Ketika Pandawa dan Kurawa Bersatu
Kita semua tahu itu tidak terjadi. Namun apa jadinya jika mereka bersatu? Kita tidak akan pernah tahu. Yang pasti kedua belah pihak bertempur habis-habisan. Yang pasti Pandawa disebut memenangkan laga di Padang Kurusetra itu. Para Kurawa pun binasa.
Namun semua itu sudah menjadi pilihan keduanya. Mereka hanya menjalankan apa yang bagi mereka harus dijalankan. Setelah Kurawa kalah, Pandawa berkuasa dan menjalankan pemerintahan di Hastinapura dan melanjutkan peradaban Dinasti Kuru.
Mungkinkah keduanya bersatu? Mungkin saja. Apa yang tidak mungkin? Tetapi kenyataannya mereka memilih saling berhadapan. Menghabisi satu sama lain. Keduanya kukuh memegang kebenaran versi masing-masing. Baik Pandawa maupun Kurawa tidak menawarkan jalan tengah. Mereka bergeming dengan ketetapan masing-masing. Tidak peduli bahwa mereka sesungguhnya bersaudara. Bagi keduanya, apa yang telah terucap berarti darma (kebenaran yang wajib dijalankan).
Ketika Arjuna galau di medan peperangan, karena tidak sampai hati membunuh saudaranya sendiri, sang Batara Kresna yang merupakan titisan Wisnu, justru memberinya wejangan yang kemudian membuatnya mantap mengarahkan panahnya kembali.
Sementara Kurawa selalu bersetia dan konsekuen dengan segala apa yang diucapkannya – meski itu sering disebut bersumber dari kebencian.
Menjadi hak siapakah jika Pandawa dan Kurawa bersatu? Tentu hak keduanya. Tetapi nyatanya itu tidak mereka lakukan. Padahal tidak ada mandat dari “kaum kebanyakan” (rakyat, kawula) yang mereka pikul. Kekuasaan yang mereka dapatkan bukan hasil pemilihan. Mereka mendapatkan kuasa dari kehormatan yang telah diperoleh Dinasti Kuru berabad sebelumnya.
Sebagai saudara sepupu, kedua pihak juga mestinya bisa “power sharing” agar pertumpahan darah bisa terhindarkan. Namun itu tidak terjadi.
Ini bukan soal gila kekuasaan semata. Pandawa hanya merasa wajib untuk merebut haknya, karena itu adalah darma bagi mereka. Demikian juga Kurawa, kakak sepupu dari Pandawa, mereka merasa lebih berhak atas tahta Hastinapura. Dan bagi mereka, itu adalah darma.
Itulah nilai yang mereka pegang. Dan mereka semua bersetia dengan itu.
Lihatlah bagaimana Karna, putra sulung Dewi Kunti, ibunda dari Pandawa, yang menolak untuk bergabung dengan adik-adiknya. Dia mengatakan, “Darmaku adalah untuk melindungi temanku (Duryudana) saat dia sangat membutuhkanku.”
Lihat pula Bhisma, kakek dari kedua belah pihak, yang begitu sayang kepada Pandawa namun justru harus mati oleh para putra Pandu itu. Sumpahnya telah mengikat dirinya untuk selalu melindungi Hastinapura dari serangan musuh, tidak terkecuali jika itu datang dari Pandawa.
Mahabarata adalah kisah terbaik tentang kekuasaan dan pihak-pihak yang memegangnya. Di dalamnya ada pelajaran tentang bagaimana para ksatria bersikap dan konsekuen atas apa yang telah diucapkannya.
Ksatria adalah para pengurus negara. Hidupnya dari dan untuk negara. Di atas pundak merekalah hajat hidup jutaan rakyat berada. Di tangan mereka segala produk perundangan ditentukan. Lewat pikiran mereka pula peradaban sebuah bangsa dibentuk sebagai puncak tanggung jawabnya.
Tetapi tulisan ini bukan tentang mereka. Dialektika kehidupan telah mengubah entitas ksatria berubah nama menjadi “politisi”. Mereka adalah orang-orang yang berada dalam ruang bernama politik: wahana deliberasi berbagai ide dan pandangan tentang apa yang dipandang adil dan baik bagi kehidupan bersama (publik) berdasar ketentuan dan mekanisme tertentu.
Dan tulisan ini adalah tentang bagaimana semestinya mereka bersikap dan berlaku. Beralaskan apa sebuah sikap diambil. Atas dasar apa sebuah laku ditunjukkan. Adakah ia berdasar nilai kebajikan atau keutamaan sikap (virtue) sebagaimana ditunjukkan Karna dan Bhisma? Atau ia sekadar kecerdikan memanfaatkan peluang yang ada sebagaimana lihai ditunjukkan oleh Sengkuni?
Tidak soal jika semua itu terkait dan tertuju pada kekuasaan. Sebab kekuasaan adalah keniscayaan dalam politik. Tanpa kekuasaan, tak akan tegak berdiri sebuah negara. Tanpa kekuasaan, mustahil sebuah peradaban dibangun. Namun yang paling penting dan utama adalah bagaimana kekuasaan itu diraih dan digunakan selanjutnya. Semuanya sah sepanjang tidak menyalahi aturan yang ada.
Terapi jangan salah. Politik bukan sekadar itu semata. Politik adalah cara baru dalam mengelola kekuasaan yang tidak bertumpu pada satu atau segolongan manusia. Politik bahkan pertama-tama adalah soal bagaimana membangun kebaikan bagi semua. Di dalamnya ada pembelajaran dan pemenuhan rasa keadilan bagi semua pihak yang ada di dalamnya. Politik adalah anti tesis dari kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir pihak. Lebih dari itu, politik adalah ruang untuk menuju kehidupan sebuah komunitas sosial yang beradab.
Oleh karena itu politik mensyaratkan nalar sehat; sebab politik harus didasarkan pada pijakan-pijakan rasional. Pijakan rasional membuat setiap kepentingan yang ada dalam politik bisa dikontestasikan. Sebaliknya, kepentingan akan berubah menjadi pemaksaan (persekusi) saat politik didasari oleh sesuatu yang irasional (emosional).
Politik juga harus berlandaskan nilai, sebab politik yang tidak bersetia pada nilai akan mengganggu nalar umum (common sense). Politik akan dianggap rendah dan murahan. Khalayak umum yang bersetia terhadap nilai akan apatis terhadapnya. Mereka yang pragmatis akan membuat politik semakin rendah nilainya.
Nilailah yang akan membuat sebuah laku politik berbuah kebajikan dan sikap-sikap terpuji dan mendatangkan apresiasi dari khalayak.
Yang membedakan politik dengan tata kelola kekuasaan primordial adalah adanya keterlibatan publik. Baik aktif maupun pasif. Lewat partisipasi dalam pemilu mereka terlibat menentukan pemegang kekuasaan. Lewat penyaluran aspirasi mereka terlibat dalam pengelolaan kekuasaan.
Lalu apa jadinya jika politik berjalan tanpa nilai? Apa jadinya sebuah kepentingan yang tidak beralaskan nilai? Jika para ksatria yang mendapatkan kuasa berdasarkan nasab saja begitu mengindahkan nilai, bagaimana mungkin para politisi yang mendapatkan kuasa dari khalayak umum justru abai terhadapnya?
Mungkin benar politik tidak sesederhana seperti yang diteorikan, dinarasikan, atau diimajinasikan. Politik kerap berhadapan dengan pilihan-pilihan taktis hingga pragmatis. Tidak masalah. Asal, sekali lagi, semua itu berdasar atau tetap mengindahkan nilai kebajikan dan keutamaan sikap yang akan melahirkan sikap hormat dan pengakuan dari pihak manapun.
Seandainya Pandawa dan Kurawa bersatu, mungkin perang bisa terhindarkan; mungkin tak akan ada korban melayang; mungkin perdamaian terwujud. Tetapi jika semua itu mewujud dengan mengkhianati nilai kebajikan, keutamaan sikap, darma, maka adakah semua itu sejati adanya?
Jikalau Pandawa dan Kurawa hidup dalam konteks politik modern, maka bersatunya mereka akan mengingkari rasionalitas demokrasi, makna kompetisi, dan esensi berpolitik itu sendiri.
Ketika Pandawa dan Kurawa bersatu, jangan-jangan saat itu pula runtuh peradaban Dinasti Kuru.