Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019)oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, menurutnya, tidak bisa dilihat berdiri sendiri. UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai dua negara tersebut.
“Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia, UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu,” ujarnya.
Politikus muda Partai Nasdem itu menegaskan, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Menurutnya, membela hak asasi manusia warga Uighur harus didasarkan pada prinsip kemanusian dan imparsialitas.
“Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokkan China berubah total, setelah tahun 2017 ini justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu,” kata Willy memungkasi.