Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Kebijakan Publik dalam Ruang Publik

“TO do politics is to always expand the frontiers of the possible. To make culture is to always fight in the frontiers of the impossible.” (Jorge Furtado, sutradara film dan jurnalis Brasil).

Mengelola negara berarti melakukan dua hal sekaligus, yaitu berpolitik dan membangun budaya baru. Berpolitik tentu harus dipahami secara lebih dalam, tidak hanya mendapatkan kekuasaan, tetapi juga sebagai sebuah kemampuan mengelola kekuasaan. Hampir setiap orang berfokus pada yang pertama tanpa pernah mencoba berpikir mengelola kekuasaan. Karena itu, taraf capaian kekuasaan jangankan sampai pada  pembudayaan, bahkan sampai pada terpenuhinya kepentingan warga (publik) pun tidak.

Ihwal tersebut memunculkan problem besar dalam kehidupan berwarga negara, yaitu merosotnya solidaritas warga sebagai bagian dari sebuah negara. Kecenderungan ini sering kali dimaknai sebagai hanya sekadar wujud tidak puas kepada siapa yang berkuasa. Karena itu, menjadi lebih sulit untuk mencari akar masalah dan solusi dari persoalan yang ada. Persoalan yang sama juga terjadi pada pengadaan dan pengelolaan ruang-ruang publik di negara kita.

Menyempit lalu menghilang

Pada perkembangan modern saat ini, negara-bangsa dihadapkan pada semakin menyempitnya ruang-ruang secara geografis meskipun ruang-ruang virtual tersedia lebih luas dan terbuka tanpa batas. Persoalannya, ruang secara geografis memberi andil bagi manusia untuk berinteraksi dan interseksi. Dalam ruang publik, orang dapat bertransaksi bukan hanya secara ekonomi, melainkan juga dapat mempertukarkan nilai dan pengalaman. Karena itu, mengecilnya ruang publik berarti memperkecil peluang bagi tiap orang untuk berinteraksi yang kemudian berdampak pada soliditas dan solidaritas di antara mereka sendiri.

Beberapa pengalaman tentang ruang publik memberi gambaran bahwa kontribusi menyempitnya ruang publik bukan hanya ada pada pemerintah. Terkadang warga sendiri alpa terhadap keberadaan ruang publik yang harusnya mereka kelola sebagai hak publik. Sebagai sebuah contoh awal, pada 1980-an, sekolah-sekolah selalu mempunyai halaman yang dapat diakses warga sekitar di luar jam sekolah, baik untuk sekadar berkumpul-bermain maupun menggunakannya untuk berolahraga ringan. Bahkan, aulanya pun dapat dipakai untuk berlatih menari dan sebagainya. Hal semacam itu sekarang sudah tidak ada. Bahkan, untuk menjaga propertinya (baca: halaman), sekolah perlu membuat pagar yang kukuh dan tinggi lengkap dengan pengamanannya.

Persoalan semacam ini tidak hanya berlaku di sekolah-sekolah, tetapi juga di perguruan-perguruan tinggi ternama. Pada masa saya kuliah dahulu, kampus akan selalu ramai pada sore hari dengan orang-orang yang melakukan segala aktivitasnya. Warga akan sangat mudah mengakses ruang terbuka ‘milik’ kampus. Bahkan, pada waktu itu, akan mudah ditemui pedagang-pedagang kaki lima yang ‘menempel-hidup’ di dalam dan sekitar kampus. Sekarang hal itu sangat sulit ditemukan. Bukan hanya warga yang kesulitan untuk mengakses kampus, bahkan civitas akademinya sendiri pun mengalaminya.

Kampus tidak hanya membangun pagar-pagar yang begitu banyak seperti labirin, tetapi juga menciptakan jarak dengan warga sekitar. Karena itu, banyak kegiatan-kegiatan warga yang dahulunya bisa dilakukan di ruang terbuka kampus di luar jam kuliah, sekarang ini sangat sulit dilakukan.

Dalam temuan yang lain, tempat-tempat beribadah juga telah mengurung dirinya dari warga sekitarnya. Akan sangat sulit menemukan tempat ibadah yang sekarang bisa dengan mudah diakses warga sekitarnya untuk sekadar mengasuh anaknya atau menjadi tempat bermain anak-anak.

Lebih ekstrem lagi, tempat ibadah juga memberi larangan bagi orang luar untuk menginap atau sekadar tidur melepas lelah. Bukankah sedianya tempat ibadah selain menjadi tempat orang untuk beribadah juga menjadi tempat untuk mengelola lingkungan sosial dan menjaga solidaritas sesama manusia? Karena itu, tempat ibadah menjadi sekadar tempat bagi seremoni yang kehilangan daya humanisnya.

Jangankan di perkotaan, di desa-desa pun berlaku demikian. Sebagian besar Balai desa telah beralih fungsi dari tempat pertemuan dan aktivitas warga menjadi ruang komersiel yang disewakan bagi siapa pun yang mampu membayarnya. Begitu pula yang terjadi pada lapangan sepak bola, lapangan bola voli, taman, dan sebagainya sehingga ruang-ruang publik yang mestinya ramai interaksi warga menjadi lengang tanpa interaksi. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, tempat-tempat itu menjadi terbengkalai tak terkelola dengan layak. Ini membuka peluang bagi pihak swasta untuk menyediakan tempat bermain dan berkumpul yang lebih memadai, tetapi berbayar. Hal ini bersambut dengan keinginan warga untuk mendapatkan ruang bagi mereka untuk beraktivitas dan berekspresi.

Dari contoh tersebut di atas, ditemukan dua problem besar yang saling memberi asupan satu sama lain. Di sisi Negara, ada problem ketidakmampuan pemerintah melakukan tata kelola atas ruang publik. Pemerintah bahkan mengalami kegagalan memberi makna atas ruang publik. Seolah ruang publik hanya berupa taman, plaza, atau ruang yang luas semata, tetapi minim interaksi dan aktivitas.

Sementara itu, ruang-ruang publik di tingkat bawah yang mempunyai akses terdekat dengan warga hampir tidak dikelola dengan memadai. Jikapun dikelola, sebagian besar ruang publik cenderung dikomersialkan dan diprivatisasi. Sementara itu, di sisi lain, warga semakin terjebak pada eksklusivitas atas kepemilikan sebuah ruang. Ruang publik yang ada dimaknai hanya dapat diakses dan dimanfaatkan kelompok warganya saja.

Upaya melindungi kepemilikan, alih-alih menjaga malah menjagal kepublikan yang melekat pada sebuah institusi. Akibatnya, jikapun ada ruang publik, tapi minim interaksi sosial.Ruang publik yang baik harus mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi interaksi sosial yang mensyaratkan terjadinya kontak dan komunikasi sosial. Dengan kondisi ini, masyarakat sebagai pengguna ruang publik dapat bertemu dengan perilaku masyarakat pengguna ruang publik mengikuti norma-norma setempat (Scurton, 1984).

Interaksi sosial semacam inilah yang membentuk budaya baru sebagai akibat dari pertukaran nilai dan kompromi kepentingan di antara mereka dalam dialog yang lebih demokratis dan setara. Karena itu, jikapun terjadi transaksi kepentingan di antara mereka, probabilitas kejadian majemuk yang paling mungkin ialah irisan kepentingan yang bersyarat ketimbang saling lepas bebas. Artinya, ada kohesi dan solidaritas sosial yang mempunyai peluang terbangun di komunitas setempat.

Kebijakan bagi ruang publik
Ruang publik, berarti membicarakan ruang dan publik. Karena melekat kata publik di dalamnya, ruang publik membicarakan ruang yang di dalamnya ada masyarakat dan negara. Negara, dalam hal ini selain berperan sebagai penyedia yang menjamin adanya ruang publik, juga merupakan institusi yang menyediakan akses pada setiap warga atas ruang publik. Sebagai institusi, negara juga menyediakan seperangkat nilai dan aparatusnya. Karena itu, dalam hal ini, negara juga berlaku sebagai aktor yang terlibat di dalam ruang publik.

Ada kepentingan negara dalam menyediakan ruang publik karena ruang publik selain berperan dalam isu-isu sosial, lingkungan, dan kesehatan juga ekonomi, tetapi juga membuka peluang bagi terciptanya nilai-nilai baru. Tanpa hadirnya negara, akan sangat sulit bagi warga untuk terus memberi justifikasi dan legitimasi atas kekuasaan yang ada. Karena itu, kehadiran negara merupakan bagian dari politik untuk mengkreasi nilai baru yang lebih mangkus, dan sangkil, bagi kepentingan warga.

Kreasi inilah yang merupakan upaya negara untuk memastikan institusionalisasi nilai-nilai sosial bagi kesejahteraan warga karena institusi-institusi inilah yang pada akhirnya mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan memengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya (Haryatmoko).

Nilai dan aparatus dari negara inilah yang mempunyai peran yang besar bagi terciptanya ruang publik yang layak bagi warganya. Maka itu, upaya menciptakan ruang publik melalui keputusan-keputusan politik tidak hanya mengandalkan pada political will saja, tetapi juga komitmen pemerintah pada etika politik karena akan sangat sulit untuk mengukur niat baik sehingga ukuran yang lebih mampu untuk mendekati komitmen pemerintahan merupakan muatan politik dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.

Tiga prinsip yang secara metodologis dapat dijadikan untuk mengukur muatan etika politik dari sebuah politik ataupun kebijakan publik (Sinaga, 2008), yaitu 1) prinsip kehati-hatian (principle of prudence); 2) prinsip tata kelola (principle of governance); dan 3) prinsip pilihan rasional (principle of rational choice).

Dalam membuat kebijakan publik yang terkait ruang publik, negara setidaknya harus memegang tiga prinsip tersebut di atas sehingga penyediaan dan pengelolaan ruang publik harus bersandar pada kehati-hatian pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik bagi terpenuhinya kepentingan (baca: kesejahteraan) warganya. Maka itu, menyediakan dan mengelola ruang publik tentu harus melibatkan warga di dalamnya. Itu karena tidak ada ruang publik yang dapat eksis tanpa warganya dan tidak ada warga yang mendapatkan kesejahteraan yang layak tanpa ruang publik.

Di ruang publik inilah anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Mereka berhak melakukan secara merdeka di dalamnya, termasuk mengembangkan wacana publik seperti menyampaikan pendapat secara lisan dan tertulis (A.S. Hikam dalam A.S. Culla,1999:123).

Di lain sisi, peluang sebuah ruang publik terwujud dengan nilai publik merupakan keterlibatan warganya sendiri. Itu karena faktanya sebagian kontribusi kerusakan dan hilangnya nilai-nilai ruang publik sedikit-banyak berasal dari warganya sendiri. Upaya-upaya menciptakan ruang-ruang yang lebih eksklusif bagi kelompok atau komunitasnya membuka peluang yang sama dilakukan kelompok/komunitas warga lainnya. Tindakan resiprokal semacam ini memberi jalan lebih lanjut bagi munculnya konflik sosial.

Penutup

Ruang publik harus dimaknai juga sebagai alat atau mediasi antara publik dan negara. Karena itu, mengelola ruang publik merupakan kerja besar bagi warga.

Bukan saja karena harus menciptakan kualifikasi ruang yang layak dalam berbagai hal bagi warga, melainkan juga di dalamnya musti tercakup skenario kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Sementara itu, situasi kekinian telah menghadirkan konflik antara privatisasi dan demokrasi. Karena itu, pemerintah mempunyai peran yang sangat penting untuk mengembalikan ruang publik sebagai ruang untuk demokrasi, inklusifitas, dan kesetaraan.

Di sisi yang lain, ruang publik mensyaratkan perhatian dan kepedulian dari warganya. Tanpa ini, tidak akan ada ruang publik yang cukup mampu ‘menampung kepentingan’ selain kepentingan pembuatnya sehingga kebijakan politik (publik) yang tepat bagi ruang publik ialah membuka pagar di halaman milik negara sendiri.

Sumber: MediaIndonesia.com 

Tinggalkan Balasan