Posted on / by Willy Aditya / in Berita

Forum 2045 Gagas Proyek Bersama Jelang Pemilu 2024

YOGYAKARTA, BERNAS.ID – Dua pilpres terakhir ternyata masih menyisakan residunya hingga saat ini. Selesainya gelaran Pilpres 2019 ternyata tidak mengakhiri pengubuan yang direpresentasikan oleh dua istilah Cebong vs Kampret/Kadrun.

Bergabungnya Prabowo Subianto dalam Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin, tidak serta merta menyatukan bangsa ini untuk memulai kerja bersamanya lagi. Kenyataan ini menyampaikan kepada kita tentang tidak adanya upaya penyatuan kembali pascaketerbelahan 2019 hingga saat ini.

Karena itu, tidak heran jika kini warna serupa masih tampak di arena utama segala ekspresi kesumat itu: media sosial. Ini merupakan ekses dari semakin aksesibel dan berlimpahnya informasi di tengah-tengah kehidupan sosial warga masyarakat yang beririsan dengan berkembangnya warna ideologi di akar rumput pasca-Reformasi ’98.

Sayangnya, kehidupan politik kita secara umum masih belum beranjak dari kebanalan dan pragmatismenya. Tidak kurang menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang.

“Kenyataan ini berkelindan dengan literasi yang rendah dan daya kritis yang tumpul di tingkat akar rumputnya. Semua itu kemudian kawin-mawin hingga melahirkan apa yang disebut dengan populisme. Politik identitas pun menemukan momentumnya kembali untuk dimainkan demi tercapai atau terjaganya kekuasaan tanpa memperhitungkan beberapa impaknya terhadap bangunan kebangsaan kita,” kata Ketua Forum 2045 Untoro Hariadi, Selasa (15/11/2022) disela FGD Forum 2045 di UC UGM.

Menurutnya, kontestasi lima tahunan, baik itu pemilu, pilpres, maupun pilkada, adalah agenda berkala. Demokrasi merumuskannya agar sirkulasi kekuasaan tidak lagi diwariskan lewat aliran darah, baik yang berdasarkan garis keturuanan maupun yang tertumpah karena perebutan kekuasaan.

Oleh karena itu, ia hanyalah siklus yang sudah ditetapkan masa dan teknis pelaksanaannya. Tidak semestinya yang siklikal sifatnya harus mengancam sesuatu yang lebih pokok berupa bangunan kebangsaan dan kenegaraan kita.

Lalu, apakah yang harus kita lakukan? Untoro menyebut, “Setidaknya, ada dua hal yang harus menjadi perhatian kita bersama. Pertama, menjaga hingga menyeterilkan momentum Pilpres 2024 dari penggunaan kembali wacana dan praktik politik identitas yang merusak. Hal ini agar apa yang sudah mulai pulih dan mereda tidak menegang dan merenggang kembali. Kedua, merehabilitasi bangsa ini dari residu-residu seperti disebut di atas lewat upaya-upaya berupa proyek rekonsiliasi dan reintegrasi nasional.”

Namun benarkah kita harus melakukan hal tersebut? Tidakkah bangsa ini baik-baik saja? Jika tidak, dari manakah rekonsiliasi dimulai? Lewat proyek seperti apa proses reintegrasi dilakukan? Apa yang harus direkonsiliasikan? Apa yang mesti diintegrasikan? Siapa saja yang harus terlibat? Bagaimana memulai semua itu?

Menurut Untoro, ini bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab memang. Namun, langkah awal harus dimulai. Kesadaran ini harus didakwahkan terus menerus sebagaimana para penyeru kebencian di jagat medsos terus melanggengkan polarisasi yang terjadi. Sebab proyek Indonesia Raya tidak hanya berhenti untuk 100-200 tahun ke depan, melainkan selama hayat masih dikandung oleh badan bangsa ini.

Karena itulah diskusi bertema Common Project Rekonsiliasi dan Reintegrasi Nasional digelar oleh Forum 2045. Tema ini akan menyajikan tinjauan dari berbagai aspek, mulai dari level manusia sebagai makhluk yang berpikir (neuro sains), sebagai anggota sekaligus pembangun komunitas sosial (sosiologi), sebagai zoon politicon atau manusia yang berpolitik (ilmu politik), dan juga dari tinjauan perkembangan media yang semakin advance (komunikasi massa/sosial), serta tinjauan dunia teknologi digital yang terus berkembang utamanya sebagai teknologi informasi.

Tema ini penting untuk terus digaungkan tidak hanya dalam upaya menjaga eksistensi negara-bangsa yang kita cintai, Republik Indonesia, dari potensi perpecahan, kekerdilan budaya, hingga involusi kebangsaan.

“Lebih dari itu, proyek semacam ini juga penting untuk disemarakkan dalam rangka terus-menerus menemukan identitas keindonesiaan kita yang masih berproses di usianya yang ke-77,” tutur Untoro.

Sementara itu politisi Partai NasDem Willy Aditya, dalam acara tersebut menyebut, acara semacam inilah yang harus diperbanyak dan disuarakan terus menerus. Terlebih menjelang pesta demokrasi 2024 nanti.

“Saya kira kita telah alpa usai Pilpres 2019 kemarin. Rekonsiliasi yang dibangun pascapilpres hanyalah rekonsiliasi di level elit. Sementara di level bawahnya terabaikan. Inilah yang menyebabkan potensi terjadinya polarisasi masih cukup terlihat. Apalagi sepertinya ada yang terus mengorkestrasi sentimen politik identitas, terutama di medsos,” kata Willy.

Oleh karena itu, dia melanjutkan, dibutuhkan upaya serta itikad yang kuat dari para pelaku politik untuk mencegah berlanjutnya keterbelahan seperti di tahun-tahun sebelumnya. Di sinilah dibutuhkan negarawan. Karena negarawan adalah mereka yang senantiasa mengorientasikan semangat persatuan saat kekuasaan ada di tangannya.

“Yang membedakan antara politisi dengan negarawan adalah political obligation saat dia berkuasa untuk menjalankan proyek persatuan nasional dalam bentuk rekonsiliasi,” tegas Willy.

Diskusi yang dikemas dalam bentuk Focus Group Discussion ini menghadirkan narasumber, Pakar Neuro Sains dr. Roslan Yusni Hasan, Sosiolog Robertus Robet, Pakar Ilmu Politik Airlangga Pribadi Kusman, Praktisi Telematika MS. Manggalany, serta Pakar Komunikasi Massa Wahyu Riawanti.

Dokter Ryu Hasan, begitu dia akrab disapa, adalah seorang Pakar Neurosains Indonesia yang telah melakukan berbagai riset tentang pola kerja otak dikatkan dengan perilaku manusia. Berbagai kajian dan keahliannya telah diakui oleh dunia internasional.

Sementara Robertus Robet adalah seorang sosiolog sekaligus dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta. Selain sebagai sosiolog, dia juga dikenal sebagai aktivis demokrasi dan penulis buku menaruh perhatian yang besar terhadap isu-isu politik kontemporer seperti kajian tentang republikanisme.

Dua bukunya yang mengulas tema tersebut adalah Republikanisme dan Keindonesiaan (2007) serta Republikanisme: Filsafat Politik untuk Indonesia (2021).

Selain dosen di Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi adalah seorang penulis sekaligus pembicara aktif di berbagai tempat. Ulasannya tentang dinamika politik kontemporer banyak ditemui di berbagai media nasional. Minatnya yang besar pada sosok Sukarno sering membawanya ke berbagai seminar dan acara diskusi tentang nasionalisme dan tema-tema kebangsaan lainnya.

Adapun nama MS Manggalany memang tidak begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia. Namun kiprahnya di dunia telematika cukup meyakinkan. Dia pernah menjadi Wakil Ketua Tim Insiden Keamanan Internet dan Infrastruktur Indonesia atau yang dalam bahawa internasional disebut dengan Indonesia Security Incident Response Team on Internet and Infrastructure (ID-SIRTII). Lembaga itu bertanggung jawab terhadap keamanan penggunaan internet di seantero Nusantara.

Adapun Wahyu Riawanti adalah peneliti di Pemda DIY serta dosen tamu di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Dalam paparannya, Wahyu Riawanti menjelaskan bahwa perkembangan teknologi saat ini menjadi sangat cepat sehingga penggunaan ruang media dalam konteks digitalisasi menjadi sangat luas. Dan peran media Sosial menjadi hal sangat signifikan dalam dseminasi informasi.

“Dari data yang kami dapatkan bahwa Indonesia menempati peringkat paling buruk dalam tingkat kesopanan di media sosial , ini masuk dalam Digital Civility Index atau DCI , bahkan ada tiga hal yang cukup dominan yakni Hoax Ujaran Kebencian serta diskriminasi, nah inilah kualitas yang harus kita perbaiki di masa datang,” ujar pegawai Pemda DIY ini.

Peliput: bernas.id

Tinggalkan Balasan