Isu-isu Kontroversial Harus Cepat Direspon
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan tim kerjanya perlu merespons secara cepat dan tepat terhadap isu-isu yang menjadi polemik di masyarakat. Respons cepat itu dilakukan dengan cara memberikan penjelasan terkait kebijakan yang diambil pemerintah agar isu-isu itu tidak menjadi bola liar yang dimanfaatkan oleh lawan politik.
“Jangan dibiarkan menjadi bola liar, karena bisa merusak citra Jokowi dan menciptakan persepsi negatif terhadap pemerintahannya,” ujar pengamat politik Sebastian Salang di Jakarta, Selasa (1/8).
Dikatakan, saat ini lawan-lawan politik tentunya sedang mencari kelemahan Jokowi demi kepentingan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kalau tidak menemukan kelemahan Jokowi, kata dia, mereka pasti akan “menggoreng” kebijakan-kebijakan Jokowi dengan mencari-cari titik lemahnya.
“Padahal, terkadang tidak substansial dan tidak benar, tetapi akan digoreng terus seolah-olah kebijakan Jokowi salah, tidak prorakyat, tidak proumat Islam, atau Jokowi gagal,” ujarnya. Dengan waktu yang tersisa 2 tahun, kata Sebastian, Jokowi dan timnya harus segera memberikan penjelasan kepada publik terkait isu-isu dan kebijakan yang menjadi polemik di masyarakat.
Bahkan, ujarnya, jika Jokowi dan timnya bisa menjelaskan dengan baik kepada publik, hal itu bisa memberikan nilai tambah. “Tidak ada cara lain dalam melawan isu-isu tersebut selain Jokowi dan tim kerjanya memberikan penjelasan yang terperinci, jelas, dan terang,” katanya.
Pengamat politik Ray Rangkuti menyebutkan dua isu artifisial dan tidak substansial bakal “digoreng” secara masif oleh lawan politik Jokowi untuk mendiskreditkan pemerintahannya. Upaya ini dilakukan agar Jokowi tidak terpilih lagi di Pilpres 2019.
Isu pertama, kata Ray, Jokowi disebut gagal dalam memerintah sehingga tidak mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Turunan dari isu itu, kata dia, adalah adanya utang yang besar, subsudi listrik yang dicabut, angka kemiskinan yang meningkat, dan terlalu dekat dengan pemerintahan Tiongkok.
“Isu besar yang kedua adalah Jokowi tidak pro terhadap umat Islam dengan isu turunannya adalah kriminalisasi ulama, penerbitan Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), termasuk usul penggunaan dana haji untuk proyek infrastruktur yang sedang ramai belakangan ini,” kata Ray.
Menurutnya, kedua isu tersebut diangkat bukan persoalan benar atau salahnya, tetapi digunakan untuk menciptakan persepsi negatif terhadap Jokowi. Dia mencontohkan masalah dana haji, yang diperdebatkan bukan masalah boleh atau tidak dana haji itu diinvestasikan, tetapi yang muncul adalah Jokowi tidak pro umat Islam dan memanfaatkan dana haji tidak sesuai dengan peruntukannya.
“Padahal, yang substansial adalah apakah dana haji boleh diinvestasikan? Jika boleh, bagaimana mekanisme supaya dana tersebut tidak hilang. Namun, yang muncul justru isu-isu lain yang langsung menyerang Jokowi,” tuturnya.
Dia menyarankan agar Jokowi dan timnya memperbaiki komunikasi politik dan tidak membiarkan isu-isu kontroversial itu menjadi bola liar. “Jokowi perlu mengoptimalkan kerja dari timnya, terutama yang berada di Istana dan para menteri. Mereka harus memberikan penjelasan kepada publik secara gamblang dan terperinci terkait kebijakan yang diambil pemerintah,” tuturnya.
Lebih Cepat
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, “tahun politik” menjelang Pemilu 2019 datang lebih cepat. Serangan terhadap Jokowi terkait dengan kebijakan yang diambil akan semakin masif.
“Terkait 2019, memang tahun politik datang lebih cepat, karena Jokowi juga bekerja baik dan dirasakan sampai ke pelosok. Pemerataan pembangunan benar-benar dirasakan. Makanya, para lawan politik selalu mencari celah,” kata Willy.
Menurutnya, pada Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasang kandidat membuat kondisi politik panas. Kondisi itu, katanya, akan terus berlanjut hingga 2019. “Kita lihat saja sejak 2014 serangan ke Jokowi tidak pernah berhenti. Semua kebijakan Jokowi akan mendapatkan kritik dan serangan, bahkan kebijakan yang baik sekali pun,” katanya.
Salah satu contoh serangan yang terjadi belakangan ini adalah soal usulan penggunaan dana haji untuk proyek infrastruktur. Isu itu terus “digoreng” untuk menjatuhkan citra pemerintahan. Padahal, jika dirunut kebelakang, kebijakan soal dana haji itu tidak hanya kali ini saja digunakan.
“Itu kan (dana haji) sudah dipakai sejak 2009 melalui SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) atau sukuk untuk pembiayaan pemerintah, termasuk infrastruktur. Sifatnya pasif dan risikonya juga nol, karena dijamin pemerintah,” ujar Willy.
Bedanya dengan yang dulu, kata dia, pemerintahan Jokowi saat ini sangat terbuka dan transparan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, ide tersebut disampaikan dulu untuk meminta tanggapan publik. “Jika kita jujur, ini pertanda pemerintahan Jokowi sangat demokratis dan terbuka terhadap masukan masyarakat,” ujarnya.
Politisi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, ada kesan kalau sejumlah isu, termasuk soal pengelolaa dana haji, itu terus “digoreng” untuk menjatuhkan citra Jokowi dalam rangka Pilpres 2019. Ketua DPP PDI-P itu mengakui, isu penggunaan dana haji untuk investasi sektor infrastruktur memang rawan dipelintir lawan politik.
“Ini dengan mudah bisa diarahkan ke mana-mana, seakan-akan mudah disalahgunakan pemerintah. Apalagi, investasinya jangka panjang,” kata Hendrawan. Hal itu, menurut dia, telah mendorong Presiden Jokowi untuk muncul dengan pernyataan penegasan bahwa pengunaan dana haji harus sesuai undang-undang.
Menurutnya, situasi politik saat ini memang terus memanas, sehingga berbagai hal akan digunakan lawan politik demi memperburuk kesan masyarakat atas kerja keras pemerintahan saat ini. Dia pun menyinggung pertemuan antara Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Dalam pertemuan itu, parpol pendukung pemerintah berusaha didelegitimasi hanya karena kekalahan kubu oposisi dalam pembuatan UU Penyelenggaraan Pemilu. “Ketika kami tak bisa membuat paket pimpinan DPR, sehingga ada keganjilan di mana tidak ada pimpinan DPR dari parpol pemenang pemilu, mereka tertawa. Sekarang, ketika syarat presidential threshold (Pres-T) 20%-25% yang sudah disahkan MK sebagai open legal policy, justru mereka mempermasalahkan. Ini, khan, lucu,” ujarnya.
Sumber : Berita Satu