Posted on / by Willy Aditya / in Catatan

Cerita Pemilu dan Nabi Nuh

Selama masa kampanye Pemilu 2019 ini aku selalu mendampingi Ketua Umum Surya Paloh (Ketum). Dalam satu kesempatan kami berkampanye di Sumatera Utara, ada acara inagurasi Partai NasDem yang dilakukan di Deli Serdang. Karena kakak sepupuku dinas dan juga tinggal di Deli Serdang maka aku mengabarinya. Mana tahu ada waktu untuk menyambung silaturahmi di antara kami di sana.

Eh, tanpa terduga ternyata kakak sepupuku datang beramai-ramai dengan abang sepupu serta keponakan. Ada delapan orang setidaknya yang datang.

Kami adalah keluarga besar Lubis. Walau tak menggunakan nama marga di penghujung namaku, tapi darah Lubis mengalir dari bapakku. Keluarga di seberang sana antusias sekali mendengar kabar pertemuan ini. Demi menghormati pertemuan itu, aku pun menyempatkan diri keluar dari ruang acara. Aku senang bukan main, walau sebulan yang lalu aku juga menyempatkan diri bertemu dengan mereka – bahkan dalam rombongan yang lebih lengkap. Kami bercerita tentang keluarga satu sama lain. Kami juga bercerita tentang pekerjaan, pendidikan, dan semuanya. Karena tidak sempat pergi makan keluar, kakak sepupuku akhirnya mengirimkan durian Ucok yang paling populer se-Kota Medan untuk keluarga di Jakarta.

Begitulah keluarga. Dan itu tak hanya bagi kami orang Tapanuli yang mengikatkan dirinya dalam Tarombo marga sebagai identitas dirinya, di manapun bahkan sampai kapanpun ia selalu menjadi eksistensi paling menonjol dalam relasi sosial manusia.

Sebelum bubaran kami sempat berfoto bersama untuk kemudian mempostingnya di laman medsos. Kami saling menandai (tag) satu sama lain untuk berbagi momen bahagia itu sekaligus berkabar pada sanak sodara yang tidak datang, lalu saling memberikan komentar sebagai tanda pelepas rindu.

Tapi pagi ini aku sedikit terusik oleh sebuah unggahan keponankanku di medsos, tentang berita-berita pemilu yang simpang siur. Bahkan saking ekstremnya, dia menyatakan akan berjihad untuk menjadi MCA (muslim cyber army) guna membela paslon 02. Menurutnya, telah terjadi kezaliman dalam hitung cepat (quick count) yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei terhadap paslon 02. Dalam benaknya muncul pertanyaan, mengapa begitu banyak data C1 plano di TPS yang disambanginya menyatakan bahwa 02 menang, akan tetapi yang dipublis dalam hitung cepat di semua televisi justru 01 yang menang.

Sebagai saudara aku merasa terganggu tentunya. Aku pun lalu membalas unggahan tersebut melalui DM, bertanya ada apa dan kenapa.

Dia bilang tidak mengapa. Aku membalas, “Ga papa, cerita saja.”

Lalu dia menulis panjang sekali. Mulai dari mengapa negara ini bisa begini; mengapa Jokowi disebut PKI; kalau 01 menang Islam disebutnya akan terpecah belah; hingga cerita-cerita yang mengerikan lainnya. Dia juga bercerita tentang ceramah di masjid-masjid yang membuat takut para jamaahnya dengan menyebut bahwa Islam tengah terancam.

Astaghfirullah…

Aku mengurut dada, dan sejurus kemudian aku mulai membalas unggahan tersebut. Aku memulainya dengan kisah wahyu pertama yang turun kepada Rasul Muhammad. Aku katakan padanya bahwa wahyu pertama kepada Nabi SAW berisi perintah untuk membaca. Iqra! Akupun memintanya untuk membaca dengan seksama apakah info yang didapatnya itu berupa berita bohong atau punya fakta empiris dan data obyektif di lapangan.

Tapi dia mencecar secara membabi buta dengan begini dan begitulah. Aku menarik nafas panjang, berpikir tidak mungkin dalam seketika bisa menggugah kesadaran dia, walaupun dia adalah bagian dari keluarga. Apalagi di era post truth model sekarang ini.

Di masa di mana kebenaran menjadi begitu samar ini, sekelompok orang hanya akan mempercayai apa yang dianggapnya benar saja. Jadi kebenaran mewujud bukan karena ia benar-benar benar melainkan apakah itu sesuai dengan “selera” kebenarannya atau kebenaran dari pihak lain. Di sini kebenaran obyektif menjadi nisbi karena telah dianeksasi oleh kebenaran subyektif: Yang benar datangnya harus dari kami atau kelompok kami atau kelompok yang menurut kami cocok dengan kami. Jika ia datang dari pihak lain, apalagi dari lawan kami maka itu bukanlah kebenaran. Ia adalah kepalsuan yang dibalut oleh anggapan bahwa itu adalah kebenaran.

Tidak hanya keluarga di Medan yang mengalami situasi seperti ini, keluarga di Ranah Minang pun tidak kurang dramatik. Walaupun saya sempat bercerita tentang situasi yang sebenarnya, lalu memberikan beberapa data dan fakta bahkan analisa, ternyata itu pun belum cukup. Bahkan alasan paling subjektif dan sentimentil pun akhirnya keluar dari mulutku, dan ternyata itu juga tidak mempan.

Kadang tidak habis pikir dengan kedegilan dan fenomena kedangkalan berpikir semacam ini. Namun aku harus berempati untuk bisa melihat sesuatu lewat sisi atau cara pandang orang seperti keponakanku ini. Dan sejauh terawanganku, mereka sebenarnya (dan tentu saja) berpikir. Namun cara dan metode berpikirnya digayuti oleh “keyakinan” yang susah untuk goyah. Jadi ada semacam keimanan mereka terhadap figur pujaan atau yang dijunjungnya. Dan ini mereka peroleh lewat narasi-narasi yang dibangun secara sistematis dan terstruktur sehingga menghasilkan sebuah cara berpikir tertentu.

Contohnya soal Islam yang terancam jika Jokowi menang kembali. Pernyataan sederhana ini begitu mengena di benak dan nalar mereka. Dan dalam benak mereka hal ini adalah benar adanya. Padahal jika ditelaah sedikit lebih dalam dan tenang, cerita model seperti ini adalah muskil adanya. (Muskil itu susah diterima oleh akal. Gak masuk akal, kata orang-orang)

Kenapa tidak masuk akal? Bagaimana mungkin Islam terancam sementara wakilnya Jokowi adalah Ketua MUI, Rais Syuriah PBNU, kyai, pemuka agama? Dan yang orang-orang itu lupa, lihatlah saat ini juga. Adakah Islam kini jadi terancam selama Jokowi jadi presiden? Bukankah orang-orang tetap bebas beribadah? Jangankan beribadah, memaki presiden pun begitu leluasanya publik dewasa ini.

Kasus HTI? HTI kan bukan Islam. HTI hanya salah satu organisasi yang dimiliki oleh kaum muslim di Indonesia. Tetapi dia bukan Islam itu sendiri. Buktinya organisasi Islam yang lain masih tetap berdiri dan beraktivitas. FPI saja masih eksis sampai saat ini. Padahal kerjaannya… (Anda tahu sendirilah)

Soal kriminalisasi ulama: Memang ulama itu cuma Habib Rizieq? Memang ulama itu Nabi yang terbebas dari salah dan dosa? Memangnya kalau ulama pasti otomatis terbebas dari hukum? Tentu saja tidak seperti itu.

Kalau logika-logika ini belum memuaskan juga, mari kita pergi jauh ke belakang, jauh sebelum Indonesia ini lahir. Di zaman kolonial Belanda, apakah kaum muslim di Nusantara tidak bisa beribadah? Tidak bisa salat, puasa, zakat, dsb? Begitu? Apakah jumlah orang Islam di Nusantara menyusut dan berganti agama semua menjadi Kristen??

Bahkan kaum muslim di Tanah Air waktu itu bebas pergi naik haji, belajar ke Mekkah, buka pesantren, dst. Kalau penjajah saja tidak mengancam dan mengungkung kehidupan beragama di negeri ini, apalagi sekadar seorang Jokowi? Kalau Belanda saja tidak mampu mengancam Islam selama 350 tahun masa penjajahannya, apalagi cuma seorang yang kurus, kerempeng, dan ndeso ini!

Tapi ini bukanlah hal yang baru. Kisah-kisah kedegilan seperti ini bisa kita temukan di banyak cerita dalam kitab suci. Seperti kisah Nabi Nuh, yang tidak berhasil meyakinkan anaknya untuk bisa berlayar bersama. Atau Nabi Luth yang tidak bisa menyadarkan istrinya sendiri. Demikian juga Nabi Ibrahim AS yang bertentangan dengan bapaknya.

Karena itulah Tuhan hanya memerintahkan kita untuk menyampaikan semata, dan tidak menyuruh kita untuk selalu berhasil.

Salam

Gondangdia, 19 April 2019

Tinggalkan Balasan