Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Bedah Pidato Promovendus Surya Paloh, Perjalanan Mengikuti Jejak Peradaban

“JIKA Anda ingin menjadi pemimpin yang hebat, menulis seperti jurnalis dan berbicaralah seperti orator.” (HOS Tjokroaminoto)

Sengaja saya pilih kutipan tersebut karena itu terasa benar menggambarkan perjalanan yang saya lakukan kali ini. Perjalanan di tiga kota di Jawa Timur, mulai Kediri, Surabaya, dan berakhir di Jember. Sebuah provinsi yang dalam sejarah nasional kita telah melahirkan banyak tokoh besar bangsa ini. Daerah yang mempunyai tradisi politik yang khas dengan keterbukaan dan kelugasannya. Tempat persandingan antara tradisi intelektual dan massa aksi banyak terjadi. Tidak mengherankan jika dari sini letupan-letupan perubahan sering kali bermula.

Itu alasan pertama saya memilih kutipan Tjokroaminoto di atas. Alasan kedua ialah apa yang membawa dan saya bawa dalam perjalanan tersebut: pidato pengukuhan Bapak Surya Dharma Paloh sebagai doktor kehormatan dari Universitas Brawijaya, Malang. Pidato dengan tajuk Meneguhkan kembali Politik Kebangsaan Indonesia itu telah menarik animo banyak pihak untuk menyelenggarakan bedah pidato. Sebuah acara yang tak lazim terjadi di Indonesia. Mungkin kita pernah mendengar bedah buku atau film, tetapi tidak dengan bedah pidato. Saya sendiri secara skeptis bertanya-tanya, apa yang diinginkan penyelenggara dengan acara semacam itu? Apa untungnya untuknya dan untuk kita semua?

Untungnya, rasa skeptis itu tidak saya izinkan untuk menghalangi segala niat baik para penyelenggara. Tidak ada kemuliaan yang lebih besar selain keberanian memulai sesuatu yang baru. Karena itu, perjalanan ke tiga kota tersebut dimulai dengan langkah awal dalam proses pengetahuan: bertanya.

Suara dari tiga kota
Tidak ada tempat yang tersisa di acara bedah pidato yang dihelat pada 25-27 Agustus 2022 itu. Pihak penyelenggara bahkan harus menambah tempat duduk demi menampung antusiasme yang terjadi. Di Kediri, saya disandingkan dengan dua pembicara. Mereka ialah Kurniawan Muhammad MM, Direktur Utama Radar Kediri, dan Dr Zainal Arifin, dosen Universitas Islam Kediri. Dimoderatori seorang budayawan setempat, suasana diskusi demikian interaktif.

Kegentingan kondisi politik Indonesia yang terungkap dalam pidato Surya Paloh rupanya ditangkap juga oleh peserta. Mereka merasakan ada sesuatu yang tidak beres berlaku dalam politik Indonesia saat ini. Ketidakberesan itu disebabkan praktik low politics (politik berorientasi pada kekuasaan an sich) yang begitu dominan dalam kehidupan politik kita. Hal itu pada gilirannya membuat mereka yang memegang kekuasaan tidak memosisikan diri sebagai pelayan publik. Sebaliknya, mereka justru lebih bersifat despotik.

Politik kemudian tereduksi, menjadi hanya soal pergiliran kekuasaan belaka (baca: pemilu). Kita tentu sepakat bahwa pemilu adalah jalan penyelesaian persoalan-persoalaan politik melalui kotak suara (ballot box). Akan tetapi, apakah cukup sampai di situ saja? Dalam formula Bung Karno, politik itu machtsvorming dan machtsaanwending. Artinya, politik adalah pembentukan kekuasaan dan bagaimana menggunakannya. Dengan begitu, proses politik menjadi sebuah proses untuk mencari solusi atas masalah-masalah bangsa, bukan sebaliknya.

Setidaknya di tiga pemilu terakhir, meliputi baik pilpres maupun pilkada, praktik politik identitas mengambil porsi yang melampaui batas. Kecenderungan umum yang terjadi, politik identitas dalam bentuk bad dan ugly lebih banyak mewarnai proses politik yang ada. Situasi itu secara serius menyeret elemen bangsa kepada politik kebencian. Kenyataan tersebut tidak saja membuat setiap orang yang terlibat di dalamnya membentuk barisan berhadapan dan bersitegang, tetapi juga sampai level saling menyakiti satu sama lain. Ada geliat yang mendorong satu kelompok untuk menghancurkan kelompok lain, hanya demi memenangi kontestasi politik. Ini yang menurut Surya Paloh dalam pidatonya, “Terlalu mahal harga yang harus dipertaruhkan jika hanya untuk mendapatkan kemenangan di pemilu, kita harus mengorbankan bangunan kebangsaan yang berpuluh tahun kita jaga bersama ini.”

Upaya itu terungkap dan ditangkap dalam forum bedah pidato di Kediri sebagai ‘ikhtiar sunyi’ dari seorang Surya Paloh. Pilihan untuk meneguhkan kembali politik kebangsaan jelas bukan pilihan yang taktis dalam ajang kontestasi demokrasi. Jalan itu pun menjadi pilihan yang melahirkan reaksi sinis dan bahkan cemooh yang lain. Beberapa pihak mengatakan bahwa langkah tersebut hanyalah pemanis dari upaya menggedor lumbung suara pemilih. Beberapa yang lain menganggap sikap tersebut sebagai bentuk keputusasaan akibat tidak mampunya Surya Paloh menangkap semangat zaman yang lebih kompetitif. Masih banyak lagi prejudice yang disampaikan, tanpa mereka semua berkenan untuk menangkap pesan terdalam dari pidato yang disampaikan.

Dari diskusi di Kediri, didapat satu pesan yang sangat menggugah atas pilihan Surya Paloh tersebut: Yen wani, ojo wedi-wedi; yen wedi, ojo wani-wani (kalau berani, jangan takut-takut; kalau takut, jangan berani-berani). Sebuah pesan yang umum, tetapi pas dan mengena. Di sini ada penegasan penting bahwa sikap yang telah diambil jangan sampai terhalangi oleh berbagai penilaian apa pun. Kritik tentu absah adanya dan mesti diterima sebagai sebuah upaya konstruktif mendorong dialog bagi kemajuan bersama. Namun, keberanian untuk bersikap dan memilih meskipun langkah yang tidak populer ialah pengorbanan (sacrifice) tersendiri dari seorang tokoh.

Di Surabaya, bersama dengan Dr Suko Widodo, dosen Universitas Airlangga, Surabaya, beberapa peserta memberikan pencerahan kepada saya. Semangat untuk terlibat mengelola negara merupakan tanggung jawab agar negara menjadi lebih baik. Semangat berpolitik inilah yang disebut high politics dalam term Bung Karno tadi, yakni semangat memberikan pelayanan terbaik kepada publik. Dalam sejarahnya, Surabaya merupakan kota industri dengan pelayanan publik yang dikenal baik. Pada 1909 saja sudah masuk Nederlandsche Indische Gas Maatschappij. Selain menyalurkan gas-gas ke rumah tangga, perusahaan itu mendirikan ANIEM untuk mengelola listrik rumah tangga. Pada 1927, transportasi publik berkembang dengan baik di kota itu, seperti trem listrik dan uap. Sekitar 11,2 juta orang menggunakan trem listrik dan 5,4 juta orang menggunakan trem uap di Surabaya.

Kedua layanan publik tersebut sudah tidak kita temukan lagi di Surabaya. Kini, warga di sana tidak hanya harus membeli gas, tetapi juga air dalam kemasan. Padahal, di Surabaya ada Sungai Brantas yang mempunyai 200 titik sumber air. Fasilitas-fasilitas publik yang merupakan hajat hidup orang banyak itu terabaikan sehingga terbengkalai, rusak, lalu hilang. Dalam konteks res publica inilah, politik menjadi upaya terus-menerus dalam rangka membangun kebaikan bersama. Lingkup kebaikan bersama dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara tentu saja ialah ketersediaan dan keterpenuhan hajat hidup publik.

Sebagai ekspresi high politics, praksis politik kebangsaan merupakan etos penting yang kiranya akan mampu mendorong setiap warga negara untuk terlibat dan berkomitmen dalam menata dan membangun negara. Dengan demikian, politik kebangsaan seharusnya menjadi gerakan yang mendorong timbulnya harapan di dalam diri rakyat, dan membuat mereka merasa berhak untuk berperan aktif dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Apatisme yang kerap kali muncul sebagai dampak proyek deideologisasi, depolitisasi, dan deorganisasi Orde Baru sebenarnya secara estafet dilanjutkan pelaku politik pascareformasi, yang mengendarai politik dengan cara yang tidak patut.

Saat diskusi bedah pidato promovendus Surya Paloh berlanjut di Jember, kami semua mendapatkan wawasan baru terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Selain dikenal sebagai penghasil tembakau dengan kualitas bagus, Kota Jember merupakan penghasil kopi robusta dan teh. Sayangnya, kota itu tidak mempunyai tempat yang layak untuk menyajikan dan menikmati produk-produk terbaik alam mereka. Perkebunan milik rakyat, sebagian besar, telah menjual produk-produk terbaik mereka ke luar negeri. Sementara itu, perkebunan milik negara, sebagian besarnya, tidak terkelola dengan baik. Demikian pula aset-aset lainnya. Akibatnya, tidak ada kemampuan yang sebanding bagi produk Jember untuk bersaing dengan produk-produk asing.

Hatta, anak bangsa sendiri tidak dapat menikmati hasil alamnya sendiri. Ironis, memang, melihat sebagian besar kita mengonsumsi kopi saset yang diproduksi dari biji kopi sortiran, atau seduhan teh yang berasal dari remah-remah daun teh atau gagangnya. Kisah itu sepintas terlihat sederhana dan biasa saja. Namun, jika kita mau merefleksikan dengan lebih mendalam lagi, itulah bentuk paling nyata dari kegagalan proyek imaji Indonesia Raya. Bapak-ibu pendiri bangsa kita tidak menginginkan kemakmuran Indonesia hanya untuk sebagian orang. Hal yang sebagaimana tergambar pada data tentang 60% aset nasional yang dikuasai 1% penduduknya. Itulah yang dalam pidato Surya Paloh disebut ‘sebagai kenyataan tidak ideal yang tidak bisa dibantah’.

Literasi: baca, tulis, aksi, dan refleksi
Perjalanan bedah pidato di Jawa Timur membawa saya ke tengah realitas dan melihatnya secara panorama. Hampir semua yang terhampar menjadi gambaran reflektif atas situasi bangsa saat ini. Cerita-cerita di atas hanya dapat ditemukan ketika ada kapasitas literasi. Sebaliknya, cerita-cerita buruk akan terjadi ketika anak bangsa ini enggan melakukan literasi. Literasi menggendong sekaligus dua hal yang kontradiktif karena perlakuan yang berbeda atasnya. Dialog di tiga kota tersebut membawa pengalaman tentang pentingnya literasi. Selama periode prakemerdekaan hingga pra-Orde Baru, pemimpin-pemimpin kita terbiasa dengan pelbagai literatur dan memperdebatkannya secara terbuka. Sindiran dan cemoohan biasa terjadi sebagai bagian dari upaya substantif mempertukarkan wacana yang mereka yakini, dengan basis ideologi dan pengetahuan.

Literasi haruslah dipahami sesuatu yang bukan sekadar petualangan-petualangan atas teks. Bagaimanapun, teks-teks merupakan sajian hutan rimba kehidupan manusia. Ia ialah ekstraksi pengalaman dalam jiwa, pikiran, perasaan, angan, serta sensasi manusia. Penyajian dan penyerapannya pun tidak benar-benar bisa lengkap dan sempurna. Namun, dengannya kita bisa berupaya memelihara momentum untuk mendekat pada realitas yang mungkin dirasakan seseorang. Di sanalah berbundel-bundel pengetahuan dan pengalaman diarsipkan dan ditransformasikan. Pengetahuan dan pengalaman itu tentu bukan sesuatu yang merdeka dari situasi yang melingkupi diri seseorang yang menyandangnya pada waktu itu.

Proses literasi inilah yang secara metafor digambarkan Karl R Popper sebagai das Noch-Nicht-Bewusste atau mimpi di siang bolong. Artinya, ia adalah sesuatu yang belum disadari. Konsep itu sering disebut dengan ‘kebeluman’. Sebuah konsep yang menjelaskan proses yang bergerak dari masa lalu dan masa kini, tetapi belum mencapai masa yang akan datang. Dalam proses literasi, seseorang tidak hanya belajar tentang masa lampau semata, tetapi juga belajar tentang harapan di masa depan. Harapan itulah yang membuat manusia tidak pernah puas dengan apa yang ada dalam dirinya, yang dengannya seolah sudah terikat secara alami.

Dari inilah, literasi harus dipahami sebagai proses sosial yang dilengkapi keterampilan-keterampilan untuk menciptakan dan menginterprestasikan makna melalui teks. Dalam konteks kekinian, literasi tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca dan menulis teks. Akan tetapi, juga dalam bentuk visual, audiovisual, dan dimensi-dimensi komputerisasi. Paulo Freire mendorong lebih jauh lagi, bahwa literasi bukanlah sekadar membaca teks. Menurutnya, literasi itu membaca kata (word) dan membaca dunia (world). Dengan kata lain, membaca teks (text) dan konteks (context).

Dalam konsep Read the Word and the World dari Paulo Freire dan Macedo (2005), belajar membaca dan menulis dimulai dari pemahaman yang paling komprehensif, yaitu tindakan membaca dunia, sesuatu yang manusia kerjakan sebelum membaca kata-kata. Konsep literasi itulah yang kemudian membangun sikap humanitas dengan refleksi kritis akan situasi sosial dan historis mereka. Seseorang yang mempunyai kemampuan literasi akan membangun dialog-dialog kritis dengan dirinya, orang lain dan bahkan dengan realitas sosial yang dihadapinya. Pengetahuan yang tercipta akan memancing lahirnya aksi yang mampu membawa perubahan sosial. Artinya, dalam budaya literasi yang tinggi tidak akan ditemukan sebuah kepasifan atau apatisme kronis.

Intinya, manusia membangun eksistensinya tidak dengan diam. Artikulasi paling lahiriah dari keberadaan manusia ialah ‘suaranya’. Sebelum tradisi tulis, manusia telah mempertukarkan ide dan kepentingannya dengan medium suara. Inilah tradisi yang hingga kini kuat mengakar di Amerika Latin dengan folklor serta tradisi bercerita di kafe-kafe. Sama halnya dengan tradisi bercerita (story telling) di Amerika Serikat. Pidato-pidato mereka ialah cerita-cerita yang sangat personal, menyentuh, dan sangat manusiawi. Tradisi-tradisi tersebut berasal dari kemampuan literasi yang tinggi.

Bukan bermaksud mengagung-agungkan masa lalu, tetapi harus diakui bahwa sebagai bangsa, kita memiliki tradisi yang sama kayanya dalam hal literasi. Kita dapat menengok budaya tambo di Minangkabau, Kunaung di Kerinci, atau tradisi pewayangan. Tidak ketinggalan, ada juga karya La Galigo dari Bugis dan Babad Diponegoro yang keduanya telah ditetapkan sebagai bagian Kolektif Ingatan Dunia oleh UNESCO. Artinya, tidak ada alasan bagi bangsa ini untuk rendah diri dalam hal literasi. Literasi bukanlah proses yang tunggal dan statis. Sifatnya sangat kompleks dan dialektik. Sebagai sebuah siklus, literasi tidak pernah berhenti. Mengutip Freire (2008), ‘Manusia tidak diciptakan dalam kebisuan, tetapi dengan kata, dengan kerja, dengan aksi-refleksi’.

Penutup
Walhasil, membedah pidato merupakan tradisi baru dalam ruang sosial-politik kita. Tradisi yang memberi ruang dialog bagi semua pihak untuk membaca dan mendedah pikiran dan nalar seseorang. Ini berbeda jauh dengan Amerika, yang bahkan secara serius melakukan pengarsipan terhadap pidato tokoh-tokoh bangsanya. Semua itu menjadi koleksi ingatan bagi terbentuknya karakter mereka sebagai sebuah bangsa. Mereka pun tidak memilih mana yang harus disimpan dan harus dibuang. Semua begitu adanya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri mereka. Karakter tidak bisa dibentuk dari pengalaman yang baik-baik semata, tetapi juga diajarkan dari pengalaman-pengalaman buruk yang mereka alami.

Namun, itu tidak mengapa. Sebagai sebuah bangsa, kita tentu memiliki karakteristik historis dan sosiologisnya sendiri. Kita juga tidak perlu harus menyamakan rupa dan cerita. Toh, pada dasarnya selalu ada yang membedakan antara kita dan mereka. Utamanya di wilayah jati diri. Yang penting ialah kita mau memulai sesuatu yang sesungguhnya itu juga bagian dari tradisi kita, termasuk pidato. Membedah pidato sesungguhnya adalah membedah pesan dari seseorang, yang secara tidak sadar kita sering melakukannya. Yang membedakannya, ada dimensi yang lebih khusus dari sebuah pidato.

Dalam pidato, terdapat dimensi yang lebih jika dibandingkan dengan bentuk komunikasi verbal lainnya. Di sana ada artikulasi, intonasi, dan terutama gagasan atau ide seseorang. Transformasi gagasan dan ide menjadi teks itulah, yang kemudian secara terus-menerus dapat dipakai sebagai bahan refleksi-kritis atas situasi yang terjadi di dalam ruang bersama. Tak terhindarkan, bahwa proses semacam itu menuntut kejerihan yang tak terhingga. Batas-batas yang diciptakan ialah batas manusiawi dalam diri seseorang. Pidato, dengan demikian, bukan sekadar kata yang disuarakan. Di dalamnya, ada juga jejak-jejak peradaban yang tersusun dan akan disusun di masa depan.

Peliput: MediaIndonesia.com

Tinggalkan Balasan