Posted on / by / in Berita

Caleg Generasi Milenial dalam Pemilu 2019

Politik Indonesia, setidaknya sejak Orde Baru, didominasi para senior. Belakangan, generasi milenial pun mencoba merebut posisi. Apakah mereka akan menjadi warna baru? Berikut laporan selengkapnya.

Selasa, 17 Juli, adalah batas akhir pendaftaran Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) di seluruh Indonesia. Seluruh partai wajib mengirimkan berkas pendaftaran, sesuai jenjang wilayah pencalonan. Begitu pula dengan Dewan Pengurus Daerah (DPD) PDI Perjuangan DI Yogyakarta yang mengantar 55 nama ke kantor KPU setempat.

Dari 55 nama itu, ada satu yang menarik perhatian, yaitu Andityas Bima Prasatya. Baru berusia 32 tahun, Satya adalah generasi milenial yang menyeruak di tengah daftar nama politisi senior, yang rata-rata sudah berumur lebih dari 45 tahun.

Eko Suwanto, Wakil Ketua Bidang Komunikasi Politik DPD PDI P DIY, menyebut ini sebagai bagian dari upaya membawa angin baru.

“Kami percaya pada energi anak muda, dan caleg milenial adalah bagian dari strategi kaderisasi sebenarnya. Lebih cepat mereka terlibat politik praktis, akan lebih baik. Harapannya, mereka membawa suasana segar dalam politik. Kalau kami menang dalam Pemilu Legislatif, lebih mudah bagi kami memenangkan Pak Jokowi dalam pilpres,” ujar Eko Suwanto.

Tumbuh dalam keluarga berpolitik, Satya mengaku memahami apa yang harus dilakukan dalam persiapan menghadapi kontestasi tahun depan. Namun, lebih dari itu dia sudah menerapkan strategi baru dan kerja-kerja sosial yang sudah dirintis lebih dari setahun yang lalu. Di daerah pemilihannya, yaitu Bantul Barat, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan sektor pariwisata cukup dominan. Karena itulah, dia terjun langsung dalam pembinaan UKM dan pendampingan pengembangan wisata berbasis masyarakat.

Pendekatan ini banyak berbeda dengan Caleg tua, yang sudah bisa dilihat gelagatnya sejak Idul Fitri lalu. Mayoritas lebih memilih memasang baliho besar di tepi jalan, daripada terjun langsung dalam program-program sosial bagi masyarakat. Satya meyakini, strateginya tepat, meski hasilnya tidak dapat dipastikan karena politik bukan matematika.

“Tidak ada ilmu pastinya, untuk kita yang terjun di politik ini, bahwa satu tambah satu akan sama dengan dua. Jadi, misalnya kita berteori, karena sering turun ke konstituen, kita rajin mendatangi mereka, maka kita akan lolos. Itu tidak ada teorinya,” kata Satya.

“Karena itu, yang pertama sikap saya adalah nothing to lose. Cuma, harapan saya, ketika saya ada dan menjadi bagian langsung dari masyarakat yang bersuara, saya berharap akan terjadi perubahan yang lebih baik,” kata Satya menambahkan.

Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Sumatera Selatan, Edi Susilo turut berkontestasi melalui Partai Nasional Demokrat.

Edi baru berusia 33 tahun, dan telah selesai menempuh pendidikan di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Selama kuliah, Edi aktif sebagai jurnalis kampus di Majalah Pendapa dan aktivis di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).

Begitu lulus, Edi pulang ke kampung halaman dan menjadi aktivis pertanian. Dia membuka Sekolah Tani, memimpin organisasi Petani Muda di OKU Timur sekitar dua tahun terakhir dan aktif mengorganisasi kaum tani. Dalam proses inilah, para petani itu kemudian mendorongnya untuk terjun langsung ke politik.

Edi mengaku dana pencalonannya tidak besar, hanya sebagian penjualan cabe dan hasil kebun lain. Namun dia percaya, modal sosial sebagai aktivis di tengah petani akan memberi sokongan lebih besar.

“Pencalonan ini, selain dari motivasi saya sendiri, juga karena dorongan dari teman-teman petani, terutama petani muda, karena saya adalah koordinator Petani Muda se Kabupaten OKU Timur,” ujar Edi.

“Dan ini murni, kami bergerak sendiri, dengan dana patungan dan terus bergerak. Dengan modal sosial yang saya miliki, saya yakin bisa untuk ikut bertarung dalam kompetisi ini dan bisa memenangkan pertarungan,” kata Edi menambahkan.

Agar lolos menjadi salah satu wakil rakyat di OKU Timur, Edi setidaknya membutuhkan sekitar 5 ribu suara. Optimismenya muncul, karena daerah ini didominasi petani.

Nasdem sendiri, kata Edi, memberi dukungan penuh bagi kandidat muda. Selain pengetahuan politik, mereka juga dibekali situasi yang mendukung. Nasdem tidak memberlakukan biaya pencalonan, dan bahkan memberi dukungan logistik bagi Caleg yang punya potensi menang.

Ketua DPP Bidang Media dan Komunikasi Publik Partai Nasdem, Willy Aditya, membenarkan bahwa generasi milenial memperoleh perhatian khusus. Mereka terus mendorong anak-anak muda untuk berani berpolitik, dengan menyediakan iklim yang sehat. Skema ini setidaknya telah berhasil di beberapa daerah di Lampung, di mana pimpinan DPRD kabupaten dari Nasdem diisi generasi milenial yang baru berusia kurang dari 35 tahun saat ini.

Willy percaya, situasi politik di Indonesia akan lebih modern pada tahun-tahun mendatang.

Seperti juga di Amerika, di mana media sosial berperan penting dalam pengelolaan isu dan menggaet suara pemilih. Nasdem, kata Willy, meyakini bahwa tidak ada cara yang lebih efektif melawan pola politik konvensional seperti politik uang, selain melalui media sosial.

“Kami tekankan penggunaan kampanye digital, juga tiga strategi yaitu on air, online dan on crowd. Ketiganya dilakukan dengan penguasaan isu lokal, karena kita meyakini bahwa inilah strategi paling tepat,” kata Willy.

Willy menambahkan Partai Nasdem nantinya akan membuka Sekolah Caleg karena ingin politisi generasi milenial tampil dan membawa semangat zaman.

Namun, seperti kata Satya di awal tadi, politik bukanlah matematika yang hasil akhirnya dapat diprediksi dengan tepat. Ada 100 juta lebih pemilih dari generasi milenial dalam Pemilu 2019 nanti. Apakah politisi muda ini akan memperoleh dukungan dari sebaya mereka? Jawabnya akan kita ketahui tahun depan.

 

Sumber : VoaIndonesia

Tinggalkan Balasan