Kartu Kuning Presiden dan Legasi Para Demonstran
Demonstrasi adalah bagian dari jati diri mahasiswa. Ia adalah ekspresi dari entitas yang menjadi simbol demokrasi ini. Kemerdekaan berpendapat dan kreatif dalam aksinya, menjadi bagian yang tak terpisahkan. Apalah jadinya mahasiswa jika tak berani berekspresi sekaligus berkreasi. Apalah arti menjadi mahasiswa jika ia tak pernah berdemonstrasi.
Memberikan presiden sebuah kartu kuning adalah peringatan sekaligus ekspresi keberanian seorang mahasiswa. Sementara pemilihan momen disampaikannya ekspresi tersebut adalah bagian dari kreatifitas. Memang itulah jatidiri mahasiswa. Ekspresif sekaligus kreatif. Jika bertemunya antara BEM UI dengan presiden sesuai dengan yang diagendakan maka itu bukan lagi demonstrasi melainkan audiensi. Kalau di masa Orde Baru dulu namanya “temu wicara”.
Naif dan sok paling benar itu juga bagian dari karakter mahasiswa. Semua yang tidak sejalan dengan pikiran mereka, akan dianggap salah. Mereka tak ubahnya para penonton bola yang mudah menyalahkan para pemain di lapangan namun dia sendiri belum tentu becus memainkan si kulit bundar itu. Tetapi memang harus begitu seorang penonton atau seorang oposan berlaku. Adalah tugas mereka untuk mengkritik jika memang ada yang dipandangnya salah atau mengecewakan. Sebab kalau cerdik dan bijaksana itu bagiannya para filosof.
Sebagai pendukung dan bagian dari “Bejo” (bukan hanya ‘bela’, tapi bahkan ‘bemper’ Jokowi), saya justru mengapresiasi aksi Ketua BEM UI. Itulah sejatinya mahasiswa yang selalu menyuarakan suara kritis kepada penguasa, sesempurna apapun penguasa itu. Sebab dalam fatsunnya, tidak ada penguasa yang sempurna. Oleh karena itu dalam khasanah politik ada adagium power tends to corrupt, kekuasaan akan selalu cenderung pada penyelewengan. Jadi memang sudah hukum alamnya jika penguasa dikontrol dan mahasiswa yang senantiasa menjadi agen kontrolnya.
Saya justru akan kecewa jika mahasiswa tidak melakukan demonstrasi tatkala ada penguasa datang ke kampusnya. Sebab sesungguhnya itu adalah ekpresi cinta yang paling tinggi dari mahasiswa terhadap penguasa. Tanpa ekspresi kontrol seperti itu justru seorang penguasa akan terperosok dalam kejumawaan dan menganggap dirinya tanpa cela. Dan itu akan menyalahi hukum keseimbangan kosmos politik. Justru dengan adanya aksi mahasiswa, seorang penguasa akan senantiasa diingatkan untuk selalu amanah terhadap janji dan sumpahnya sebagai pejabat publik.
Apalagi di masa seperti sekarang ini, saat di mana warga seperti terbelah dalam dua kategori: haters dan lovers. Dua kategori yang sama-sama membutakan ini telah membuat kualitas demokrasi kita tidak hanya banal akan tetapi juga dekaden. Oleh karena itu, tampilnya kembali simbol kekuatan kritis mahasiswa menjadi harapan tersendiri bagi demokrasi yang sehat bagi negeri ini.
Tidak perlu diambil pusing apakah aksi mahasiswa itu pesanan si A atau si B. Adalah hak mereka untuk bersepakat dengan gagasan atau sikap politik tertentu. Dahulu saat mahasiswa belum terkungkung oleh Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), mahasiswa biasa bergulat satu sama lain – baik dalam arti yang sebenarnya maupun adu gagasan dan pandangan. Di antara mereka yang nasionalis, sosialis, agamis, bahkan komunis, tidak jarang terjadi adu debat dan juga adu otot. Dan itu semua dilandasi dengan keberpihakan mereka pada nilai dan idealisme yang diyakininya. Karenanya, bagi saya setidaknya, tampilnya sosok Zaadit justru menjadi penanda bahwa mahasiswa belum “habis”. Di saat sebagian besar mahasiswa lainnya hanya berkubang dalam diktat dan kuliah yang penat, ternyata masih ada suara perlawanan yang keluar dari elemen sivitas akademika kampus. Itulah sejatinya suara murni kampus. Itulah isi sanubari kampus yang sesungguhnya.
Akan lebih indah jika aksi Zaadit menjadi momentum kembalinya gairah hidup gerakan mahasiswa Indonesia yang menampilkan keberanian sikap, kedalaman analisis (radikal), dan kejernihan dalam melihat realitas (yang tidak empirik semata). Sebab, sejatinya gerakan mahasiswa bisa lebih dari sekadar demonstrasi. Khitah gerakan mahasiswa adalah membuka kembali dunia kampus untuk diisi oleh aktivitas politik setelah diperdaya kebijakan Orde Baru. Politik bukanlah semata partai politik atau sekadar kontestasi pemilu semata. Identifikasi politik sebagai sesuatu yang kotor juga salah. Itu hanyalah kamuflase buah kebijakan NKK/BKK dulu. Lebih dari itu, politik adalah aktivitas kebajikan yang bisa dilakukan oleh setiap warga dalam upaya menemukan yang terbaik buat kehidupan bersama. Dan dunia kampus mestinya punya peran lebih dalam hal tersebut.
Oleh karena itu, kejadian dalam acara Dies Natalis UI beberapa waktu lalu adalah kejadian yang lumrah dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Dulu Sukarno pernah digugat oleh ribuan mahasiswa bahkan direncanakan akan dibunuh. Di masa Soeharto entah berapa kali mahasiswa turun ke jalan menyampaikan gugatan dan hujatannya. Di masa Habibie, tak kurang darah dan airmata menetes saat mahasiswa menyuarakan protesnya. Demikian juga di masa presiden selanjutnya: Gus Dur, Megawati, SBY, semua mengalami sapaan paling mesra para demonstran itu. Di sisi lain, menjadi penguasa memang harus siap dengan segala hal. Hinaan, cacian, rupa-macam tuntutan, suara ketidakpuasan, hingga ancaman pembunuhan, sudah harus disadari sejak saat ia mulai berkuasa. Aksi demontrasi hanyalah bagian kecil di antaranya. “Berkuasa itu berat, karena itu, biar aku saja,” begitu kira-kira mental sejati penguasa jika menggunakan ungkapan ala Dilan 1990.
Lalu mengapa kini kita seperti baru menemukan kejadian seorang presiden digugat? Reaksi-reaksi yang tidak proporsional justru membuat perkara lumrah ini menjadi tidak wajar. Terutama bagi pendukung pemerintah. Seolah-olah demonstrasi baru terjadi dalam sejarah bangsa ini. Bahwa itu dilakukan dengan cara yang tidak biasa, itu bagian dari manajemen aksi yang mereka lakukan. Dan itu lagi-lagi wajar. Memang begitulah demonstrasi. Respon dan reaksi atas aksi Zaadit yang lebay, over, dan sejenisnya, ini yang justru merugikan bagi pendukung, Presiden, dan terlebih bagi demokrasi itu sendiri.
Demonstran adalah penanda, demonstran adalah puncak eksistensi keberanian anak muda yang penuh idealisme. Karena dia akan mengoposisi apapun dan siapapun yang berada dalam ranah kekuasaan. Memang terkesan naif tapi itulah demonstran dengan segala yang melekat dan pekat dalam darah muda yang membuncah.
Sekali lagi, sebagai pendukung sekaligus bempernya Jokowi, saya ingin mengajak semuanya untuk proporsional dan wajar menyikapi kejadian yang juga biasa ini. Ini penting agar nalar dan demokrasi kita tetap sehat dan tidak terus-menerus terjebak dalam praktik dan kesadaran politik yang picik.
Sebagai seorang demonstran saat menjadi mahasiswa di Jogja dan terlibat dalam aksi penggulingan Soeharto dulu, saya paling ingat dengan kata-kata mutiara dari Pramoedya Ananta Toer: didiklah rakyat dengan organisasi; didiklah penguasa dengan perlawanan. Dan tugas mendidik penguasa itu ada dalam diri mahasiswa. Inilah legasi yang tak ternilai untuk para demonstran, jatidiri mahasiswa Indonesia. Hidup mahasiswa!
18 Februari 2018