Indonesia di Jalan Restorasi
ISBN : 978-602-4363-0-1
Cetakan Pertama : Juli 2013
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Populis Institute
PENGANTAR
Warga Lhokseumawe memadati Kafe Cek Q di perempatan jalan Malikul Saleh. Jarum arloji menunjuknangka 10. Saya memesan segelas Sanger, kebiasaan saya setiap berkunjung ke Aceh. Seraya menikmati kopi susu yang terasa mantap itu saya memandangi keramaian warga yang memadati kafe. Tua, muda, alim ulama, hingga teuku dan tengku. Semua ada. Pemandangan ini tak ubahnya jamuan Lebaran usai salat Ied. Sejurus kemudian, seorang berbadan tinggi besar dengan penuh wibawa turun dari Toyota Alphard. Mendadak sontak orang ramai mengerumuninya. Ada yang bersalaman, ada yang menitikkan air mata, ada yang bersalawat, dan sesekali terdengar teriakan, “Hidup Surya Paloh!”.
Rupanya figure yang gencar mengusung gerakan perubahandengan platform Restorasi Indonesia ini ditunggu dengan penuh harapan. Kehadirannya pagi itu langsung menimbulkan kesan pancaran kekuatan tertentu yang memberi harapan baru, seperti mentari pagi bagi makhluk bumi. Mungkin demikianlah mengapa dia diberi nama Surya Paloh, frasa yang berasal dari bahasa Sanskerta. Surya yang lahir di ujung barat bumi Nusantara-tanah yang pernah disinggahi Christopher Colombus yang kemudian disebutnya Lambri dalam logat Eropa.
Lakunya persis sama dengan nama yang menjadi doa ayah bundanya. Dia terbit laksana sang surya menyinari bumi pergerakan. Tak kenal lelah. Taka da setitikpun keraguan dalam komitmennya untuk memberikan energi bagi kemajuan bangsa yang dicintainya. Pancaran energi inilah yang menjadi magnet utama bagi kaum pergerakan untuk berhimpun di bawah kepemimpinannya. Pekerja pers, aktivis pergerakan, dan sahabat separtai biasa memanggilnya dengan sebutan Bung Surya. Bung adalah sapaan akrab di kalangan kaum pergerakan. Sebagai seorang aktivis pergerakan, saya memiliki perasaan tersendiri ketika berdialektika dengan Bung Surya.
Berkenalan dengan Bung Surya seperti menjawab pencarian saya ata sosok Sukarno. Sebagai seorang Sukarnois, sata melahap semua pamphlet Bung Karno sebagai ideology yang menuntun perjuangan. Inilah alas an saya mempersembahkan skripsi kesarjanaan bertajuk Filsafat Politik Sukarno. Sebagai seorang pemuda dan anak bangsa, sering saya mendambakan munculnya sosok pemimpin seperti Bung Karno. Saya mendapati visi, integritas, semangat, serta kehangatan Bung Karno-dalam menuntun kader-kadernya bertarung di medan pergerakan-dalam sosok Bung Surya. Saya merasakan semangat dan aksi-aksi Bung Karno dalam gagasan politik Bung Surya hari ini. Kemampuan pidato Bung Surya yang menjadi manifestasi gelora semangat Bung Karno, menjawab puncak kerinduan saya akibat keringnya sosok pemimpin bangsa. Pemimpin yang seharusnya menjadi suluh di tengah-tengah rakyat Indonesia, sebagai ikhtiar untuk menyambungkan kembali garis kebangsaan yang mulai terputus-putus.
“Kita dipertemukan oleh sejarah, Bung! Aku seorang Sukarnois dan begitu pula kau. Ini kehendak zaman,” ujar Bung Surya sambil merangkul saya dengan hangat suatu kali. Perasaan yang luar biasa; seorang pemimpin yang saya kagumi, hormati, dan saya junjung melontarkan kalimat-kalimat tersebut. Seringkali seorang pemimpin sangat berjarak dengan kader, apalagi rakyatnya. Tetapi figur Bung Surya hadir dengan apa adanya. Dia hadir dengan kehangatan di tengah anak-anak muda dalam proses pencarian figure pemimpinnya.
Benar adanya, setiap pemimpin lahir dan dibesarkan oleh zamannya masing-masing. Karena itu, kehadiran Bung Surya sebagai pemimpin kaum pergerakan nasional menjadi sangat penting untuk disampaikan. Tetapi yang paling penting dari itu adalah bagaimana menyebarluaskan pokok-pokok pikirannya. Saya tak hendak membandingkan Surya Paloh dengan Sukarno sebagai peletak sendi Indonesia merdeka, atau dengan pemilik surat kabar Warren Harding yang menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, bahkan tidak pula dengan orang Indian Evo Morales yang berhasil mengembalikan kedaulatan bangsanya. Saya ingin menegaskan, bahwa dalam konteks pergerakan kita bisa menarik benang merah: mereka semua lahir, besar, dan berjuang memuliakan peradaban bangsa masing-masing.
Bung Surya lahir dari rahim pergerakan aksi-aksi jalanan sebagai bagian dari spirit perubahan angkatan ’66. Bung Surya juga hadir sebagai pemimpin pergerakankaum muda di bawah rezim represif Orde Baru sebagai avant-garde kebebasan berekspresi bagi pers, sampai harus mengorbankan media yang dipimpinnya pada eran 80-an.
Tugas–tugas actual gerakan selalu saja mengalami kebaruan. Hari ini, Bung Surya masih tegar berdiri di garda terdepan pergerakan nasional. Konsistensi sikap, tindakan, dan visi untuk sebuah Indonesia baru inilah yang membuat saya menuliskan apa yang menjadi pikiran dan tindakan Bung Surya dalam memimpin dan menggelorakan gerakan perubahan di bumi Zamrud Khatulistiwa ini.
“Ini momentum perubahan, Bung!” Begitu tandasnya dalam salah satu kelas politik pada kade-kader muda tulang punggung gerkan perubahan. Nalar sehat saya langsung mengerucut, bahwa tidak ada perubahan kualitatif tanpa teori yang progresif. Alasan inilah yang membuat saya kemudian membukukan gagasan-gagasan politik Bung Surya secara detail. Kesempatan berdialektika dalam gerakan perubahan yang sedang dipimpin Bung Surya menjadi referensi utama bagi saya dalam mendokumentasikan setiap momen, statemen, dan tindakannya.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada Bung Surya atas dorongannya bagi saya sehingga dapat menyelesaikan buku yang saya beri judul Indonesia di Jalan Restorasi: Politik Gagasan Surya Paloh. Rasa hormat juga saya haturkan kepada keluarga, sahabat separtai, dan kawan seperjuangan yang banyak memotivasi saya menyelesaikan buku ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan di Populis Institute dan almarhum Djaffar Assegaf yang secara khusus meminta saya mendokumentasikan pikiran-pikiran Bung Surya.
Selamat Membaca literatur politik kekinian dan selamat berdialektika untuk politik Indonesia yang lebih tercerahkan dan bermartabat untuk membangun peradaban yang memanusiakan.
Jakarta, 1 Juni 2013.
Willy Aditya