pro kontra,” ujar Dian Novita.

Dian mempertanyakan mengapa sejumlah RUU yang juga ada pro-kontra, seperti RUU Cipta Kerja dan RUU HIP tetap termasuk dalam prolegnas. Sedangkan RUU PKS dikeluarkan.

Dian Novita berharap RUU PKS segera dibahas oleh DPR dengan substansi dari sisi korban isinya. Dia juga meminta Badan Legislasi benar-benar serius membahas RUU ini kedepannya.

Tak Serius

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani bahkan menduga ada sebagian anggota dewan yang tidak serius atau tidak memahami kegentingan kekerasan seksual di Indonesia.

Komnas Perempuan dalam pernyataan persnya mengingatkan bahwa pandemi virus corona tidak menyurutkan kasus kekerasan seksual.

Menurut Komnas HAM, selama Januari hingga Mei 2020, terdapat 542 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau relasi personal, di mana 24 persen adalah kasus kekerasan seksual. Sementara pada ranah komunitas, kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 226 kasus di mana 89 peren atau 203 kasus adalah kekerasan seksual.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan melonjak 792 persen atau delapan kali lipat. Angka-angka ini merupakan fenomena gunung es, karena kondisi sebenarnya bisa jadi lebih buruk lagi dan menunjukkan bahwa perempuan Indonesia hidup dalam kondisi yang tidak aman.

Sumber : voaindonesia.com

Tinggalkan Balasan