Kebangkitan (Politik) Nasional
“Kau manusia lihatlah betapa kami merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.” – Als ik eens Nederlander was
Kutipan dari tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal itu bernada sinisme, yang diistilahkan olehnya ibarat membangunkan bangsa besar dari tidurnya. Jika aku seorang Belanda, merupakan satu permulaan kebangkitan api semangat kemerdekaan. Semangat ke-Indonesiaan yang dimulai oleh kaum terdidik, yang melalui mereka melakukan pencerahan bagi jutaan masyarakat Indonesia yang diterbodohkan oleh penjajahan. Semangat kebangkitan nasional, kesadaran pribadi warga negara terhadap entitas kebangsaan bukanlah kesadaran sosial semata, namun sangat politis.
Memasuki abad 20, kesadaran-kesadaran sosial atas persamaan nasib sebagai bangsa terjajah menggerakkan kalangan terdidik pribumi untuk berkumpul. Boleh saja disebut organisasi Boedi Oetomo di 1908 sebagai organisasi pertama yang menjadi cikal bakal kesadaran nasional, atau munculnya Serikat Dagang Islam tiga tahun sebelumnya sebagai benih perlawanan terhadap dominasi dagang yang menyulitkan pengusaha batik. Tapi catatan sejarah yang menunjukkan kedua organisasi itu akhirnya menyadari tak mampu berbuat lebih jika tidak berjuang di ranah politik. Kemunculan Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, Parindra, bahkan Serikat Dagang Islam berganti nama menjadi Serikat Islam, dan organisasi bersifat politis lainnya muncul dengan membawa tujuan-tujuan perjuangan atas nama Indonesia untuk cita-cita kemerdekaan.
Benar bahwa spirit kebangkitan nasional adalah spirit yang tak hanya mengecam penjajahan oleh bangsa asing, tapi juga semangat otokritik terhadap bangsa sendiri, yang masih tak legowo menanggalkan feodalisme di lautan keringat saudara sendiri. Semangat kebangkitan nasional adalah disobedience rakyat tertindas atas kekuasaan raja-raja kecil yang ketakutan kehilangan tanah dan penghasilan. Spirit kebangkitan itu pula yang memunculkan tokoh-tokoh nasionalis sebagai kontra bagi kaum priyayi yang mengecewakan rakyat. Sejarah pun masih mengingatkan kita tentang evaluasi rakyat atas kualitas kepemimpinan bangsa sendiri di masa itu. Dan setelah 105 tahun kita memperingati hari kebangkitan nasional hari ini, maka setelah satu abad lebih kita diminta kembali untuk mencari pemimpin yang mampu menerjemahkan spirit itu dalam konteks Indonesia modern.
Jika kita memperhatikan perkembangan masyarakat dulu dan kini secara dialektis, maka kita akan menemukan spirit dan denyut nadi dari pergerakan kebangkitan nasional ini. Melalui tulisan fenomenal di atas dan tulisan-tulisan lainnya dari banyak tokoh di abad 20, kebangkitan kesadaran nasional dalam pergerakan politik. Tujuan tokoh kebangkitan nasional adalah membentuk suatu kesadaran politik dan kekuatan politik bagi bumiputra. Sebuah tugas untuk mendidik publik menuju kesadaran politik (political consciousness) yang dikoreksi oleh Moh. Hatta dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), setelah Soekarno ditangkap tahun 1929. Setiap isu tentang kebangkitan dan persatuan bangsa adalah isu politik yang seharusnya menjadi kesadaran bagi setiap warga. Namun berangkat dari potret politik dan tokoh politik yang menyesaki freskuensi publik saat ini, apakah masih bersemangat perjuangan yang sama dengan Haji Agus Salim di Hindia Belanda atau Moh. Hatta dan kawan-kawan di Belanda kala itu?
Jika semangat kebangkitan nasional hanya kita kaji sebagai momentum setahun sekali belaka, maka kita tidak akan pernah belajar dari hal ini. Oleh karenanya, kita perlu menyadari, bahwa kebangkitan nasional adalah kebangkitan politik. Kebangkitan yang lahir untuk menginternalisasikan nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan dalam politik negeri ini. Boleh jadi masa kebangkitan nasional di awal abad 20 begitu riuh dengan berbagai partai, dialektika bermacam ideologi, dan keluar masuk penjara bagi pemimpinnya akibat aktivitas politiknya. Sedangkan kebangkitan nasional abad 21 ini riuh dengan pemberitaan media massa, bukan berisi propaganda pergerakan tapi soal tingkah polah politisi dan parpolnya, dialektika berbau kepentingan kelompok, dan keluar masuk penjara karena terindikasi korupsi.
Tidakkah kita telah membuat distorsi terhadap politik itu sendiri? Bahwa partai politik yang dulu menjadi kristalisasi semangat kebangkitan nasional sekarang menjadi antitesa bagi peran pentingnya itu. Jika ingin berterima kasih kepada pihak yang telah mengakarkan kesadaran kebangkitan nasional, maka kita patut berterima kasih kepada partai politik. Tapi mengapa itu patut diberikan, karena orang-orang di dalamnyalah yang menjadi motor penggerak, inspirasi pergerakan, guru kader, dan kaum intelektual partai politik kala itu. Bagi mereka, politik adalah soal berjuang, menggerakkan, dan soal harapan serta cita-cita. Seperti kata Douwes Dekker tentang tujuan Indische Partij adalah soal hak kita menjaga negeri sendiri, patriotisme yang harus kita penuhi dan harus kita dapatkan.
Pemilu: Kebangkitan Politik Nasional
Kenyataan politik hari ini, adalah distorsi yang diciptakan oleh aktor politik itu sendiri. Ketika keikhlasan masyarakat mempercayakan hidup mereka kepada segelintir orang bukan dimaknai sebagai tuntutan mewujudkan kebangkitan nasional. Apatisme publik terhadap politik adalah buah dari ‘perilaku menyimpang’ segelintir orang. Lalu bagaimana lagi kita hendak memaknai kebangkitan nasional sebagaimana adanya? Masihkah kita percaya akan ada generasi seperti Moh. Hatta, Soekarno, atau Tan Malaka di sistem politik kita?
Jika kita berbicara kebangkitan nasional hari ini, maka kita juga berbicara optimisme. Karena setiap zaman melahirkan anak-anaknya, yang akan menjadi pejuang di zamannya. Dahulu para tokoh lahir dalam seleksi hidup ketat di tanah jajahan, menyeruak ke kerumunan dengan keyakinan maju yang dimilikinya, yang bisa melampaui pemikiran di zamannya. Seleksi tokoh politik kita dalam Indonesia kini adalah saluran politik formal, yang diselenggarakan oleh negara melalui proses pemilu. Dari proses demokrasi ini menpercayakan nasib kebangsaan kita pada tokoh yang namanya tersurat dalam kertas suara. Seperti iklan yang kita dengar sebelum pemilu, menentukan nasib negara, hanya 5 menit untuk 5 tahun, jangan salah pilih.
Jika kita masyarakat Indonesia diminta untuk memilih 5 menit untuk 5 tahun, maka jangan lupa bahwa kita juga memiliki kekuasaan untuk menilai track record. Bukan hanya 5 menit, tapi 5 tahun lamanya. Pun di saat sinisme yang muncul akibat 90,5 persen anggota DPR mencalonkan diri kembali pada pemilu 2014 nanti, sehingga diperkirakan kualitas parlemen tidak akan ada perubahan berarti. Tetapi faktor penentu utama belum dimasukkan di dalam perkiraan tersebut, yakni keputusan rakyat pemilih. Jika rakyat bersepakat bahwa kualitas politik dan politisi 5 tahun terakhir sudah mencapai titik nadir kebobrokan, maka kualitas calon incumbent patut untuk dievaluasi dan dipertanyakan. Lima tahun lamanya masyarakat mendapatkan pelajaran politik, bahwa kualitas intelektual pemimpin tidak dapat kita serahkan hanya pada popularitas, manuver atau statement paling kontroversial. Dan tahun 2013 sebagai tahun politik adalah waktu bagi masyarakat untuk menemukan dan menilai pemimpin kita nantinya, yang dapat membawa semangat pencerahan Ki Hajar Dewantara, Abdul Muis, atau Omar Said Cokroaminoto.
Ya, kita patut menyimpan optimisme kebangkitan nasional, kita juga masih bisa menaruh harapan akan adanya praktik berpolitik baru yang ditampilkan. Toh di awal geliat kebangkitan nasional, sejarah juga mencatat tindakan mengecewakan dari kalangan pribumi sendiri, tak sedikit yang bergabung di KNIL, tak sedikit pula yang melakukan manuver politik ‘aman’ dengan bekerja sama dengan Belanda. Namun tetap saja hal ini tidak berarti, bangsa ini masih menyimpan optimisme semangat kebangkitan itu sendiri. Begitu pula Indonesia kini dan kedepannya, masih menyimpan semangat kebangkitan nasional itu di sanubari. Jika pemilu menjadi alat seleksi pemimpin kita saat ini, maka seleksi dari kita pula yang mampu membersihkan wajah pergerakan kebangkitan nasional di panggung politik kita.
12 Mei 2013