Posted on / by Willy Aditya / in Opini

Kembali ke Khittah Tjokroaminoto

“WAKTU beberapa orang Belanda Indo berani menaikkan bendera Merah Putih Biru di Hotel Yamato, orang-orang Indonesia tercengang-cengang. Orang-orang tercengang bertambah banyak dan bertambah lama bertambah mendekati hotel itu. Tiba-tiba melompat seorang pemuda ke depan. Dipanjatnya tiang bendera, dirobeknya kain biru dari bendera itu. Orang-orang tercengang bertepuk dan bersorak, tapi orang-orang Belanda Indo marah-marah. Bukan untuk dirobek mereka menaikkan bendera….” Begitu Idrus menuliskan sepenggal peristiwa di Hotel Yamato 19 September 1945 dalam cerita pendek Surabaya. Peristiwa itulah yang kemudian menjadi pemicu rentetan perlawanan yang terhadap kembalinya tentara kolonial Belanda yang mendompleng Sekutu. Hari ini peristiwa itu dikenal sebagai Hari Pahlawan, dan menjadikan Kota Surabaya mendapat penamaan ‘Kota Pahlawan’.     Khitah Tjokroaminoto Surabaya, kota yang menurut H.O.S. Tjokroaminoto merupakan ‘dapur nasionalisme’. Di kota inilah, tepatnya di Jalan Peneleh, Tjokroaminoto seorang pahlawan nasional pernah tinggal. Rumahnya juga menjadi tempat pemondokan (kosthuis

) pelajar-pelajar MULO. Sebanyak 20 pelajar MULO tinggal di rumah ini. Di antara pelajar-pelajar tersebut terdapat nama-nama yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh penting yang mewarnai sejarah bangsa Indonesia. Ada Kartosoewirjo, Soekarno, Abikoesno Tjokrosujoso, Musodo, Alimin, Herman Kartowisastro, dan Samperno. Mereka pernah tinggal dan hidup bersama Tjokroaminoto sehingga tidak mengherankan jika pikiran-pikiran mereka sangat diwarnai oleh pemikiran Tjokroaminoto.  Selain mereka yang tinggal ada juga tokoh-tokoh yang datang silih berganti untuk singgah duduk bertukar pikiran. Dapat disebut di antara mereka ialah KH Agus Salim, KH Mas Mansyur, dan KH Ahmad Dahlan. Rumah Tjokro menjadi rahim persemaian bagi pendiri bangsa. Di sini ide dan gagasan berkecambah dalam diri manusia-manusia penggerak perubahan. Ide dan gagasan mereka-mereka inilah yang hingga saat ini menjadi bilah-bilah penyusun keindonesiaan. Spektrum gagasan yang berbilah-bilah bahkan centang perenang menjadi kekayaan yang khas bagi bangsa ini. Mungkin hanya Indonesialah satu-satunya negara di dunia yang mempunyai falsafah hidup seperti Pancasila yang semua ideologi diizinkan ada, berada, dan hidup. Dengan demikian, sungguh mengherankan jika saat ini kita begitu sibuk baku hantam untuk sekadar membela keyakinan pribadi dan golongan yang berbeda dengan keyakinan kelompok lain. Sementara di rumah Tjokro semua perdebatan dirayakan sebagai bentuk pengayaan berpikir untuk membangun dan memajukan bangsa. Kekhawatiran satu ideologi akan mendominasi ideologi lain jelas di luar jangkauan yang dipertimbangkan tokoh-tokoh ini. Mereka merayakan diskusi sebagai pertemuan ide-ide yang paling layak untuk menyetir arah kehidupan bangsa. Dengan kata lain saling-silang penuh pertentangan antara ideologi masih dapat didudukkan dalam satu tujuan mulia: Indonesia merdeka.

Kemerdekaan berpikir yang diajarkan Tjokroaminoto membuat tokoh-tokoh ini menjadi ‘seperti sumbu api, untuk membuat umat menjadi terang’. Kesadaran akan tujuan kemerdekaan berpikir dan berdiskusi inilah yang menjadi kecambah bagi semangat libertarianisme, yakni penjara bagi ide sama zolimnya dengan penjara bagi kemerdekaan manusia. Di sinilah Tjokroaminoto mengajak semua rakyat untuk menjadi Faber Mundi (orang yang menciptakan dunianya). Sehingga ketika rakyat banyak mengelu-elukannya sebagai Ratu Adil, Tjokroaminoto menggunakannya dengan ‘mempersiapkan dengan baik dan jangan mendidiknya setengah-setengah’. Tjokroaminoto menginginkan rakyat yang merdeka sejak dalam pikiran sehingga mustahil kiranya sebuah bangsa menginginkan kemerdekaan, tetapi tidak mempunyai kesetaraan derajat dalam kemanusiaan. Pada ide dan gagasan Tjokroaminoto juga muncul apa yang dikenal pada waktu itu sebagai ‘pemerintahan sendiri’ (zelfbestuur). Keberanian Tjokroaminoto ini membuat pemerintah kolonial Belanda meradang marah. Dapat dikatakan inilah ide pertama tentang kemerdekaan bangsa (waktu itu belum bernama Indonesia) atau setidaknya dorongan untuk memerintah sendiri. Gelombang pasang emansipasi terasa tidak hanya di lapis intelektual, tetapi juga di kalangan rakyat. Sejak gagasan berpemerintahan sendiri itulah rakyat mempunyai keberanian diri untuk mempersenjatai diri dengan gagasan representasi manusia yang setara dengan manusia lain sehingga tidak ada yang lebih tinggi satu atas yang lain, bahkan juga tidak pemerintah kolonial Belanda atas rakyat Hindia Belanda. Gagasan sebagai manusia merdeka menjadi senjata yang ampuh bagi tiap-tiap diri mereka untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Bahkan dalam tingkat lebih lanjut mereka sanggup mengorganisasi diri dalam perkumpulan-perkumpulan. Dari sinilah mula munculnya serikat-serikat dan perkumpulan-perkumpulan. Gelombang perubahan tidak hanya terbatas pada ide dan gagasan, tetapi pelan dan pasti menggerus struktur sosial, ekonomi dan politik. Pernyataan atas kebutuhan setara sebagai manusia tidak lagi hanya dalam bidang sosial dan ekonomi, tetapi juga politik. Rakyat mulai terbiasa mempertahankan ide dalam kebebasan berbicara dan berdebat sehingga tumbuhnya gagasan untuk terbebas dari penjajahan sama pentingnya dengan kebutuhan atas kesetaraan dan persaudaraan. Ide yang sepenuhnya mirip dengan ide yang dicetuskan oleh Maximilien Robespiere dalam pidatonya 5 Desember 1790 tentang liberte, egalite, fraternite. Pendiri bangsa dengan ideologi dan identitas yang bersaling silang semuanya bersetia dengan tiga prinsip dasar ini kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Tiga prinsip ini, menurut Buya Hamka, ialah tiga prinsip dasar Tjokroaminoto sehingga debat-debat yang dihelat para pendiri bangsa merupakan investasi bagi terbentuknya identitas kolektif. Juga di dalamnya merupakan kekayaan ingatan atas jejak sejarah bangsa Indonesia yang berbineka, tidak hanya dalam suku, agama dan ras, tetapi juga dalam ideologi. Keping-keping yang banyak beraneka rupa inilah yang kemudian berkawin menjadi Indonesia. Mereka yang banyak bagai puspa warna itu ialah Indonesia, tetapi Indonesia bukan hanya salah satu dari yang banyak itu.

Politik kebinekaan Pemilu dari pemilu, pergantian kekuasaan yang regular dan absah mestinya selalu merupakan upaya memperbaiki diri dan memperbarui tonggak-tonggak nilai kebajikan tiap-tiap masa dari sejarah bangsa sehingga pemilu merupakan bagian dari upaya melestarikan dan menumbuh kembangkan bangsa, bukan menambah beban persoalan bagi bangsa. Sayangnya hampir satu dekade kehidupan berbangsa dan bernegara kita dicabik-cabik dengan politik kebencian. Dengan memainkan isu paling mendasar dalam fondasi kebangsaan: identitas suku, agama, dan ras. Mekanisme sosial dan politik rakyat dalam membangun sistem kemaslahatan bersama atas dasar kekeluargaan dan permusyawaratan bersama menjadi amburadul. Politik kebencian membuat polarisasi yang membawa kesadaran berbangsa dan bernegara ini mundur jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928. Politik kebencian yang dihelat di ruang-ruang publik dengan menyematkan identitas ‘cebong’, ‘kampret’, ‘kadrun’, dan sejenisnya telah menggeser patok-patok batas bangsa dan negara. Kebinekaan yang menjadi pakaian kebesaran Indonesia telah dilucuti oleh semangat jangka pendek untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Pemimpin-pemimpin merasa hebat dengan kekuasaan yang dimilikinya, tetapi lupa cara merayakan diri sebagai republikan. Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem dalam pidatonya pada Pembekalan Caleg Provinsi Sumatra Barat tanggal 5 Agustus 2023 bertanya retoris: “Apa arti kehebatan yang kita miliki kalau kita tidak bisa memamerkan ruh republikanisme kita?” Seperti yang pernah digambarkan Tjokroaminoto ukuran kebaikan pribumi (kata ini dipakai dalam arti rakyat) bukan didasarkan pada apa agama pribumi itu. Menurutnya, pribumi yang baik ialah yang mempunyai semangat ‘ksatriaan. Sikap semangat yang bersetia dalam usaha mencapai tujuannya. Tujuan yang didefinisikan sebagai gerakan perubahan. Sebuah gerakan yang menjadi alat perjuangan kita untuk membebaskan jutaan orang melarat, jutaan orang bodoh di negeri ini dan jutaan orang yang tidak mendapat perlindungan hukum di dalam dan luar negeri. Dengan demikian, politik kebinekaan merupakan semangat bahu-membahu dan tolong-menolong dalam kebaikan yang di dalamnya terkandung semangat untuk menjadi lebih baik dan bukan membawa kerusakan sehingga politik ini menghindari proses-proses dominasi yang dimulai dari homogenisasi dan ketidakrelaan untuk menjadi setara sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Dominasi memberi kecenderungan untuk menganggap diri dan kelompoknya lebih utama dan mulia dibandingak kelompok lain. Situasi semacam ini jelas akan sangat merusak fondasi Indonesia Raya. Semangat dominasi atas nama apapun jelas akan membunuh harapan rakyat dan lebih jauh juga anak cucu kita.

Sebuah negara yang tidak mampu menghidupkan harapan, apalagi melenyapkan harapan warganya untuk menikmati kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan beradab adalah kejahatan. Sesungguhnya, sebuah bangsa akan mampu bertahan, lalu berkembang sampai mengantarkan ke pintu jalan emas cita-cita Proklamasi Kemerdekaan apabila komitmen dan konsistensi kebangsaan kita tetap terjaga. Di sinilah politik kebinekaan berdiri di atas sikap-sikap pragmatis yang mengabaikan kepentingan dan hajat rakyat banyak untuk kepentingan pribadi dan golongan.   Penutup Hidup bersama dalam bangsa dan negara kita harus ingat apa yang dikatakan Edmud Burke bahwa ‘Sebuah negara tanpa sarana untuk melakukan perubahan, berarti tanpa sarana melestarikannya’. Maka keberadaan negara bukan lagi tentang seberapa kuat negara dengan kekuasaannya memastikan mereka hidup dan berjalan, tetapi juga memastikan bahwa kebebasan rakyat merupakan batas kekuasaan negara. Perubahan di sinilah seperti yang disampaikan oleh Abdul Muhaimin Iskandar dalam pidatonya di Deklarasi Capres Cawapres 2 September 2023 sebagai ‘terus-menerus memperbarui dan memperbaiki apabila ada sasaran yang lebih baik tapi tidak pernah lupa ada fondasi-fondasi kokoh yang telah dirintis dan diwariskan kepada generasi-generasi yang harus kita jaga dengan baik’. Inilah yang disebut dengan komitmen kebangsaan. Komitmen kebangsaan merupakan kesadaran penuh dalam politik kebhinekaan yang memberi peluang pada rakyat atas banyak pilihan. Juga di dalamnya ialah perlindungan atas segala bentuk ekspresi rakyat sebagai bagian bangsa sehingga politik kebencian tidak akan lagi mendapat tempat di ruang-ruang kebangsaan kita. Meminjam keberanian arek-arek Surabaya, Surya Paloh menyatakan selamat tinggal pada politik kebencian, “Hari ini juga kita katakan selamat tinggal untuk politik cebong dan kampret! Politik yang memang mengadu domba, memecah belah, dan merusak semua sistem kebangsaan kita. Tentunya kita ucapkan selamat datang politik kebinekaan yang mempersatukan semua elemen kita dengan penghargaan terhadap pluralisme yang kukuh seutuhnya di negeri yang kita cintai ini.”

Peliput: mediaindonesia.com

Tinggalkan Balasan